Kamis, 30 Juni 2022

Bhagavadgita Dhyana Yoga





Bhagavadgita Bab VI - Dhyana Yoga

Bhagavad-gita 6.1
6.1 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; orang yang tidak terikat pada hasil pekerjaan dan bekerja menurut tugas kewajibannya berada pada tingkatan hidup untuk meninggalkan hal-hal duniawi. Dialah ahli kebatinan yang sejati, bukanlah orang tidak pernah menyalakan api dan tidak melakukan pekerjaan apapun yang menjadi sannyasi dan yogi yang sejati.

Bhagavad-gita 6.2
6.2 Hendaknya engkau mengetahui bahwa apa yang disebut melepaskan ikatan sama dengan yoga atau mengadakan hubungan antara diri kita dengan Yang Mahakuasa, wahai putera Pandu, sebab seseorang tidak akan pernah dapat menjadi yogi kecuali ia melepaskan keinginan untuk memuaskan indria-indria.

Bhagavad-gita 6.3
6.3 Dikatakan bahwa pekerjaan adalah cara untuk orang yang baru mulai belajar sistem yoga yang terdiri dari delapan tahap, sedangkan menghentikan segala kegiatan material dikatakan sebagai cara untuk orang yang sudah maju dalam yoga.

Bhagavad-gita 6.4
6.4 Dikatakan bahwa seseorang sudah maju dalam yoga apabila dia tidak bertindak untuk kepuasan indria-indria atau menjadi sibuk dalam kegiatan untuk membuahkan hasil setelah meninggalkan segala keinginan material.

Bhagavad-gita 6.5
6.5 Seseorang harus menyelamatkan diri dengan bantuan pikirannya, dan tidak menyebabkan dirinya merosot. Pikiran adalah kawan bagi roh yang terikat, dan pikiran juga musuhnya.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Bhagavad-gita 6.6
6.6 Pikiran adalah kawan yang paling baik bagi orang yang sudah menaklukkan pikiranku; tetapi bagi orang yang gagal mengendalikan pikiran, maka pikirannya akan tetap sebagai musuh yang paling besar.

Bhagavad-gita 6.7
6.7 Orang yang sudah menaklukan pikiran sudah mencapai kepada Roh Yang Utama, sebab dia sudah mencapai ketenangan. Bagi orang seperti itu, suka dan duka, panas dan dingin, penghormatan dan penghinaan semua sama.

Bhagavad-gita 6.8
6.8 Dikatakan bahwa seseorang sudah mantap dalam keinsafan diri dan dia disebut seorang yogi (atau ahli kebatinan) apabila ia puas sepenuhnya atas dasar pengetahuan yang telah diperoleh dan keinsafan. Orang seperti itu mantap dalam kerohanian dan sudah mengendalikan diri. Dia melihat segala sesuatu- baik batu kerikil, batu maupun emas- sebagai hal yang sama.

Bhagavad-gita 6.9
6.9 Seseorang dianggap lebih maju lagi apabila dia memandang orang jujur yang mengharapkan kesejahteraan, penolong yang penuh kasih sayang, orang netral, perantara, orang iri, kawan dan musuh, orang saleh dan orang yang berdosa dengan sikap pikiran yang sama.

Bhagavad-gita 6.10
6.10 Seorang rohaniwan seharusnya selalu menjadikan badannya, pikiran dan dirinya tekun dalam hubungan dengan Yang Mahakuasa. Hendaknya dia hidup sendirian di tempat yang sunyi dan selalu mengendalikan pikirannya dengan hati-hati. Seharusnya dia bebas dari keinginan dan rasa memiliki sesuatu.

Bhagavad-gita 6.11
Bhagavad-gita 6.12
6.11-12 Untuk berlatih yoga, seseorang harus pergi ke tempat sunyi dan menaruh rumput kusa di atas tanah, kemudian menutupi rumput kusa itu dengan kulit rusa dan kain yang lunak. Tempat duduk itu hendaknya tidak terlalu tinggi ataupun terlalu rendah, dan sebaiknya terletak di tempat suci. Kemudian yogi harus duduk di atas tempat duduk itu dengan teguh sekali dan berlatih yoga untuk menyucikan hatinya dengan mengendalikan pikiran, indria-indria dan kegiatannya dan memusatkan pikiran pada satu titik.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Bhagavad-gita 6.13
Bhagavad-gita 6.14
6.13-14 Seseorang harus menjaga badan, leher dan kepalanya tegak dalam garis lurus dan memandang ujung hidung dengan mantap. Seperti itu, dengan pikiran yang tidak goyah dan sudah ditaklukkan, bebas dari rasa takut, bebas sepenuhnya dari hubungan suami-istri, hendaknya ia bersemadi kepada-Ku di dalam hati dan menjadikan Aku sebagai tujuan hidup yang tertinggi.

Bhagavad-gita 6.15
6.15 Dengan berlatih mengendalikan badan, pikiran dan kegiatan senantiasa seperti itu, seorang ahli kebatinan yang melampaui keduniawian dengan pikiran yang teratur mencapai kerajaan Tuhan (atau tempat tinggal krisna )dengan cara menghentikan kehidupan material.

