Minggu, 19 Juni 2022

Ngaben Shiva Sumedang “Sebuah Pilihan Bijak”

 



Dirangkum Moderator Lokakarya
Acharya Rishi Sadhu Giriramananda
SHIVA Sumedang - adalah salah satu dari 12 metode pengabenan tradisional yang mengadopsi “Lontar Local Genius Bali”. Pilihan pengabenan Shiva Sumedang ini di zaman now , sejatinya keputusan yang bijaksana, di tengah pengaruh kaum milineal , era 4.0 yang masif , dimana menuntut laku serba praktis, efektif dan efisien. Atas tuntutan itu mau tidak mau ada suatu motivasi melakukan suatu inovasi yang dikreasi berlandaskan plutuk basic dengan tanpa mengurangi esensi, hakekat mekanisme tatanan local genius Bali yang sudah diadopsi menjadi tradisi secara turun temurun itu. Menyimak jenis Pangabenan masih ada 11 jenis lainnya mengacu pada Kumpulan Weda Puja Pitra Shiva (Dinas Kebudayaan Bali 2001) yakni : 1. Sawa Prateka, 2. Sawa Wedhana, 3. Pranawa, 4. Swastha, 5. Pitra Puja, 6. Sawatandangmantri, 7. Utamaning atau Madyaning Mapranawa, 8. Supta Pranawa, 9. Swastya Bya, 10. Swasta Geni, 11. Pitra Tarpana. Lalu bagaimanakah hakekat Pengabenan Shiva Sumedang itu?
Shiva Sumedang khususnya meniti tatanan prosesi Pengabenan jalan (pemargi) Shiva yang gaib. Sumedang maknanya adalah gaib, niskala. Intinya, pola pengabenan Shiva Sumedang itu dilakukan secara ngelanus - artinya sehari selesai bahkan bisa dituntaskan (puput 5 jam). Dari persiapan ngeringkes di rumah, kemudian memprosesi badan wadah dengan ngaben di setra - menyucikan jiwa dari segala papa, klesa menjadi atma yang murni kembali ke Sangkan Paraning Dumadi dengan sebelumnya dilakukan ngeroras di Segara yang ada Gunung. Namun sengaja dipilih tempat suci yang ada segara dan gunung dalam posisi menyatu. Seperti di Pura Goa Lawah atau Pura Uluwatu. Setelah ritual Nyegara Gunung itu tuntas, selanjutnya balik ke rumah sang lampus, dilakukan ritual Ngelinggihang menjadi Dewa Pitara di Rong Tiga, Mrajan genah rumah sang lampus sebelumnya. Nah.. demikian dirangkum “Semiloka Nasional - Seminar dan Loka Karya Shiva Sumedang , Sebuah Pilihan Bagi Umat Hindu” Semiloka Nasional digelar Yayasan Veda Poshana Ashram Pusat dengan bekerjasama dengan Swargashanti dan juga Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI ) Provinsi Bali. Hadir pada seminar itu 285 peserta dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Jawa, 212 , Hotri, Pinandita dan termasuk 73 Sulinggih / Pandita Agni. Tampil sebagai Pembicaara Dharma Adyaksa PHDI Pusat , Ratu Pedanda Nabe Bang Buruan Manuaba, Ida Pandita Nabe Mpu Abra Baskara Mukti Biru Daksa, Ketua Sabha Walaka PHDI Bali Dr Made Suasti Puja, SE, M. Fil H, Hadir Juga memberikan wacana suci Ketua PHDI Bali Prof Dr . IGN Sudiana, M. Si, President World Hindu Parisad Dr Mangku Pastika dan Penangjawab Acara Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Agni Yogananda. Semiloka ini dimoderatori Ida Pandita Rsi Acharya Swi Rarendra Mahadharma (sesi pertama seminar) dan Ida Pandita Agni Acharya Rishi Sadhu Giriramananda (Sesi II Lokakarya)


Pilihan Bijak
Penanggungjawab acara Pandita Nabe Sri Bagawan Agni Yogananda, mengungkapkan perasaanya sangat bahagia, lebih lebih bertepatan dengan Hari Pawetuannya / otonannya. Dengan redah hati mengatakan kepada segenap hadirin yang dihormati sebagai jiwa jiwa mulia dan penuh cinta kasih. Menurutnya, Semiloka Pitra Yadnya dengan sub tema Shiva Sumedang ini, sebuah pilihan sangat bijak bagi umat Hindu di zaman now. Tema yang diangkat dalam semiloka ini bukan saja menantang bahkan sangat merangsang. Sehinga peserta dari berbagai daerah ikut berpartisipasi. Di antara jenis jenis yadnya, Pengebenan ini sebetulnya ritual yang dilakukan sejak zaman Purba. Namun dalam aplikasinya warga sering mengalami kebingungan menempuh pilihan jenis serta rujukan referensi petunjuk pegelarannya, sehingga pilihan terakhir minta petunjuk balian. Relatif banyak mengabaikan sastra secara murni sebagai pedoman dominan. Nah kemudian hasilnya lain balian lain pula bawos pewisiknya. Maka parahnya kemudian bukan tidak mungkin akhirnya ngaben itu bisa diulang. Agar tidak muncul kejadian seperti itu, kalau tidak punya sradha / keyakinan mau tidak mau dituntut lebih bijak mempelajari sastra atau tatwa dari Pengabenan itu.
Namun di sisi lain ada fenomena penyelenggaran pitra yadnya ngaben itu dengan stigma “ngabehin” . Karena itu tidak salah menjadi suatu beban pihak pihak yang tidak memiliki dana memadai.
Sedangkan dari segi kuantitas prosesi ngaben itu dikelompokan menjadi 9 macam yakni: nistaning kanista, nistaning madya, nistaning utama, madyaning kanista, madyaning madya, madyaning utama, utamaning kanista, utamaning madya lan utamaning utama.
“Sesungguhnya yang mana saja dipilih, tidak ada yang salah. Terpenting sesuai dengan sradawan labate jnana - srada dan melalui pengetahuan itu menjadi keyakinan yang teguh,” tambah Ketua Veda Poshana Ashram Pusat itu.
Akan halnya prosesi Shiva Sumedang itu efektif , teknis nya dilakukan di zaman now, substansi mekanismenya, ada prosesi pemisahan stula sariran dan suksma, sekaligus sambil menunggu pengabenan sesi prosesi atma/ ngeroras jalan terus. Kemudian Puspalingga dan Sange diprosesi di segara , dengan nyegara gunung , selanjutnya Ngelinggihang Dewa Pitara di Rong Telu Mrajan. Karena itu tidak aneh , jika durasi waktu yang diperlukan dari prosesi Shiva Sumedang itu jadi singkat.