Bhagavad-gita 6.16
6.16 Wahai Arjuna, tidak mungkin seseorang menjadi yogi kalau dia makan terlalu banyak , makan terlalu sedikit, tidur terlalu banyak atau tidak tidur secukupnya.

Bhagavad-gita 6.17
6.17 Orang yang teratur dalam kebiasaan makan, tidur, berekreasi, dan bekerja dapat menghilangkan segala rasa sakit material dengan berlatih sistem yoga.

Bhagavad-gita 6.18
6.18 Apabila seorang yogi mendisiplinkan kegiatan pikirannya dan menjadi mantap dalam kerohanian yang melampaui hal-hal duniawi-bebas dari segala keinginan material- dikatakan bahwa dia sudah mantap dengan baik dalam yoga.

Bhagavad-gita 6.19
6.19 Ibarat lampu di tempat yang tidak ada angin tidak bergoyang, seorang rohaniwan yang pikirannya terkendalikan selalu mantap dalam semadinya pada sang diri yang rohani dan melampaui hal-hal duniawi.

Bhagavad-gita 6.20
Bhagavad-gita 6.21
Bhagavad-gita 6.22
Bhagavad-gita 6.23
6.20-23 Pada tingkat kesempurnaan yang disebut semadi atau Samadhi, pikiran seseorang terkekang sepenuhnya dari kegiatan pikiran yang bersifat material melalui latihan yoga. Ciri kesempurnaan itu ialah bahwa seseorang sanggup melihat sang diri dengan pikiran yang murni ia menikmati dan riang dalam sang diri. Dalam keadaan riang itu, seseorang berada dalam kebahagiaan rohani yang tidak terhingga, yang diinsafi melalui indria-indria rohani. Setelah menjadi mantap seperti itu, seseorang tidak pernah menyimpang dari kebenaran, dan setelah mencapai kedudukan ini, dia berpikir tidak ada keuntungan yang lebih besar lagi. Kalau ia sudah mantap dalam kedudukan seperti itu, ia tidak pernah tergoyahkan, bahkan di tengah-tengah kesulitan yang paling besar sekali pun. Ini memang kebebasan yang sejati dari segala kesengsaraan yang berasal dari hubungan material.

Bhagavad-gita 6.24
6.24 Hendaknya seseorang menekuni latihan yoga dengan ketabahan hati dan keyakinan dan jangan disesatkan dari jalan itu. Hendaknya ia meninggalkan segala keinginan material yang dilahirkan dari angan-angan tanpa terkecuali, dan dengan demikian mengendalikan segala indria di segala sisi melalui pikiran.

Bhagavad-gita 6.25
6.25 Berangsur-angsur, selangkah demi selangkah, seseorang harus mantap dalam semadi dengan menggunakan kecerdasan yang diperkokoh oleh keyakinan penuh, dan dengan demikian pikiran harus dipusatkan hanya kepada sang diri dan tidak memikirkan sesuatu selain itu.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Bhagavad-gita 6.26
Dari manapun pikiran mengembara karena sifatnya yang berkedip-kedip dan tidak mantap, seseorang dengan pasti harus menarik pikirannya dan membawanya kembali di bawah pengendalian sang diri.

Bhagavad-gita 6.27
6.27 Seorang yogi yang pikirannya sudah dipusatkan pada-Ku pasti mencapai kesempurnaan tertinggi kebahagiaan rohani. Dia berada di atas pengaruh sifat nafsu, dia menginsafi persamaan sifat antara dirinya dan Yang Mahakuasa, dan dengan demikian dia di bebaskan dari segala reaksi perbuatan dari dahulu.

Bhagavad-gita 6.28
6.28 Dengan demikian, seorang yogi yang sudah mengendalikan diri dan senantiasa menekuni latihan yoga dibebaskan dari segala pengaruh material dan mencapai tingkat tertinggi kebahagiaan yang sempurna dalam cinta-bhakti rohani kepada Tuhan.

Bhagavad-gita 6.29
6.29 Seorang yogi yang sejati melihat Aku bersemayam di dalam semua makhluk hidup, dan dia juga melihat setiap makhluk hidup di dalam diri-Ku. Memang, orang yang sudah insaf akan dirinya melihat Aku, Tuhan Yang Maha Esa yang sama di mana-mana.

Bhagavad-gita 6.30
6.30 Aku tidak pernah hilang bagi orang yang melihat Aku di mana-mana dan melihat segala sesuatu berada di dalam diri-Ku dan diapun tidak pernah hilang bagi-Ku.

Bhagavad-gita 6.31
6.31 Seorang yogi seperti itu, yang menekuni pengabdian yang patut dihormati kepada Roh Yang Utama, dengan mengetahui bahwa Aku dan Roh Yang Utama adalah satu, selalu tetap di dalam diri-Ku dalam segala keadaan.

Bhagavad-gita 6.32
6.32 Orang yang melihat persamaan sejati semua makhluk hidup, baik yang dalam suka maupun dalam dukanya, menurut perbandingan dengan dirinya sendiri, adalah yogi yang sempurna, wahai Arjuna.

Bhagavad-gita 6.33
6.33 Arjuna berkata; o Madhusudana, sistem yoga yang sudah Anda ringkas kelihatannya kurang praktis dan hamba tidak tahan melaksanakannya, sebab pikiran gelisah dan tidak mantap.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Bhagavad-gita 6.34
6.34 Sebab pikiran gelisah, bergelora, keras dan kuat sekali, o Krsna, dan hamba pikir menaklukkan pikiran lebih sulit daripada mengendalikan angin.

Bhagavad-gita 6.35
6.35 Sri Krsna bersabda; Wahai putera Kunti yang berlengan perkasa, tentu saja sulit mengendalikan pikiran yang gelisah, tetapi hal ini dimungkinkan dengan latihan yang cocok dan ketidakterikatan.

Bhagavad-gita 6.36
6.36 Keinsafan diri adalah pekerjaan yang sulit bagi orang yang pikirannya tidak terkendali. Tetapi orang yang pikirannya terkendali yang berusaha dengan cara yang cocok terjamin akan mencapai sukses, itulah pendapat-Ku.

Bhagavad-gita 6.37
6.37 Arjuna berkata; o Krsna, bagaimana nasib seorang rohaniwan yang tidak mencapai sukses, yang mulai mengikuti proses keinsafan diri pada permulaan dengan kepercayaan, tetapi kemudian berhenti karena pikiran yang duniawi dan dengan demikian tidak mencapai kesempurnaan dalam kebatinan?

Bhagavad-gita 6.38
6.38 O Krsna yang berlengan perkasa, bukankah orang seperti itu yang telah dibingungkan hingga menyimpang dari jalan kerohanian jatuh dari sukses rohani maupun sukses material hingga dirinya musnah, bagaikan awan yang diobrak- abrik, tanpa kedudukan di lingkungan manapun?

Bhagavad-gita 6.39
6.39 Inilah keragu-raguan hamba, o Krsna, dan hamba memohon agar Anda menghilangkan keragu-raguan ini sepenuhnya. Selain Anda, tiada seorang pun yang dapat ditemukan untuk membinasakan keragu-raguan ini.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Bhagavad-gita 6.40
6.40 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; Putera Prtha, seorang rohaniwan yang sibuk dalam kegiatan yang mujur tidak mengalami kemusnahan baik di dunia ini maupun di dunia rohani; orang yang berbuat baik tidak pernah dikuasai oleh kejahatan, wahai kawan-Ku.

Bhagavad-gita 6.41
6.41 Sesudah seorang yogi yang tidak mencapai sukses menikmati selama bertahun-tahun di planet-planet makhluk yang saleh, ia dilahirkan dalam keluarga orang saleh atau dalam keluarga bangsawan yang kaya.

Bhagavad-gita 6.42
6.42 Atau (kalau dia belum mencapai sukses sesudah lama berlatih yoga) dia dilahirkan dalam keluarga rohaniwan yang pasti memiliki kebijaksanaan yang tinggi. Memang, jarang sekali seseorang dilahirkan dalam keadaan seperti itu di dunia ini.

Bhagavad-gita 6.43
6.43 Sesudah dilahirkan seperti itu, sekali lagi dia menghidupkan kesadaran suci dari penjelmaannya yang dahulu, dan dia berusaha maju lebih lanjut untuk mencapai sukses yang lengkap, wahai Putera Kuru.

Bhagavad-gita 6.44
6.44 Berkat kesadaran suci dari penjelmaan sebelumnya, dengan sendirinya dia tertarik kepada prinsip-prinsip yoga-kendati pun tanpa diupayakan. Seorang rohaniwan yang ingin menemukan jawaban seperti itu selalu berada di atas prinsip-prinsip ritual dari kitab suci.

Bhagavad-gita 6.45
6.45 Apabila seorang yogi tekun dengan usaha yang tulus ikhlas untuk maju lebih lanjut, dengan disucikan dari segala pencemaran, akhirnya ia mencapai kesempurnaan sesudah melatihnya selama banyak penjelmaan, dan ia mencapai tujuan tertinggi.

Bhagavad-gita 6.46
6.46 Seorang yogi lebih mulia daripada orang yang bertapa, lebih mulia daripada orang yang mempelajari filsafat berdasarkan percobaan dan lebih mulia daripada orang yang bekerja dengan maksud mendapatkan hasil atau pahala. Karena itu, dalam segala keadaan, jadilah seorang yogi, wahai Arjuna.

Bhagavad-gita 6.47
6.47 Di antara semua yogi, orang yang mempunyai keyakinan yang kuat dan selalu tinggal di dalam Diri-Ku, berpikir tentang-Aku di dalam dirinya, dan mengabdikan diri kepada-Ku dalam cinta bhakti rohani sudah bersatu dengan-Ku dalam yoga dengan cara yang paling dekat, dan dialah yang paling tinggi diantara semuanya. Itulah pendapat-Ku.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Arjuna, Perempuan dan Pragmatisme





Arjuna, Perempuan dan Pragmatisme

Pragmatisme. Orang mulai dekat dengannya sejak pertengahan abad 19, ketika William James juga John Dewey melambungkannya melalui simpul-pendapat filosofis. Tradisi pragmatisme memang belum terlalu tua. Tetapi di Timur, jauh sebelumnya, budaya yang satu ini telah dititipkan melalui Arjuna, tokoh penuh aksi dari dunia pewayangan.

Satu carang cerita ini kita mulai. Saat itu udara terasa mamung. Di bagian yang agak sepi Bhatara Narada tergopoh menemui Arjuna. Rupanya, hari itu ada kabar buruk menghampiri ksatria Pandawa ini.