Semoga Jadi Bhisama
Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si, selaku Ketua PHDI Bali, mendukung penuh semiloka nasional Shiva Sumedang ini. Bahkan, hasil semiloka itu diharapkan bisa dikumpulkan, kemudian dipakai bahan dalam pesamuan nasional PHDI Pusat nantinya. “Nanti bisa dibawa ke pesamuan agung. Semoga bisa menjadi bhisama terkait pitrayadnya yang efektif dan efisien,” harap Rektor Universitas Hindu Negeri IGB Sugriwa itu.
Prof Dr IGN Sudiana, juga menegaskan dirinya secara pribadi sering turun terlibat pengabenan massal. Seperti di Muncan, PHDI bekerjasama dengan Telkomsel. Di masyarakat masih ada masalah berbagai hal pada umat hingga ada 7 keturunan belum diprosesi ngaben. Menurut , Yama Tatwa jika kurang setahun tidak diaben, banyak menjadi bute cuil. Pengabenan Shiva sumedang yang dilakukan ngelanus alias selesai sehari ini sangat bagus. Karena itu Seminar Lokakarya Nasional ini sangat strategis dan bijak sebagai salah satu pilihan ngaben. “Jadi banyak ada pilihan, manut eka struti binacara” Upacara Ngaben di Jawa, Kalimantan, Sulawesi satu jenis saja ada yang disebut Tiwah, Turan turan, Nyewu. Memang pilihan model pengabenan di Bali banyak ragamnya. “Namun semua jenis pengebenan itu sah - sah saja” tegas Prof IGN. Yang terpenting substansi upacara itu dilakukan dengan hati tulus las carhya dengan penuh sradha . “Karena itu rumuskan yang baik prosesi Ngaben Shiva Sumedang ini,” pinta IGN Sudiana menekankan.
Solusi Bijaksana
President World Hindu Parisad (WHP) , Dr Mangku Pastika, menyambut baik metode pengabenan Shiva Sumedang ini. Apalagi disemangati dengan suasana hati suci dan tujuan mulia. “Saya menyambut baik, Pengabenan Shiva Sumedang ini adalah salah satu solusi yang baik melakukan swadharma bhakti kepada orang tua yang ada menganggap sebagai beban. Agar umat Hindu tetap eksis mau tidak mau harus diselamatkan dengan cara solusi bijaksana, dimana beban yang dirasakan umat harus diringankan dan dikurangi secara perlahan. Tetapi sudah pasti tanpa mengurangi esensi, “ pinta Mantan Gubernur Bali itu.
Hindu sangat adaptif terhadap perubahan, sesuai Desa Kala Patra. Intinya Sanathana itu adalah Nutana abadi tetap remaja atau chiranjiwi. Jadi, kalau kita kaku, hanya berpendoman masa lalu, sering kemudian diapresiasi sebagai suatu yang ribet, menyulitkan sehingga jadi beban. “Perubahan secara bijak dan ideal harus dilakukan, namun bukan berarti menghilangkan budaya yang merupakan hasil cipta rasa karsa yang luhur. Perubahan itu menyusuaikan agar kita tetap survive, dan juga tidak ada konversi - pindah agama, “ ujar mantan Kapolda Bali dan Kalahar BNN itu.
Gerakan Veda Poshana Ashram Pusat, yang melakukan perubahan perubahan cerdas dan bijak sangat bagus. “Gerakan VPA Pusat ini saya sambut baik dan dukung, “ tambah salah satu anggota DPD Bali itu
Ada juga kelompok comportable - sudah ada di zone nyaman - mereka cenderung tidak mau berubah. Dan kemudian memberi pengaruh bagi umat itu, sehingga memunculkan alasan “takut” kepongor. Ada pula tidak masalah melakukan karena dalih “gengsi” sebagai motifnya. “Mestinya beryadnya itu landasannya bakti yang murni full keilklasan”
Yadnya itu pada hakekatnya ada dalam frame dasar triguna - satwika, rajasik, tamasik. Beryadnya yang ideal itu harusnya dengan rasa bakti penuh penyerahan diri tanpa pamerih.
“Kenyataanya sengaja membuat yadnya besar , supaya dibilang tidak nista. Diliput dijadikan berita besar dengan biaya Rp 3 miliar. Hal seperti itu tergolonng upacara rajasik, mereka itu inggin dibilang hebat,” tambahnya
Celakanya masyarakat tidak mau kalah. Maka kemudian apa yang terjadi, melakukan upacara pitra dengan cara berutang. Ada carik , sawahnya diiklaskan dijual, SK digadaikan di bank. Di sisi lain ada sebagian pihak ngalih bati - mencari untung- , “ upacara model itu tergolong tamasik. Dosa yang ngalih untung itu besar sekali. Karena itu, mana yang kita pilih ?. “Mari kita pilih sesuai semiloka ini , sebab ada suatu proses transformasi dari ritual ke spiritual, “ tambah lulusan terbaik Akpol itu. Karena itu kemudian dengan nada kritis Dr Mangku Pastika bertanya apakah yadnya ngaben itu ukurannya bebangkit?. Atau yadnya Utamaning utama ?. Banyak masih belum paham esensi yadnya itu. “Masih bagus belum ada yang nanyak. Apa makna itu, untuk apa substansinya ini,” kata Pastika yang disambut gerr hadirin.
“Setuju Pengabenan Shiva Sumedang itu sebuah pilihan yang bagus” yakin tetap pada substansi makna prosesi pitra yadnya, dari jasad, tulang, atma menjadi Dewa Pitara. Lalu bagimana halnya kalau ada memotoh, judi,, minum, narkoba. “Apakah mereka layak jadi Bhetara,” tanya Dr Mangku Pastika dengan kritis . Dia sendiri yang sudah berusia 69 ini, bertekad bulat memanfaakan sisa hidupnya, agar layak jadi bhetara. Layaknya kita semua menjadi bethara?
Dirikan Koperasi Ngaben
Ketua DharmaAdyaksa PHDI Pusat, Ida Pedanda Gede Bang Buruan Manuaba yang berencana menggelar prosesi tingkat Diksa trijati di India, menyatakan pelaksanaan yadnya itu “roh” nya harus ada kesepakatan antara Sang Tapini, Pamuput, dan sane Medue Karya. Kesepakatan sarwa prani hitangkari. Kembali ke makanisme asal perlakuan, parikrama atau seremoni itu. Prosesi Ngaben , kalau umat percaya tidak masalah dilakukan dengan prosesi dibakar cara Homa Traya, Homa Yadnya, Agni Hotra dan lumrahnya dengan tradisi local genius Bali yang diwarisi secara turun temurun. Kata Ngaben itu seidentik sama tidak serupa dalam perlakuan vokal , p b m yang masih satu artikualasi dengan kata produksi Prapen, kemudian menjadi Ngaben bukan Paben. Terkait Ngaben itu, kita lihat utility - ketepat gunaan- Karena itu kita tidak perlu bertengkar. Misalnya ada yang memilih Ngaben dengan menggunakan Api Suci Homa Traya. Hal itu sesungguhnya tidak masalah. Sebab Pedanda, Sulinggih , Pandita menggunakan juga api yang disebut Pedamaran. Yadnya homa dilakukan diri kita atma kunda dalam proses Dagdi Karana. Biarkan kearifan lokal itu mengalir. Apa yang diaben/ apa yang dibakar, jenasah , tulang dgn atman - jiwa - perlakukan dengan ngaskara - satu jenasah dibakar kemudian Dewa Pitara dilinggihang di merajan.
“Dalam prosesi ritual itu semua jenis badan diprosesi suci. Baik itu stula sariranya dipreteka, suksma sariranya dengan ngewangun dan ngajum, atma dengan ngadegang sawa, Kita meyakini ada kehidupan di dimensi lain yakni rumah rong telu di Mrajan masing masing. Kalau ngaben dianggap wajib, maka kita manajemen dengan baik sejak dini sehingga pada saatnya tidak susah. Ayo kita nabung sedikit. “Mari kita buat Asuransi Ngaben, dalam wadah Koperasi. Mungkin dengan dana abadi Rp 5 juta. Kan sangat terjangkau. Dengan jaminan dikremasi tuntas di Mumbul dan kemudian Ngelinggihang. Ketika dimanejemen dengan bagus, jadi umat tidak ada masalah dengan dana , saat kelayusekaran dan pasti masuk sorga. “Hal itu penting diatensi, agar jangan hidup sudah susah, mati pun susah. Dengan ikut Koperasi, hidup bahagia swarga masuk ke Shivaloka . Mari bangun pola pikir yang bijaksana. Maka pastinya yang sulit akan jadi gampang. Yang gampang jadi terjangkau.
“Tidak ada yang salah. Harapan saya mari kita bersatu padu, untuk mewujudkan jagadhita dan moksartam. Dan membuat Koperasi Pengabenan, “ pinta Pedanda Nabe Bang Buruan Manuaba
Dari Kingkara Jadi Shankara
Sedangkan, Dr Made Suasti Puja, dengan rendah hati dirinnya mengatakan bahagia jadi pengayah. Ia mempercayai ada proses elevasi spiritual dari kesadaran Kinggarabala menjadi Shankara. Sebagai Mantan Ketua Swarga Shanti dan Mantan Ketua VPA, ia percaya pada saatnya menjadi Dewa Hyang / Dewa Pitara dan menyatu dengan Tuhan. Tujuan hidup kita adalah mewujudkan “Atmanah mosahrtam jagadhita ya ca. Karena itu,
Ketua Sabba Walaka PHDI Bali, itu mendorong kita harus terus menerus bershadana ekstra keras, berupaya mewujudkan atma saksatkara - realizasikan diri , jagadhita lahir dan bhatin. Fokus pada Kesadaran Atma widya / Brahma Widya , jnanaagni yang dapat membebaskan kita semua.
Jangan Ajum Amah Gengsi
Pembicara Utama Seminar itu tampil paling terakhir sebagai keynot specker, dan juga sekaligus pada Sesi II jadi Nara Sumber Loka Karya Siva Sumedang itu, adalah Ida Pandita Nabe Abra Bhaskara Mukti Biru Daksa. Suasana dibuat meriah , banyat tawa audensi mengapresiasi narasi narasi kocak dan guyonan segar sang orator top itu. Kepribadian Nabe Abra yang cerdas, kocak dengan juke juke menggitik, tidak pelak membuat audiens ketawa terpingkal pingkal. Namun juga Nabe Abra Bhaskara terkadang serius dengan pemaparan deskripsi Pangeban Siva Sumedang itu secara holistik, sistematis, terskruktur, karena Beliau telah memimpin upacara itu bukan lagi belasan tetapi puluhan kali. Menurutnya, dalam penyamaan visi Pengabenan ala Shiva Sumedang ini tetap harus menggunakan wiweka. Menentukan pilihan tentu berdasarkan Iksa, - pahami dulu, Sakti - ukur kesaktian dananya, kude isi kantonge, Desa — , tempat pelaksanaanya, dan Kala - waktu. Siapa berani dengan kala yang paling kejam itu. Kala tidak bisa diajak kompromi alias KKN. Karena itu idealnya begitu meninggal harus diupacarakan dengan baik walau simple tidak masalah. Hidup sebagai manawa ini punya utang pitra rnam. Utang itu menuntut dibayar, semaksimal mungkin harus diusahakan. Kita harus bayar pengorbanan orang tua yang sudah beryadnya kepada kita dengan tulus, bukan saja orang tua kita itu atulungurip, angupadyaya abelapati - demi sukses anak anaknya. Begitu besar pengorbanan orang tua. “Karena itu jangan pernah kita tidak membalas budi baik orang tua kita. Maka kalian wajib bayar utang itu, menghormati nya dengan cara memberi pengakuan dan yadnya yang pantas . Pitra yadnya sekala, menolong orang tua. Moksartham jagadhita — patru mitru wandanam “You must believe full” ujar Pembina VPA yang disambut terpingkal pingkal hadirin. Dan juga melakukan yadnya secara niskala. Lalu apa itu pitra yadnya niskala. Yadnya niskala itu merupakan satu paket prosesi dari tiga upacara sawa wedana - pengeringkesan , Asti wedana - nguyeh tulang ngayut ke pasih Atma wedana - memproses yang membungkus ngaskara penyekahan - apang tidak negul atma sarira budal ke sunya.
Sulinggih idelnya bukan saja sebagai konseptor yang baik. Sang Dwija juga wajib sebagai konselor dan juga Sang Pandita itu sekaligus sebagai motivator dan inovator. Dan terakhir serta terpenting sebagai eksekutor. Karena itu harus mampu mengeksekusi dengan baik.
Setelah prosesi Atma wedana - kemudian menjadi Dewa Pitara - sesuai tradisi kemudian ngelinggihang di Sanggah Rong Telu Kemulan. Sesungguhnya setelah prosesi atma sarira itu, sudah selesai karena sang Dwija dengan tantra, mantra, yantra dan mudranga mengantarkan pada jalan manjing ring Sangkan Paraning Dumadi. Lalu kenapa dilinggihkan di Sanggah Kemulan ?. Sudah tentu , agar pratisentanenya - keturunannya - ketika rindu inggin mengenang beliau cukup melalui Sanggah Kemulan.