“Cucuku, Putra Kunti, dengarlah,” utusan itu mendekat ke telinga Arjuna, “Niwatekwaca, raja raksasa itu, kian jauh terjerumus oleh kesaktiannya sendiri. Di tangannya kehancuran dunia menunggu. Bahkan saat ini ia tengah mengarahkan invasinya ke Indraloka, kerajaan dewata.”

Mendengar itu orang-orang tercenung. Arjuna kaget setengah mati dan menyela, “Maaf, apa yang hamba bisa haturkan, Paduka Guru?” tanyanya parau dalam nada bergetar.

“Cucuku, sudahilah keangkaramurkaan tak terampuni itu…” pesannya.

Arjuna bergegas. Ia mendekati gerbang Kerajaan Niwatekwaca. Bangunan itu tampak kukuh dan menjulang dari kejauhan, lambang megahnya kekuasaan Sang Raja. Arjuna termenung. Rupanya ia sedang menimbang-nimbang pikiran. Sesaat ia melonjak, seperti menemukan sesuatu, mungkin taktik, “Inilah waktunya,” pikirnya, “aku memerlukan campur tangan perempuan.”

Lantas ia minta dikirimi seorang bidadari, Dewi Supraba. Perempuan berparas ayu ini kemudian disusupkan mendekati Raja Niwatekwaca. Supraba berbicara dengan senyum dan mata menggoda, hingga raja segera jatuh cinta dan bernafsu memperistrinya. Sebelum setuju diperistri, Supraba mendesak Niwatekwaca menceritakan kesaktian sekaligus kelemahannya.



Perempuan memang kadang mudah membuat laki-laki ceroboh. Tanpa sadar raksasa ini menjelaskan secara detil rahasia kehebatannya.

“Kelemahan Niwatekwaca ada di pangkal lidahnya,” bisik Supraba kepada Arjuna yang telah menunggu di balik tembok istana.


Bila sebuah rahasia terbongkar di tangan yang salah akibatnya satu: fatal. Hanya lewat sebuah kesempatan, Arjuna membidikkan panahnya ke arah Niwatekwaca. Selanjutnya, mudah diduga, raksasa tangguh ini tersedak, muntah darah, tumbang berkalang tanah dengan sebilah Pasupati menerobos rongga mulutnya dan tertanam persis di pangkal lidahnya.

Dengan strategi demikian tampak licikkah Arjuna? Entah. Yang pasti sebuah misi telah diselesaikannya. Kewajiban ksatria adalah menjalankan tugas yang diletakkan di pundaknya. Apapun caranya, yang penting efektif. Dan toh setiap manusia, setiap zaman, memiliki ukuran nilainya sendiri soal ini. Barangkali ia semacam norma yang longgar, yang menghindar dari banyak keruwetan. Namun justru itu pragmatisme populer.

Pragmatisme datang karena intelektualisme dan logika formal tak dipercaya. Orang lebih menyukai manfaat praktis. Tak peduli apakah ia berasal dari pengalaman pribadi atau kebenaran mistis, yang penting bermanfaat. Kebenaran bisa datang dari segala sudut, dan juga berubah setiap saat, karena kita ini hidup di dunia yang belum selesai.

Kisah yang mirip, dimiliki para pembaca Injil. Samson, lelaki tangguh tak terkalahkan itu, juga akhirnya bertekuk lutut akibat perempuan. Delilah yang dikasihinya ternyata sewaan orang-orang Filistin, yang sebelumnya dikalahkan Samson saat mereka menyerang bangsa Ibrani. Perempuan ini berhasil membujuk Samson menceritakan rahasia kekuatannya yang terletak pada rambutnya yang panjang. Maka selagi Samson tidur Delilah memotong rambutnya. Akhirnya orang Filistin menangkap Samson, mencungkil matanya, serta menawannya di Gaza.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Praktis dan berdaya guna, itu kemudian yang dianggap penting. Meski juga tak berarti tujuan menghalalkan cara. Pragmatisme memang tak dengan sendirinya meniadakan sisi-sisi mulia kehidupan.

Dan Pasupati? Senjata kebanggaan Arjuna yang kelak menggentarkan nyali lawannya di perang Kuru itu juga didapat dengan cara yang praktis: bertapa. Syahdan, suatu hari, Arjuna bersamadi di Gunung Indrakila. Dewa Syiwa lalu mengujinya dengan mengirim tujuh bidadari dan seekor celeng ganas untuk membuat kekacauan, namun tapa Arjuna tak tergoyahkan. Atas ketekunannya, Syiwa kemudian menghadiahinya senjata pamungkas, panah Pasupati itu.

Pragmatisme macam ini memang menyenangkan. Mungkin karena ia dekat dengan wilayah ilusi kita. Cara kun fayakun (terjadilah atas kehendak Yang Kuasa) semacam itu, sebagai pegangan mistis dalam kebatinan Jawa, boleh jadi menggambarkan sisi lain dari pragmatisme kita, bahwa hasil yang baik akan dicapai dengan bertapa atau berdoa secara tekun.

Tapi tentu saja ini bukan saran agar kita rajin-rajin pergi ke gunung, lalu bersila dan bersamadi di sana untuk memperoleh hadiah dari dewa seperti halnya Arjuna. Sebab itu cuma cerita, kiasan, dan simbol! Dan pragmatisme adalah soal visi manajemen, cara berusaha dan bekerja efisien, siasat efektif manusia membuat dunia ini lebih baik dengan akal dan tenaganya.

Oleh : Nyoman Sukaya Sukawati, mediahindu.net

Selasa, 28 Juni 2022

Melakukan Renungan Suci pada Malam Buda Wage Merakih







TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR- Setiap enam bulan sekali atau tepatnya 210 hari sekali, masyarakat Hindu di Bali melaksanakan hari raya Buda Wage Merakih.

Hari ini, Rabu (13/2/2019) merupakan hari raya Buda Wage Merakih.

Hari raya ini juga dikenal dengan nama Buda Cemeng Merakih.

Buda Wage Merakih merupakan hari raya yang dirayakan berdasarkan pertemuan Saptawara Buda (Rabu), Pancawara Wage, dan wuku Merakih.

Dalam lontar Sundarigama, terkait Buda Wage disebutkan;

Buda Waga, ngaraning Buda Cemeng, kalingania adnyana suksema pegating indria, Betari Manik Galih sira mayoga, nurunaken Sang Hyang Ongkara Mertha ring sanggar, muang ring luwuring aturu, astawakna ring seri nini kunang duluring diana semadi ring latri kala.

Artinya berdasarkan terjemahan lontar Sundarigama yang diterbitkan oleh Parisada Hindu Darma Kabupaten Tabanan tahun 1976 yakni:


Buda Waga, juga disebut Buda Cemeng.
Maknanya ialah, mewujudkan inti hakekat kesucian pikiran, yakni dengan memutuskan atau mengendalikan sifat-sifat kenafsuan atau indria.

Hari ini merupakan payogan Bhatari Manik Galih, dengan jalan menurunkan Sang Hyang Omkara Amrta (inti hakekat kehidupan), di luar ruang lingkup dunia skala.

Maka dalam hal ini patut melakukakan persembahan berupa canang wangi-wangi.

Pemujaan dilakukan di sanggar dan di atas tempat tidur serta menghaturkan persembahan kepada Sang Hyang Sri.

Pada malam harinya juga melakukan renungan suci.

Hal ini bertujuan untuk menenangkan pikiran, dan memperoleh kedamaian serta kebahagiaan. (*) –sumber


Nyeda Raga Pada Proses Mediksa

 


Cerita mistis sangat lekat dengan tradisi Bali. Salah satunya adalah saat Madiksa yang melalui prosesi ‘Nyeda Raga’ atau ‘Mati Raga’. Kala itu diyakini banyak gangguan yang muncul dari alam niskala.

Pada saat upacara ‘Nyeda Raga’ dilaksanakan, sesaat sebelumnya pasti dilaksanakan persiapan, baik secara sekala maupun niskala. Secara sekala, sanak saudara yang sangat dipercaya akan ditempatkan di ring satu atau barisan terdepan untuk mengamankan prosesi. “Sedangkan secara niskala dilaksanakan ritual tertentu untuk pengamanan yang dilakukan oleh orang-orang khusus dengan kesaktian yang mumpuni,” ujar Penulis Keagamaan, I Nyoman Kanduk Supatra kepada Bali Express (Jawa Pos Group).

 - JUAL ES KRIM PERNIKAHAN KLIK DISINI

Dikatakan Kanduk, dahulu pernah ada cerita saat dilaksanakan ‘Nyeda Raga’, secara tiba-tiba ‘serangan’ datang tengah malam. Entah darimana datangnya seekor ayam hitam terbang menuju ke tempat upacara ‘Nyeda Raga’. Walaupun tak langsung menuju ke sosok yang sedang ‘Nyeda Raga’, kehadiran ayam hitam tersebut tentu membuat pangabih (penjaga urusan sekala niskala) terkaget-kaget. Hal ini membuat seluruh pangabih menjadi siaga dan memperhatikan gerak-gerik ayam tersebut.Tak lama kemudian, ayam tersebut hilang di tengah gelapnya malam.

Semua pangabih meyakini bahwa ayam tersebut merupakan perwujudan manusia sakti yang bertujuan untuk menggagalkan upacara ‘Nyeda raga’. Dapat disimpulkan bahwa, Madiksa yang tujuannya adalah untuk menapaki kesucian saja mendapat gangguan yang bersifat magis, apalagi yang menjadi ‘bangke matah’ saat pementasan Calonarang.

“Jelas, tujuanya adalah untuk mencoba diri atau menguji kawisesan atau kesaktian ilmu yang dimiliki,” tutup Kanduk

(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber

Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan






Diceritakan pada abad ke 17, sosok penguasa Nusa Penida, yakni, Ida Ratu Gede Mecaling sempat tinggal di Desa Batuan, Sukawati, Gianyar. Selama tinggal disana Ia gemar melakukan semedi, agar tidak ada yang mengganggu maka ia menciptakan sebuah pagar gaib agar orang yang mendekatinya, menjadi ketakutan.