Memang manarik salah satu metode Pengabenan itu yakni Shiva Sumedang ini diangkat dalam semiloka Nasional VPA , jika menilik etimologi nya memang serem / angker sekali . Shiva Sumedang itu terdiri dari Shiva dan Sumedang. Maknanya Dewa Shiva turun menggaibkan dengan bhisama puput/ selesai prosesinya hanya dilakukan di setra. Sebab, dalam prosesi Pengabenan itu sudah ada intervensi Shiva. Lalu kenapa harus ragu. Setelah Semiloka ini, jangan ragu ragu lagi. “Mari belajar memprosesi kematian dengan baik dari sekarang,” harap Srimpu Abra Baskara.
Tidak perlu menggunakan “bebangkit” dengan Shiva Sumedang ini.
Terkait pengabenan di Bali, dasar hukum sastranya memang banyak, jika dihitung lebih 50 lontar.
“Intinya prakerti itu kembali ke Bhuana Agung . Sedangkan Atma / Paramatma menyatu dengan Purusha ke Sangkan Paramaning Dumadi, “ tegasnya.
Lalu bagaimana ketika menghadapi kelayusekaran itu. Langkah pertama harus membentuk panitia kecil , kemudian menetapkan pilihan pada cara Pengabenan Shiva Sumedang. Jazad diringkes sesuai makanismenya, kemudian berangkat ke setra, yang belum natab penyambutan — mengetus - menghilangkah kedukaan, mapepegat - meperas jalan - bayar tol setiap perempatan. Selanjutnya saat iring iringan stana pitra dan yang paling belakang adalah sulinggih. Mungkin aneh, demikian lah model Siva Sumedang itu. Setelah di setra jenasah dibakar, pangadeg dibawa ke prajapati. Sulinggih munggah ngarga weda puja , kemudian ngaskara pengabenan, medyus kamaligi , melukat menjaga jaya menghadap ke surya dan mengundang dewa dewa terkait. Juga dilakukan penebusan ke prajapati, by pass margatiga. Setelah itu sembahyang mohon restu purwa daksina chantingkan om namah shiva , sulinggih di Bale Pawedan nguncarang mantra mantra Weda Pitra Puja. Selesai diproses itu ada peningkatan dari Pitra menjadi Pitara menggunakan mantra Saptaomkara Bhiseka, setelah itu Narpana , Semua dewa - dewa yang diundang pada saat mempersembahkan jemek dijemput Puspalingga Penyekahan. Selanjutnya Jemek dipralina ditaruh di atas jenasah yang dibakar. Saat itu prosesi nyekah tetap jalan sampai mapetik - puncak upacara penyucian - Dewa Pitara - kemudian Ngadegang Sangge , distanakan dan menjemput / ngundang Shiva Kailash agar puspalingga dan Sangge itu sungkem selanjutnya prosesi purwadaksina di sanggah cucuk - catur loka pala - lembu Nandini , kemudian munggah ke bale pyadnyan , Sangge, Puspalingga diayabang semua sentananya keluarga keturunanya “Ingat jangan tukang banten yang ngayabang. Wajib yang ngayabang itu yang punya yakni keluarganya. Para , sentanenya lah yang ngayab dan juga menyembahyangi,” tegas Mpu Abra Baskara. Setelah ngayab dan disembahyangi keluarganya. Puspalingga dan Sange diturunkan. Dewa Pitra dari Puspalingga dilinggihkan di Daksina linggih yang Baru dan Sangge juga baru. Sedangkan yang lama dibakar .. pembakaran di penyekahan nguleg tulang, Puspaasti pengabenan dan Puspaasti Penyekahan. Kemudian Dua Puspa Asti yang ditempatkan di Daksina Linggih yang baru mecaru di Pemuun mengucapkan terimakasih kemudian memargi ke Segara. Ketika berangkat ke Segara sedangkan di Mrajan saat itu juga dilakukan pecaruan. Kemudian segenap pecaruan itu sambehang ke pekarangan. Sedangkan di laut dilakukan prosesi dua Puspaasti, prosesi nganyut, nyegara Gunung dan meajar ajar dengan prosesi Pratista. Dasarnya tiga lontar, Purwa Bumi Kemulan,Lebur Sangsa dan Medang Kemulan.
Penyempurnaanya selalu kita wajib melakukan penghormatan sembah kepada laut dan darat karena itu dilakukan lah prosesi Nyegara Gunung itu sebelum Ngelingihan Dewa Pitara di Rong Telu Mrajan. Puja kepada Bethara Darat nya Sang Giripati dan Sang Hyang Baruna , adalah lautnya. Intinya beragama itu sejatinya sradha - kepercayaan. Karena itu sampunang bobong apalagi ajum amah gengsi. Demikianlah benang merah Pamilaku/ Tatanan / Mekanisme yang terkuak dalam Seminar dan Loka Karya - Semiloka - Nasional Siva Sumedang dengan Subtema , Sebuah Pilihan Bagi Umat Hindu, yang dilangsungkan di Gedung PHDI Bali Sabtu 7 Maret 2020 oleh Veda Poshana Ashram Pusat, bekerja sama dengan Swargishanti dan PHDI Provinsi Bali.Ngaben Shiva Sumedang
“Sebuah Pilihan Bijak”