Hal ini membuat resah warga Batuan, maka I Dewa Agung Anom, Raja Sukawati kala itu mengutus Patih I Dewa Babi untuk mengusir I Gede Mecaling dari Desa Baturan. I Gede Mecaling menantang Dewa Babi untuk bertanding ilmu menggunakan sarana babi guling. Babi guling milik I Gede Mecaling kakinya diikat dengan tali pelepah pisang dan milik Dewa Babi diikat dengan tali benang. Guling siapa yang ikatannya putus pertama saat dipanggang maka harus meninggalkan Desa Batuan. Dalam adu ilmu tersebut, Ratu Gede Mecaling kalah dan akhirnya diusir dari Batuan dan kembali ke Nusa Penida.


Merasa dicurangi, Ratu Gede Mecaling mengutuk warga Batuan bahwa setiap Sasih Kelima (mulai besok) hingga Sasih Kepitu, pasukan mahkluk halus Ratu Gede Mecaling akan mencari tetadahan (tumbal) di Desa Batuan. Dan barangsiapa warga Batuan yang datang ke Nusa Penida dan mengaku dirinya dari Batuan akan celaka. Benar saja, setiap Sasih Kelima di Batuan ada saja yang meninggal tak wajar, Seorang Pemangku menyarankan pada sasih kalima sampai kesanga agar masyarakat tidur di bawah tempat tidur supaya dilihat seperti babi.

Lama-kelamaan warga merasa jenuh dengan bayang-bayang Ratu Gede Mecaling, Ida Bhatara yang berstana di Pura Desa Batuan memberikan bisikan kepada jro mangku untuk menyuguhkan tarian Rejang Sutri dan Gocekan sebagai penyambutan datangnya Ida Ratu Gede Mecaling bersama pasukan mahkluk halusnya ke Desa Batuan. Diharapkan dengan menonton tarian itu dapat meluluhkan dendam beliau.

Namun pada masa kini beberapa warga Batuan sudah sering melakukan persembahyangan ke Pura Dalem Ped Nusa Penida, tempat berstananya Ratu Gede Mecaling, dan tak terjadi apa-apa, semoga beliau melupakan kejadian masa lalu dan memberikan keselamatan kepada kita.

Cara Mengatasi Ilmu Pelet Pengasih atau Ilmu Guna-Guna







Om swastyastu..

Kali ini kami kembali lagi dengan tajuk yang agak lebih menarik untuk dibincangkan. setelah kemarin kami mencoba memaparkan tentang Ilmu pelet pengasih atau ilmu guna guna dan tentang ilmu kawisesan kiri atau Ilmu Liak (leak), berikut ini kami akan mencoba mengumpulkan cara beserta beberapa ilmu yang sempat kami baca, terapkan dan beberapa info yang biasanya digunakan untuk menghilangkan pengaruh Ilmu pelet pengasih atau ilmu guna guna tersebut.


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

kami ingat kan kembali, bahwa Ilmu pelet pengasih atau ilmu guna guna itu tidak akan sehebat isu yang dihembuskan bilamana yang menggunakan tersebut orangnya belum memahami tehnik kawisesan. seperti halnya mobil canggih yang lengkap dengan semua fasilitas pendukungnya. apabila dikendarai atau dipakai oleh orang awam apalagi belum pernah mengendarai mobil maka ilmu / alat tersebut tidak akan jalan, andai jalan palingan cuma sekedar jalan dan efeknya tidak seberapa. tetapi bila digunakan oleh orang yeng berkompeten dibidang kawisesan, alat tersebut akan sangat manjur.. jadi tidak usah terlalu risau.

Berbahaya atau tidak, itu semua tergantung pemakainya.

Analoginya sebilah pisau, bila digunakan oleh tukang masak maka akan berguna untuk orang lain, tapi bila digunakan oleh penjahat maka pisau tersebut bisa digunakan untuk menyakiti hingga membunuh orang lain.

Menurut pemahaman kami, menimbang dari berbagai masukan tetua yang sempat ditemui saat mulai mengenal dunia keilmuan, Ilmu pelet pengasih atau ilmu guna guna itu boleh dipergunakan oleh :



Orang cacad fisik
Orang yang dihina atau direndahkan serta dicemooh
Orang yang susah mencari pasangan hidup tapi umurnya sudah mendekati masa pasif: umur 35 tahun bagi wanita (atau mendekati masa monopose) dan umur 40 tahun bagi lelaki.



Jadi intinya Ilmu pelet pengasih atau ilmu guna guna boleh digunakan oleh orang yang jauh dari harapan dan andai kata terpaksa menggunakan ilmu tersebut tentunya tidak boleh sampai menyakiti.

Baiklah, berikut ini cara untuk membebaskan dan memunahkan efek dari Ilmu pelet pengasih atau ilmu guna guna tersebut, baik dengan sarana benda maupun dengan menggunakan ilmu kawisesan.




Tehnik menggunakan ilmu kawisesan - MANTRA

Terlebih dahulu gunakanlah 2 mantra berikut ini :




Iki Pengater Mantra

Mantranya : Ong ang ung, teka ater 3x, ang ah, teka mandi 3x, ang.
BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah




Iki Pangurip Mantra (saluwiring mantra wenang)

Mantranya : Ong betare indra turun saking suargan, angater puja mantranku, mantranku sakti, sing pasanganku teka pangan, rumasuk ring jadma menusa, jeneng betara pasupati. Ong ater pujanku, kedep sidi mandi mantranku, pome.