Dirangkum Moderator Lokakarya
Acharya Rishi Sadhu Giriramananda
SHIVA Sumedang - adalah salah satu dari 12 metode pengabenan tradisional yang mengadopsi “Lontar Local Genius Bali”. Pilihan pengabenan Shiva Sumedang ini di zaman now , sejatinya keputusan yang bijaksana, di tengah pengaruh kaum milineal , era 4.0 yang masif , dimana menuntut laku serba praktis, efektif dan efisien. Atas tuntutan itu mau tidak mau ada suatu motivasi melakukan suatu inovasi yang dikreasi berlandaskan plutuk basic dengan tanpa mengurangi esensi, hakekat mekanisme tatanan local genius Bali yang sudah diadopsi menjadi tradisi secara turun temurun itu. Menyimak jenis Pangabenan masih ada 11 jenis lainnya mengacu pada Kumpulan Weda Puja Pitra Shiva (Dinas Kebudayaan Bali 2001) yakni : 1. Sawa Prateka, 2. Sawa Wedhana, 3. Pranawa, 4. Swastha, 5. Pitra Puja, 6. Sawatandangmantri, 7. Utamaning atau Madyaning Mapranawa, 8. Supta Pranawa, 9. Swastya Bya, 10. Swasta Geni, 11. Pitra Tarpana. Lalu bagaimanakah hakekat Pengabenan Shiva Sumedang itu?
Shiva Sumedang khususnya meniti tatanan prosesi Pengabenan jalan (pemargi) Shiva yang gaib. Sumedang maknanya adalah gaib, niskala. Intinya, pola pengabenan Shiva Sumedang itu dilakukan secara ngelanus - artinya sehari selesai bahkan bisa dituntaskan (puput 5 jam). Dari persiapan ngeringkes di rumah, kemudian memprosesi badan wadah dengan ngaben di setra - menyucikan jiwa dari segala papa, klesa menjadi atma yang murni kembali ke Sangkan Paraning Dumadi dengan sebelumnya dilakukan ngeroras di Segara yang ada Gunung. Namun sengaja dipilih tempat suci yang ada segara dan gunung dalam posisi menyatu. Seperti di Pura Goa Lawah atau Pura Uluwatu. Setelah ritual Nyegara Gunung itu tuntas, selanjutnya balik ke rumah sang lampus, dilakukan ritual Ngelinggihang menjadi Dewa Pitara di Rong Tiga, Mrajan genah rumah sang lampus sebelumnya. Nah.. demikian dirangkum “Semiloka Nasional - Seminar dan Loka Karya Shiva Sumedang , Sebuah Pilihan Bagi Umat Hindu” Semiloka Nasional digelar Yayasan Veda Poshana Ashram Pusat dengan bekerjasama dengan Swargashanti dan juga Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI ) Provinsi Bali. Hadir pada seminar itu 285 peserta dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Jawa, 212 , Hotri, Pinandita dan termasuk 73 Sulinggih / Pandita Agni. Tampil sebagai Pembicaara Dharma Adyaksa PHDI Pusat , Ratu Pedanda Nabe Bang Buruan Manuaba, Ida Pandita Nabe Mpu Abra Baskara Mukti Biru Daksa, Ketua Sabha Walaka PHDI Bali Dr Made Suasti Puja, SE, M. Fil H, Hadir Juga memberikan wacana suci Ketua PHDI Bali Prof Dr . IGN Sudiana, M. Si, President World Hindu Parisad Dr Mangku Pastika dan Penangjawab Acara Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Agni Yogananda. Semiloka ini dimoderatori Ida Pandita Rsi Acharya Swi Rarendra Mahadharma (sesi pertama seminar) dan Ida Pandita Agni Acharya Rishi Sadhu Giriramananda (Sesi II Lokakarya)



Pilihan Bijak
Penanggungjawab acara Pandita Nabe Sri Bagawan Agni Yogananda, mengungkapkan perasaanya sangat bahagia, lebih lebih bertepatan dengan Hari Pawetuannya / otonannya. Dengan redah hati mengatakan kepada segenap hadirin yang dihormati sebagai jiwa jiwa mulia dan penuh cinta kasih. Menurutnya, Semiloka Pitra Yadnya dengan sub tema Shiva Sumedang ini, sebuah pilihan sangat bijak bagi umat Hindu di zaman now. Tema yang diangkat dalam semiloka ini bukan saja menantang bahkan sangat merangsang. Sehinga peserta dari berbagai daerah ikut berpartisipasi. Di antara jenis jenis yadnya, Pengebenan ini sebetulnya ritual yang dilakukan sejak zaman Purba. Namun dalam aplikasinya warga sering mengalami kebingungan menempuh pilihan jenis serta rujukan referensi petunjuk pegelarannya, sehingga pilihan terakhir minta petunjuk balian. Relatif banyak mengabaikan sastra secara murni sebagai pedoman dominan. Nah kemudian hasilnya lain balian lain pula bawos pewisiknya. Maka parahnya kemudian bukan tidak mungkin akhirnya ngaben itu bisa diulang. Agar tidak muncul kejadian seperti itu, kalau tidak punya sradha / keyakinan mau tidak mau dituntut lebih bijak mempelajari sastra atau tatwa dari Pengabenan itu.
Namun di sisi lain ada fenomena penyelenggaran pitra yadnya ngaben itu dengan stigma “ngabehin” . Karena itu tidak salah menjadi suatu beban pihak pihak yang tidak memiliki dana memadai.
Sedangkan dari segi kuantitas prosesi ngaben itu dikelompokan menjadi 9 macam yakni: nistaning kanista, nistaning madya, nistaning utama, madyaning kanista, madyaning madya, madyaning utama, utamaning kanista, utamaning madya lan utamaning utama.
“Sesungguhnya yang mana saja dipilih, tidak ada yang salah. Terpenting sesuai dengan sradawan labate jnana - srada dan melalui pengetahuan itu menjadi keyakinan yang teguh,” tambah Ketua Veda Poshana Ashram Pusat itu.
Akan halnya prosesi Shiva Sumedang itu efektif , teknis nya dilakukan di zaman now, substansi mekanismenya, ada prosesi pemisahan stula sariran dan suksma, sekaligus sambil menunggu pengabenan sesi prosesi atma/ ngeroras jalan terus. Kemudian Puspalingga dan Sange diprosesi di segara , dengan nyegara gunung , selanjutnya Ngelinggihang Dewa Pitara di Rong Telu Mrajan. Karena itu tidak aneh , jika durasi waktu yang diperlukan dari prosesi Shiva Sumedang itu jadi singkat.
Semoga Jadi Bhisama
Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si, selaku Ketua PHDI Bali, mendukung penuh semiloka nasional Shiva Sumedang ini. Bahkan, hasil semiloka itu diharapkan bisa dikumpulkan, kemudian dipakai bahan dalam pesamuan nasional PHDI Pusat nantinya. “Nanti bisa dibawa ke pesamuan agung. Semoga bisa menjadi bhisama terkait pitrayadnya yang efektif dan efisien,” harap Rektor Universitas Hindu Negeri IGB Sugriwa itu.
Prof Dr IGN Sudiana, juga menegaskan dirinya secara pribadi sering turun terlibat pengabenan massal. Seperti di Muncan, PHDI bekerjasama dengan Telkomsel. Di masyarakat masih ada masalah berbagai hal pada umat hingga ada 7 keturunan belum diprosesi ngaben. Menurut , Yama Tatwa jika kurang setahun tidak diaben, banyak menjadi bute cuil. Pengabenan Shiva sumedang yang dilakukan ngelanus alias selesai sehari ini sangat bagus. Karena itu Seminar Lokakarya Nasional ini sangat strategis dan bijak sebagai salah satu pilihan ngaben. “Jadi banyak ada pilihan, manut eka struti binacara” Upacara Ngaben di Jawa, Kalimantan, Sulawesi satu jenis saja ada yang disebut Tiwah, Turan turan, Nyewu. Memang pilihan model pengabenan di Bali banyak ragamnya. “Namun semua jenis pengebenan itu sah - sah saja” tegas Prof IGN. Yang terpenting substansi upacara itu dilakukan dengan hati tulus las carhya dengan penuh sradha . “Karena itu rumuskan yang baik prosesi Ngaben Shiva Sumedang ini,” pinta IGN Sudiana menekankan.
Solusi Bijaksana
President World Hindu Parisad (WHP) , Dr Mangku Pastika, menyambut baik metode pengabenan Shiva Sumedang ini. Apalagi disemangati dengan suasana hati suci dan tujuan mulia. “Saya menyambut baik, Pengabenan Shiva Sumedang ini adalah salah satu solusi yang baik melakukan swadharma bhakti kepada orang tua yang ada menganggap sebagai beban. Agar umat Hindu tetap eksis mau tidak mau harus diselamatkan dengan cara solusi bijaksana, dimana beban yang dirasakan umat harus diringankan dan dikurangi secara perlahan. Tetapi sudah pasti tanpa mengurangi esensi, “ pinta Mantan Gubernur Bali itu.
Hindu sangat adaptif terhadap perubahan, sesuai Desa Kala Patra. Intinya Sanathana itu adalah Nutana abadi tetap remaja atau chiranjiwi. Jadi, kalau kita kaku, hanya berpendoman masa lalu, sering kemudian diapresiasi sebagai suatu yang ribet, menyulitkan sehingga jadi beban. “Perubahan secara bijak dan ideal harus dilakukan, namun bukan berarti menghilangkan budaya yang merupakan hasil cipta rasa karsa yang luhur. Perubahan itu menyusuaikan agar kita tetap survive, dan juga tidak ada konversi - pindah agama, “ ujar mantan Kapolda Bali dan Kalahar BNN itu.
Gerakan Veda Poshana Ashram Pusat, yang melakukan perubahan perubahan cerdas dan bijak sangat bagus. “Gerakan VPA Pusat ini saya sambut baik dan dukung, “ tambah salah satu anggota DPD Bali itu
Ada juga kelompok comportable - sudah ada di zone nyaman - mereka cenderung tidak mau berubah. Dan kemudian memberi pengaruh bagi umat itu, sehingga memunculkan alasan “takut” kepongor. Ada pula tidak masalah melakukan karena dalih “gengsi” sebagai motifnya. “Mestinya beryadnya itu landasannya bakti yang murni full keilklasan”
Yadnya itu pada hakekatnya ada dalam frame dasar triguna - satwika, rajasik, tamasik. Beryadnya yang ideal itu harusnya dengan rasa bakti penuh penyerahan diri tanpa pamerih.
“Kenyataanya sengaja membuat yadnya besar , supaya dibilang tidak nista. Diliput dijadikan berita besar dengan biaya Rp 3 miliar. Hal seperti itu tergolonng upacara rajasik, mereka itu inggin dibilang hebat,” tambahnya