Ang urip ung urip mang urip, teka urip 3x urip, bayu urip sabda urip idep urip, teka urip 3x, jeneng.




Setelah menggunakan mantra tersebut, silahkan pilih tehnik kawisesan berikut ini:

Iki Pamancut salwiring guna (kaliput baan guna)


Sarananya: Toya ring batok areng, atau Yeh pasereyan tunun, mandikan orang yang terkena

Mantranya : idep aku meme bapa pertiwi akasa, saguna japa mantra lekas, sama kamisayan, satru musuhku wus, kabancut 3x.

Panglebur lara

Iki panglebur lara roga, mwang kenēng upa drawa, mwang dening durjana, mwang ipyan ala, kalebur dēnya

Sarananya : air putih

Mantranya : sang, bang, tang, ang, ing, tirta paritra, ang ung mang enyana, Om mrtha.




Sumber : cakepane.blogspot.com

Pura Anjasmoro Jombang Jawa Timur

 Pura Anjasmoro, terletak di Dusun Jarak, Desa Wonosalam, Jombang, Jawa Timur. Pada umumnya pura ini tak jauh beda dengan pura-pura yang lain. Memiliki satu padmasana, satu penglurah dan satu candi yang didalamnnya terdapat patung dewa surya.


Pemangku pura Anjasmoro Romo Mangku Supri Hardianto sedang memimpin persembahyangan.

Pura ini hanya memiliki satu plangkiran yang terdapat di madya Madala. Plangkiran ini diletakkan di tiang tepat di depan pintu tengah masuk ke Utama Mandala. Biasanya digunakan ketika pembelajaran anak pasraman.


Pura ini hanya memiliki satu Kran air bersih yang terletak di Madya Mandala tepatnya di sebelah kanan sudut pada saat masuk ke Madya Mandala. Air ini digunakan sebagai pernyucian atau permbersihan ketika masuk ke Utama Mandala.


Tampilan pagar Pura Anjasmoro jika dilihat dari luar depan pintu masuk Madya Mandala.


Meja yang digunakan ketika melaksanakan persembahyangan.


Penglurah yang terdapat di sebelah kiri Padmasana

 Padmasana Pura Anjasmoro.


Candi dibagian kanan Padmasana Pura Anjasmoro


Plang Nama Pura yang terbuat dari Kayu.

Tampilan Pura Anjasmoro pada Utama Mandala

Pintu Masuk ke Madya Mandala Pura Anjasmoro





Terdapat satu patung yang terletak pada samping kiri padmasana

Untuk Nista Mandala masih dalam tahap pembangunan.

Sabtu, 25 Juni 2022

Makna “Melukat”












MELUKAT merupakan bagian dari pelaksaan upacara Manusa Yadnya, yang memiliki tujuan untuk membersihkan dan menyucikan pribadi secara lahir dan batin. Yang dibersihkan ialah hal negatif dan malapetaka yang diperoleh dari dosa-dosa baik berasal dari sisa perbuatan terdahulu atau Sancita Karmaphala maupun dari perbuatan hidup saat ini.
Pengertian Melukat

Melukat berasal dari kata “lukat” dalam Bahasa Kawi-Bali berarti bersihin, ngicalang. Jika dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “lukat” berarti melepaskan (tentang barang yang dilekatkan). Kemudian mendapat awalan “me” menjadi melukat yang diartikan melakukan suatu pekerjaan untuk melepaskan sesuatu yang melekat dinilai kurang baik melalui upacara keagamaan secara lahir dan batin.
Makna Melukat

Melaksanakan upacara melukat merupakan salah satu usaha untuk membersihkan dan menyucikan diri pribadi agar dapat mendekatkan diri pada yang suci yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang tak lain merupakan tujuan akhir dari pada kehidupan manusia. Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah Maha Suci dan tentu merupakan sumber Kesucian. Maka sangat diperlukan adanya kesucian dalam pribadi kita untuk dapat mendekatkan diri dengan Beliau yang Maha Suci. Dan dengan melukat merupakan salah satu upayanya.
Dalam Pustaka Suci “Manawa Dharma Sastra” Bab V sloka 109, dinyatakan sebagai berikut :
“Adbhir gatrani cuddhyanti manah satyena cuddhyti,cidyatapobhyam buddhir jnanena cuddhyatir.”
Artinya :