Celakanya masyarakat tidak mau kalah. Maka kemudian apa yang terjadi, melakukan upacara pitra dengan cara berutang. Ada carik , sawahnya diiklaskan dijual, SK digadaikan di bank. Di sisi lain ada sebagian pihak ngalih bati - mencari untung- , “ upacara model itu tergolong tamasik. Dosa yang ngalih untung itu besar sekali. Karena itu, mana yang kita pilih ?. “Mari kita pilih sesuai semiloka ini , sebab ada suatu proses transformasi dari ritual ke spiritual, “ tambah lulusan terbaik Akpol itu. Karena itu kemudian dengan nada kritis Dr Mangku Pastika bertanya apakah yadnya ngaben itu ukurannya bebangkit?. Atau yadnya Utamaning utama ?. Banyak masih belum paham esensi yadnya itu. “Masih bagus belum ada yang nanyak. Apa makna itu, untuk apa substansinya ini,” kata Pastika yang disambut gerr hadirin.
“Setuju Pengabenan Shiva Sumedang itu sebuah pilihan yang bagus” yakin tetap pada substansi makna prosesi pitra yadnya, dari jasad, tulang, atma menjadi Dewa Pitara. Lalu bagimana halnya kalau ada memotoh, judi,, minum, narkoba. “Apakah mereka layak jadi Bhetara,” tanya Dr Mangku Pastika dengan kritis . Dia sendiri yang sudah berusia 69 ini, bertekad bulat memanfaakan sisa hidupnya, agar layak jadi bhetara. Layaknya kita semua menjadi bethara?
Dirikan Koperasi Ngaben
Ketua DharmaAdyaksa PHDI Pusat, Ida Pedanda Gede Bang Buruan Manuaba yang berencana menggelar prosesi tingkat Diksa trijati di India, menyatakan pelaksanaan yadnya itu “roh” nya harus ada kesepakatan antara Sang Tapini, Pamuput, dan sane Medue Karya. Kesepakatan sarwa prani hitangkari. Kembali ke makanisme asal perlakuan, parikrama atau seremoni itu. Prosesi Ngaben , kalau umat percaya tidak masalah dilakukan dengan prosesi dibakar cara Homa Traya, Homa Yadnya, Agni Hotra dan lumrahnya dengan tradisi local genius Bali yang diwarisi secara turun temurun. Kata Ngaben itu seidentik sama tidak serupa dalam perlakuan vokal , p b m yang masih satu artikualasi dengan kata produksi Prapen, kemudian menjadi Ngaben bukan Paben. Terkait Ngaben itu, kita lihat utility - ketepat gunaan- Karena itu kita tidak perlu bertengkar. Misalnya ada yang memilih Ngaben dengan menggunakan Api Suci Homa Traya. Hal itu sesungguhnya tidak masalah. Sebab Pedanda, Sulinggih , Pandita menggunakan juga api yang disebut Pedamaran. Yadnya homa dilakukan diri kita atma kunda dalam proses Dagdi Karana. Biarkan kearifan lokal itu mengalir. Apa yang diaben/ apa yang dibakar, jenasah , tulang dgn atman - jiwa - perlakukan dengan ngaskara - satu jenasah dibakar kemudian Dewa Pitara dilinggihang di merajan.
“Dalam prosesi ritual itu semua jenis badan diprosesi suci. Baik itu stula sariranya dipreteka, suksma sariranya dengan ngewangun dan ngajum, atma dengan ngadegang sawa, Kita meyakini ada kehidupan di dimensi lain yakni rumah rong telu di Mrajan masing masing. Kalau ngaben dianggap wajib, maka kita manajemen dengan baik sejak dini sehingga pada saatnya tidak susah. Ayo kita nabung sedikit. “Mari kita buat Asuransi Ngaben, dalam wadah Koperasi. Mungkin dengan dana abadi Rp 5 juta. Kan sangat terjangkau. Dengan jaminan dikremasi tuntas di Mumbul dan kemudian Ngelinggihang. Ketika dimanejemen dengan bagus, jadi umat tidak ada masalah dengan dana , saat kelayusekaran dan pasti masuk sorga. “Hal itu penting diatensi, agar jangan hidup sudah susah, mati pun susah. Dengan ikut Koperasi, hidup bahagia swarga masuk ke Shivaloka . Mari bangun pola pikir yang bijaksana. Maka pastinya yang sulit akan jadi gampang. Yang gampang jadi terjangkau.
“Tidak ada yang salah. Harapan saya mari kita bersatu padu, untuk mewujudkan jagadhita dan moksartam. Dan membuat Koperasi Pengabenan, “ pinta Pedanda Nabe Bang Buruan Manuaba
Dari Kingkara Jadi Shankara
Sedangkan, Dr Made Suasti Puja, dengan rendah hati dirinnya mengatakan bahagia jadi pengayah. Ia mempercayai ada proses elevasi spiritual dari kesadaran Kinggarabala menjadi Shankara. Sebagai Mantan Ketua Swarga Shanti dan Mantan Ketua VPA, ia percaya pada saatnya menjadi Dewa Hyang / Dewa Pitara dan menyatu dengan Tuhan. Tujuan hidup kita adalah mewujudkan “Atmanah mosahrtam jagadhita ya ca. Karena itu,
Ketua Sabba Walaka PHDI Bali, itu mendorong kita harus terus menerus bershadana ekstra keras, berupaya mewujudkan atma saksatkara - realizasikan diri , jagadhita lahir dan bhatin. Fokus pada Kesadaran Atma widya / Brahma Widya , jnanaagni yang dapat membebaskan kita semua.


Jangan Ajum Amah Gengsi
Pembicara Utama Seminar itu tampil paling terakhir sebagai keynot specker, dan juga sekaligus pada Sesi II jadi Nara Sumber Loka Karya Siva Sumedang itu, adalah Ida Pandita Nabe Abra Bhaskara Mukti Biru Daksa. Suasana dibuat meriah , banyat tawa audensi mengapresiasi narasi narasi kocak dan guyonan segar sang orator top itu. Kepribadian Nabe Abra yang cerdas, kocak dengan juke juke menggitik, tidak pelak membuat audiens ketawa terpingkal pingkal. Namun juga Nabe Abra Bhaskara terkadang serius dengan pemaparan deskripsi Pangeban Siva Sumedang itu secara holistik, sistematis, terskruktur, karena Beliau telah memimpin upacara itu bukan lagi belasan tetapi puluhan kali. Menurutnya, dalam penyamaan visi Pengabenan ala Shiva Sumedang ini tetap harus menggunakan wiweka. Menentukan pilihan tentu berdasarkan Iksa, - pahami dulu, Sakti - ukur kesaktian dananya, kude isi kantonge, Desa — , tempat pelaksanaanya, dan Kala - waktu. Siapa berani dengan kala yang paling kejam itu. Kala tidak bisa diajak kompromi alias KKN. Karena itu idealnya begitu meninggal harus diupacarakan dengan baik walau simple tidak masalah. Hidup sebagai manawa ini punya utang pitra rnam. Utang itu menuntut dibayar, semaksimal mungkin harus diusahakan. Kita harus bayar pengorbanan orang tua yang sudah beryadnya kepada kita dengan tulus, bukan saja orang tua kita itu atulungurip, angupadyaya abelapati - demi sukses anak anaknya. Begitu besar pengorbanan orang tua. “Karena itu jangan pernah kita tidak membalas budi baik orang tua kita. Maka kalian wajib bayar utang itu, menghormati nya dengan cara memberi pengakuan dan yadnya yang pantas . Pitra yadnya sekala, menolong orang tua. Moksartham jagadhita — patru mitru wandanam “You must believe full” ujar Pembina VPA yang disambut terpingkal pingkal hadirin. Dan juga melakukan yadnya secara niskala. Lalu apa itu pitra yadnya niskala. Yadnya niskala itu merupakan satu paket prosesi dari tiga upacara sawa wedana - pengeringkesan , Asti wedana - nguyeh tulang ngayut ke pasih Atma wedana - memproses yang membungkus ngaskara penyekahan - apang tidak negul atma sarira budal ke sunya.
Sulinggih idelnya bukan saja sebagai konseptor yang baik. Sang Dwija juga wajib sebagai konselor dan juga Sang Pandita itu sekaligus sebagai motivator dan inovator. Dan terakhir serta terpenting sebagai eksekutor. Karena itu harus mampu mengeksekusi dengan baik.
Setelah prosesi Atma wedana - kemudian menjadi Dewa Pitara - sesuai tradisi kemudian ngelinggihang di Sanggah Rong Telu Kemulan. Sesungguhnya setelah prosesi atma sarira itu, sudah selesai karena sang Dwija dengan tantra, mantra, yantra dan mudranga mengantarkan pada jalan manjing ring Sangkan Paraning Dumadi. Lalu kenapa dilinggihkan di Sanggah Kemulan ?. Sudah tentu , agar pratisentanenya - keturunannya - ketika rindu inggin mengenang beliau cukup melalui Sanggah Kemulan.



Memang manarik salah satu metode Pengabenan itu yakni Shiva Sumedang ini diangkat dalam semiloka Nasional VPA , jika menilik etimologi nya memang serem / angker sekali . Shiva Sumedang itu terdiri dari Shiva dan Sumedang. Maknanya Dewa Shiva turun menggaibkan dengan bhisama puput/ selesai prosesinya hanya dilakukan di setra. Sebab, dalam prosesi Pengabenan itu sudah ada intervensi Shiva. Lalu kenapa harus ragu. Setelah Semiloka ini, jangan ragu ragu lagi. “Mari belajar memprosesi kematian dengan baik dari sekarang,” harap Srimpu Abra Baskara.
Tidak perlu menggunakan “bebangkit” dengan Shiva Sumedang ini.
Terkait pengabenan di Bali, dasar hukum sastranya memang banyak, jika dihitung lebih 50 lontar.
“Intinya prakerti itu kembali ke Bhuana Agung . Sedangkan Atma / Paramatma menyatu dengan Purusha ke Sangkan Paramaning Dumadi, “ tegasnya.
Lalu bagaimana ketika menghadapi kelayusekaran itu. Langkah pertama harus membentuk panitia kecil , kemudian menetapkan pilihan pada cara Pengabenan Shiva Sumedang. Jazad diringkes sesuai makanismenya, kemudian berangkat ke setra, yang belum natab penyambutan — mengetus - menghilangkah kedukaan, mapepegat - meperas jalan - bayar tol setiap perempatan. Selanjutnya saat iring iringan stana pitra dan yang paling belakang adalah sulinggih. Mungkin aneh, demikian lah model Siva Sumedang itu. Setelah di setra jenasah dibakar, pangadeg dibawa ke prajapati. Sulinggih munggah ngarga weda puja , kemudian ngaskara pengabenan, medyus kamaligi , melukat menjaga jaya menghadap ke surya dan mengundang dewa dewa terkait. Juga dilakukan penebusan ke prajapati, by pass margatiga. Setelah itu sembahyang mohon restu purwa daksina chantingkan om namah shiva , sulinggih di Bale Pawedan nguncarang mantra mantra Weda Pitra Puja. Selesai diproses itu ada peningkatan dari Pitra menjadi Pitara menggunakan mantra Saptaomkara Bhiseka, setelah itu Narpana , Semua dewa - dewa yang diundang pada saat mempersembahkan jemek dijemput Puspalingga Penyekahan. Selanjutnya Jemek dipralina ditaruh di atas jenasah yang dibakar. Saat itu prosesi nyekah tetap jalan sampai mapetik - puncak upacara penyucian - Dewa Pitara - kemudian Ngadegang Sangge , distanakan dan menjemput / ngundang Shiva Kailash agar puspalingga dan Sangge itu sungkem selanjutnya prosesi purwadaksina di sanggah cucuk - catur loka pala - lembu Nandini , kemudian munggah ke bale pyadnyan , Sangge, Puspalingga diayabang semua sentananya keluarga keturunanya “Ingat jangan tukang banten yang ngayabang. Wajib yang ngayabang itu yang punya yakni keluarganya. Para , sentanenya lah yang ngayab dan juga menyembahyangi,” tegas Mpu Abra Baskara. Setelah ngayab dan disembahyangi keluarganya. Puspalingga dan Sange diturunkan. Dewa Pitra dari Puspalingga dilinggihkan di Daksina linggih yang Baru dan Sangge juga baru. Sedangkan yang lama dibakar .. pembakaran di penyekahan nguleg tulang, Puspaasti pengabenan dan Puspaasti Penyekahan. Kemudian Dua Puspa Asti yang ditempatkan di Daksina Linggih yang baru mecaru di Pemuun mengucapkan terimakasih kemudian memargi ke Segara. Ketika berangkat ke Segara sedangkan di Mrajan saat itu juga dilakukan pecaruan. Kemudian segenap pecaruan itu sambehang ke pekarangan. Sedangkan di laut dilakukan prosesi dua Puspaasti, prosesi nganyut, nyegara Gunung dan meajar ajar dengan prosesi Pratista. Dasarnya tiga lontar, Purwa Bumi Kemulan,Lebur Sangsa dan Medang Kemulan.
Penyempurnaanya selalu kita wajib melakukan penghormatan sembah kepada laut dan darat karena itu dilakukan lah prosesi Nyegara Gunung itu sebelum Ngelingihan Dewa Pitara di Rong Telu Mrajan. Puja kepada Bethara Darat nya Sang Giripati dan Sang Hyang Baruna , adalah lautnya. Intinya beragama itu sejatinya sradha - kepercayaan. Karena itu sampunang bobong apalagi ajum amah gengsi. Demikianlah benang merah Pamilaku/ Tatanan / Mekanisme yang terkuak dalam Seminar dan Loka Karya - Semiloka - Nasional Siva Sumedang dengan Subtema , Sebuah Pilihan Bagi Umat Hindu, yang dilangsungkan di Gedung PHDI Bali Sabtu 7 Maret 2020 oleh Veda Poshana Ashram Pusat, bekerja sama dengan Swargishanti dan PHDI Provinsi Bali.