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, roh dengan ilmu dan tapa, akal dibresihkan dengan kebijaksanaan.
Apabila makna dan arti sloka tuntunan ini dihayati secara mendalam, maka melukat menggunakan sarana air untuk pembersihan tubuh secara lahir (sekala), sedangkan untuk sarana penyucian menggunakan Tirtha Penglukatan, yang mana telah dimohonkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa oleh pemimpin upacara melalui doa,puja dan mantram dengan diikuti oleh yang akan melukat.
Jenis Upacara Melukat
Jika ditinjau dari pelaksanaan dan tujuan upacaranya. Ada 7 macam upacara melukat, yaitu sebagai berikut :
Melukat Astupungku, untuk membersihkan dan menyucikan malapetaka seseorang yang diakibatkan oleh Pengaruh hari kelahiran dan Tri Guna (Satwam, Rajas, Tamas) yang tidak seimbang dalam dirinya.
Melukat Gni Ngelayang, untuk pengobatan terhadap seseorang yang sedang ditimpa penyakit.
Melukat Gomana, untuk penebusan Oton atau hari kelahiran yang diakibatkan oleh pengaruh yang bernilai buruk dari Wewaran dan Wuku. Misalnya pada mereka yang lahir pada wuku Wayang.
Melukat Surya Gomana, untuk melepaskan noda dan kotoran yang ada pada diri Bayi. Misalnya pada saat Nelu Bulanin.
Melukat Semarabeda, untuk menyucikan Sang Kama Jaya dan Sang Kama Ratihdari segala noda dan mala pada upacara Pawiwahan (Perkawinan).
Melukat Prabu, untuk memohonkan para pemimpin agar kelak dalam melaksanakan tugasnya mendapatkan kejayaan dan kemakmuran.
Melukat Nawa Ratna, dapatkan dikatakan mempunyai makna yang sama dengan Melukat Prabu.
Selain melukat berdasarkan upacaranya, juga terdapat melukat untuk membersihkan diri secara sekala dan niskala melalui tempat suci seperti Tirtha Empul, Sebatu dll. Dan jika ingin melukat yang lebih sederhana dirumah bisa dengan melukat menggunakan Bungkak Nyuh Gading. Dewasa yang baik adalah pada Rahina Purnama.
Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama. Suksma. –sumber



istilah NARAKA


Avīci hell in Buddhism | KASKUS
istilah NARAKA itu sudah digunakan oleh kaum Buddha lebih dari 2600 tahun yang lalu,
secara leterlek NARAKA baik dalam Bhs Sanskerta & Pali berarti 'TERBAKAR',
istilah lain yang digunakan oleh kaum Buddha yang bersinonim dng NARAKA adalah NIRAYA yang terdiri dari 2 kata NIR + AYA.
Nir = TIADA
Aya = KEBAJIKAN
NIRAYA = TIADA KEBAJIKAN,
ajaran Buddha yang telah ada lebih dari 2600 tahun yang lalu mengajarkan adanya 31 DIMENSI ALAM KEHIDUPAN, berdasar pada sifat kehidupannya dikelompokkan ke dalam 2 kelompok alam besar, yaitu SUGATI dan DUGATI.
SU = akar kata dari kata SUKHA = KEBAHAGIAAN
DU = akar kata dari kata DUKHA = PENDERITAAN
GATI = akar katanya adalah GA = PERGI / MENUJU KE.
SUGATI = Pergi / menuju ke dalam ALAM KEBAHAGIAAN.
DUGATI = Pergi / menuju ke dalam ALAM PENDERITAAN.
yang meliputi SUGATI yaitu:
1] Empat Alam Tiada Wujud & Bentuk (Arupadhatu)
2] Enam Belas Alam Cahaya (Rupadhatu)
3] Enam Alam Kebahagiaan Inderawi (Surga-loka)
4] Alam Manusia (Manussa-loka)


yang meliputi DUGATI yaitu:
1] Alam Binatang (Tirancchana-loka)
2] Alam Para Raksasa/Jin (Asura-loka)
3] Alam Para Hantu (Peta-loka)
4] Alam Naraka (Naraka-loka)
naaah, karena itu di dalam di dalam naskah Tipitaka (Kitabnya kaum Buddha) NARAKA sering diartikan TERBAKAR KE DALAM API PENDERITAAN KARENA TIDAK ADANYA KEBAJIKAN.
===========
istilah SURGA sendiri juga berasal dari Bhs Sanskerta & Pali, yang terdiri dari 2 kata yaitu SU + ARGA (Pali: AGGA)
SU = akar kata dari kata SUKHA = KEBAHAGIAAN
ARGA (Pali: AGGA) = PUNCAK
dalam tatabahasa Sanskerta penggabungan SU+ARGA (SUARGA) penulisan aksaranya adalah SVARGA.
dalam tatabahasa Pali penggabungan SU+AGGA (SUAGGA) penulisan aksaranya adalah SAGGA.
SUARGA, SVARGA, SAGGA, SURGA = PUNCAK KEBAHAGIAAN.

Dagang Banten Bali


===========
SURGA dan NARAKA sesungguhnya adalah tentang
KEBAHAGIAAN dan PENDERITAAN.
Dua (2) kondisi yang saling bertolak belaka yang apa adanya menggerakkan hidup semua wujud diri yang ada dalam seluruh dimensi kehidupan ini, YANG AKHIRNYA 2 kondisi tersebut MEMPROYEKSIKAN segala jenis KESADARAN & PIKIRAN yang ada pada semua wujud diri yang ada di seluruh kehidupan ini.
jadi SURGA dan NARAKA itu adalah PROYEKSI dari KESADARAN dan PIKIRAN dari para wujud diri (makhluk) itu sendiri, BUKAN HASIL CIPTAAN untuk memberikan HUKUMAN atau BERKAH yang di dasarkan pada KEPUTUSAN KEHENDAK dari SUATU SATU DIRI TERTENTU, yang mana SATU DIRI TERTENTU TERSEBUT lantas dalam Kepercayaan Abrahamik (Yahudi, Kristen dan Islam) dipanggil pake nama panggilan ALLAH.