Rabu, 15 Juni 2022

Pencak Silat Si Tembak Pedawa Khusus Atraksi Upacara Yadnya





CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

ATRAKSI: Sejumlah pemuda dan remaja Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng berlatih pencak silat. Sesepuh Pencak Silat Si Tembak Desa Pedawa, Wayan Tunas (insert) (Dian Suryantini/Bali Express)

SINGARAJA, BALI EXPRESS-Pencak Silat merupakan permainan (keahlian) dalam mempertahankan diri dengan kepandaian menangkis, menyerang, dan membela diri.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Pencak silat juga diartikan gerak bela diri tingkat tinggi yang disertai dengan perasaan. Sehingga merupakan penguasaan gerak efektif dan terkendali, serta sering dipergunakan dalam latihan sabung atau pertandingan.

Selain itu, pencak silat sebagai fitrah manusia untuk membela diri, dan sebagai unsur yang menghubungkan gerakan, dan pikiran (olah gerak dan olah pikir).


Dari beberapa definisi tersebut, maka Pencak Silat dapat diartikan sebagai hasil budaya manusia untuk membela, mempertahankan eksistensi dan integritas terhadap lingkungan hidup, alam sekitarnya untuk mencapai keselarasan hidup guna peningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan.

Di samping itu, olahraga tradisional ini juga lumrah dipentaskan untuk hiburan atau pertandingan.

Namun terkait Pencak Silat ini, khusus di Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Kabupaten, ternyata hanya dipentaskan tatkala ada upacara tertentu. Baik itu upacara manusia yadnya ataupun upacara yadnya lainnya. Namun, yang paling sering adalah pada saat pelaksanaan manusa yadnya.

“Dahulu sudah ada Pencak Silat, bahkan sebelum saya lahir. Tapi tidak ditampilkan di hadapan umum atau dipertandingkan. Dahulu Pencak Silat itu hanya akan dipentaskan kalau ada upacara-upacara tertentu saja. Misalnya ketika ada yang tiga bulanan dan yang punya hajatan memiliki nazar untuk mementaskannya,” ujar sesepuh Pencak Silat Si Tembak Desa Pedawa, Wayan Tunas.




Pencak Silat di Desa Pedawa ini cukup menarik. Dilihat dari gerakannya, masih mempertahankan pakem-pakem terdahulu. Dari kuda-kuda, gaya menangkis, kelincahan memainkan senjata, seluruhnya sangat rapi. Para pesilat yang sudah terampil nampak tak pernah keluar dari pakem yang tegas saat tampil.

“Semua gerakannya tidak ada yang berubah. Dari dahulu memang begitu. Itu turun-temurun, dan tidak boleh diubah. Gerakannya tegas. Itu kalau tampil di desa atau hajatan. Kalau sekarang kan sudah ada kompetisi ya. Kalau mau ikut, tentu harus mengikuti peraturan zaman sekarang. Itu beda lagi tekniknya, " ujarnya.

Kalau tidak dilombakan atau bukan dalam sebuah kompetisi, lanjutnya, saat pentas Pencak Silat Pedawa harus tetap pada jalurnya.

Sekilas memang Pencak Silat ini nampak sama dengan Pencak Silat di daerah lain. Gambelan yang dipakai pun menggunakan Gong Kemong. Lengkap dengan Cengceng dan Kendang.

Selain itu, sebelum pentas dihaturkan sesaji berupa Peras Daksina, Ajuman, dan Ajengan. Kemudian menghaturkan piuning di Pura Puseh Desa Pedawa dan Pura Munduk.

“Kalau yang itu sama saja. Cuma uniknya ya itu tadi, dahulu dipentaskan saat upacara yadnya saja. Kalau sebelum pentas harus mohon restu ke sungsungan Ida, supaya tidak terjadi sesuatu saat pentas,” imbuh Tunas.

Namun, diakui Tunas, tradisi Pencak Silat dalam kaitan upacara yadnya ini memang tidak tercatat dalam sumber-sumber lain, seperti lontar atau babad maupun yang lainnya.

Tradisi di Desa Pedawa mengalir secara turun-temurun yang disebarluaskan para leluhurnya. Karena begitu hormatnya warga Pedawa terhadap leluhur, hingga kini tradisi-tradisi yang berkembang masih terus dijaga dan tetap dilakukan menurut kepercayaan masyarakat setempat.

“Tidak ada tercatat dalam sumber. Ini sudah dilakukan secara turun-temurun. Dari para leluhur, terus kami menceritakan seperti itu, dan kami sebagai generasi penerus wajib menjaga dan melakukannya untuk keseimbangan alam,” terangnya.

Memang zaman sekarang kalau tidak ada sumber yang jelas, lanjutnya, orang kadang tidak percaya. "Kami disini dengan segenap rasa, selalu yakin dan percaya bahwa apa yang kami lakukan, yang diwariskan leluhur itu untuk kebaikan.

"Kami yakin pula ketika itu dilakukan, maka akan mendapat berkah. Entah itu berupa rezeki, kesehatan atau yang lainnya. Berkah itu tidak selalu tentang uang,” terangnya.



(bx/dhi/rin/JPR)


Minggu, 12 Juni 2022

Prosesi Sudhi Wadani, Pengesahan Seseorang Untuk Menganut Agama Hindu

 

Pada Selasa, 26 Oktober 2021, Sukmawati Soekarnoputri yang merupakan putri dari dari Soekarno, Presiden Pertama RI menggelar prosesi Sudhi Wadani  dan resmi memeluk agam Hindu yang dari sebelumnya memeluk agama Islam. Buat kalian yang penasaran apa yang dimaksud dengan prosesi Sudhi Wadani, berikut penjelasannya.

Kata Sudhi wadani berasal dari Bahasa Sansekerta, dan berasal dari dua kata yakni sudhi dan wadani. Sudhi berarti penyucian, persembahan, upacara pembersihan/penyucian, sedangkan wadani berarti banyak perkataan, banyak pembicaraan atau bentuk lainnya seperti wadana yang dapat berarti muka, mulut, perilaku atau cara bicara.

Sehingga Sudhi Wadani dapat diartikan sebagai upacara dalam Hindu sebagai pengukuhan atau pengesahan seseorang secara tulus untuk menganut agama Hindu. Upacara Suddhi Wadani memiliki dasar hukum yang kuat dalam hukum Hindu yaitu berlandaskan azas Atmanastuti sebagai salah satu sumber Dharma. Dalam prosesi ini yang menjadi saksi utama adalah Sang Hyang widhi (Tuhan), yang bersangkutan sendiri, dan Pimpinan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) atau yang ditunjuk untuk mewakili.

Sebelum menjalankan upacara Sudhi Wadani, seseorang yang akan memeluk agama Hindu harus memenuhi persyaratan administrasi seperti membuat surat pernyataan bahwa keputusan menjadi umat Hindu tanpa ada paksaan dan tekanan, membuat surat permohonan kepada PHDI, melampirkan pas foto dan KTP, dan menghadirkan saksi-saksi.

Wakil Ketua PHDI Bali, Pinandita I Ketut Pasek Swastika mengatakan, pada dasarnya Sudhi Wadani merupakan suatu proses seseorang untuk menjadi Hindu dari agama lain. Ia menyebutkan ada dua jenis Sudhi Widani yakni karena pernikahan dan atas kemauan sendiri.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Untuk melakukan Sudhi Wadani ini, seseorang harus mendapat surat keterangan dari orang tua/wali, serta dua orang saksi. Selain itu juga siap menandatangani surat pernyataan masuk ke dalam agama Hindu.

Untuk pelaksanaan Sudhi Wadani ini bisa dilakukan di Kantor PHDI setempat, rumah sendiri, maupun melakukannya di griya. Untuk sarana upakaranya pun tidak besar, cukup dengan menggunakan pejati. Dan untuk di bawah menggunakan segehan manca warna atau segehan putih kuning.

Proses Sudhi Wadani ini bisa dituntun oleh seorang pemangku dan juga bisa sulinggih. Setelah melakukan pembersihan secara niskala, yang bersangkutan lalu mengucapkan aksara suci Om Ang Ung Mang kemudian dilanjutkan dengan Brahman Atman Aikyam. Pengucapan aksara suci tersebut diawali dengan Om Swastiastu dan diakhiri dengan Om Santi, Santi, Santi Om.

Setelah itu barulah seseorang yang pindah agama itu melakukan panca sembah, lalu diperciki tirta dan dipasangi benang tri datu di tangannya. Juga ada petuah dari PHDI setempat kepada mereka yang menjalani Sudhi Wadani ini.

Setelah itu, surat keterangan, surat pernyataan, maupun blangko yang sudah diisi kemudian diserahkan ke PHDI setempat. Kemudian, dari PHDI akan mengeluarkan surat keterangan Sudhi Wadani lengkap dengan foto diri yang nantinya dipakai untuk pengurusan dokumen kependudukan di Catatan Sipil. Untuk prosesi lainnya menyesuaikan dengan keinginan yang bersangkutan apakah akan melakukan prosesi tiga bulanan, satu oton, ataupun metatah, karena membutuhkan biaya tinggi.

Demikian penjelasan dari prosesi Sudhi Wadani, semoga bermanfaat. (CF/Google)


Pelangkiran Usaha & Bisnis Menurut kepercayaan Umat Hindu


Pelangkiran usaha atau bisnis adalah salah satu tempat yang biasanya terdapat di tempat usaha atau bisnis di Bali. Masyarakat Bali terutama masyarakat yang beragama hindu percaya kalau Pelangkiran usaha ini merupakan tempat pemujaan dan menstananakan Dewa pengendali agar usaha atau bisnis yang di jalani mendapatkan keberkatan dan perlindungan atas usaha yang dilaksanakan serta peredaran uangan di tempat usaha tersebut. Menurut kepercayaan, di pelakiran usaha atau bisnis ini terdapat 3 Dewa atau Bhatara yang berstana dan memiliki tugas yang berbeda, yakni :I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan bertugas sebagai pengenter dan pengendali taksu serta menuntun dan melindungi kita dalam berhubungan dengan orang lain atau semua relasi. Kelancaran komunikasi agar hubungan bisa berjalan sesuai yang diharapkan dan segala niat dan maksud bisa dimengerti oleh relasi ( ini yang disebut pengenter atau penghubung) serta memberi karisma dan wibawa kepada kita agar memiliki pengaruh bagus dihadapan orang lain ( ini yang disebut ketaksuan).
Dewa Ayu Mas Melanting bertugas menjaga setiap bentuk usaha yang dibuat termasuk barang dan orang orang yang bekerja, agar usaha berjalan lancar dan karyawan yang bekerja aman dan terlindung, menjaga orang-orang yang bekerja selamat dan bertindak jujur dalam usaha, kemudian menentukan hukum sebab akibat, serta segala kedisiplinan bekerja bagi semua orang.
Ida Bhatari Rambut Sedana yang bertugas menjaga dan melindungi proses keluar masuknya keuangan agar tidak diganggu oleh pihak lain atau kekuatan lain.

Pelangkiran Usaha atau bisnis ini biasanya menghadap ke selatan, hal ini terjadi sesuai denagn tatwa dan filosofi sastra dan lebih tepatnya bila di buat berbentuk pelangkiran namun berisi atap dan pintu. Hal ini maksudnya bahwa stana beliau tidak boleh ada gangguan dari kekuatan apapun yang bisa merusak stana beliau sebagai sumber Amerta.



- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Dipelangkiran usaha ini wajib menggunakan daksina linggih untuk menguatkan dan menetapkan lingga/ linggih/ stana dari Bhtara Taksu. Dalam istilah Hindu Bali disebut ngentegang linggih agar suapaya beliau 24 jam atau seharian penuh menjaga dan melindungi usaha yang dimiliki.

Serta melakukan penyucian dan mengharumkan lingga beliau dengan bunga-bunga harum setiap hari Purnama dan hari hari suci lainnya, terutama hari yang berkaitan dengan hari kerejekian ( hari Rambut Sedana/ Buda Wage).


Daksina linggi dipelangkiran ada dua yaitu satu daksina linggih untuk lingganya Bhatari Rambut Sedana dan satu lagi untuk lingganya Dewa Ayu Mas Melanting dan I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan.




Upakara yang di haturkan

Persembahan untuk Dewanya adalah banten peras pejati ketipat gong, taluh bekasem, punjung ireng berisi ayam betina hitam dipanggang, tirta bunga tunjung biru/ teleng biru atau persembehan sederhana canang sari berisi kopi dan air putih wadahidalam satu tempat.

Untuk bhutanya dipersembahkan sehehan kepel ireng duang kepel dadi atanding, atau caru ayam hitam betina dibagi menjadi empat porsi.

Fungsi dan Manfaat

Sebagai stana taksu geginan yang memberikan control terhadap usaha yang dilaksankan agar bisa berjalan lancer sesuai dengan harapan. Serta semua komunikasi interaksi terhadap semua pihak yang berkaitan dengan usaha bisa berjalan sama-sama menguntungkan.

Sebagai tempat memohon penglaris, pengarad, pelindung, pengendali dan pematuh bagi pelaku usaha serta semua pihak yang berkepentingan dalam interaksi usaha tersebut.

Sebagai tempat memohon peneduh tempat usaha agar menjadi nyaman bagi jalannya perputaran usaha serta setiap orang yang masuk kedalam lingkungan usaha menjadi nyaman, aman dan tentram.

Sebagai tempat memohon perlindungan usaha dari berbagai gangguan baik manusa sakti, ilmu hitam maupun mahluk gaib yang mengganggu usaha. (CF/Google)

KESUSASTRAAN SEBAGAI LANDASAN KEMBALI PADA DRESTA BALI DAN NUSANTARA

 



Om Hyang Buddha Tampahi Ciwa Rajadewa
Rwanekadhatu Winuwus, Wara Budhha Wicwa.
Bhinneki Rakwa Ring apan Kena Parwwanosen
Mangka Jinatwa Lawan Ciwatattwa Tunggal,
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.
Tidaklah mungkin mampu membangkitkan spirit tanpa tapa,
Tidaklah mungkin mampu mewujudkan tapa tanpa brata,
Tidaklah mungkin mampu mempraktekkan brata tanpa Yoga,
Tidaklah mungkin mampu melaksanakan yoga tanpa Samadhi,
Tidaklah mungkin mampu melaksanakan samadhi tanpa tuntunan guru penuntun……dan memulai dengan tapa lagi, begitu dan begitu seterusnya sebagai wujud yoga cakra mangilingan, yang tak pernah putus putus…
Tidaklah mungkin mampu menggelar yoga cakra mangilingan dengan tanpa sadhana, pembangkitannya dengan ritual, mengindahkan dengan yantra, dengan komunikasi mantra.
Yoga cakra mangilingan adalah kalacakra sejatinya, sadhana kepada bhumi sebagai tempat tumbuhnya seluruh mahluk hidup untuk berkehidupan yang masuk dalam kelompok bhuta yajnya.
Yoga Mandala adalah pembangkitan energi melalui pemahaman empat dunia rohani yang dikenal catur bavana. Salah satunya adalah sunya bavana yang hanya dapat dimasuki dengan penggabungan tri bavana atau triwikrama. Dalam olah yoga aksara dikenal sanghyang catur aksara.
Sunya bavana adalah sumber kehidupan yang absolut, dialah cahaya kehidupan yang tersembunyi, cahaya ini hanya terbangun dari yoga, diburu dengan perangkap ritual, diumpan pakai yantra dan dipanggil melalui mantra, tempat pelaksanaan seluruh kegiatan ini selalu dibungkus dengan bingkai permainan rohani dalam wujud sadhana upacara.
Keniscayaan,kesucian, kenirmalaan dan keindahan pada sunya bavana hanya mampu diwujudkan dengan api suci yang keluar dari bhumi sebagai sumbernya, dinamakan HOMA.

Tujuan dari perburuan ini adalah untuk membangkitkan benih-benih kemurnian ajaran kapurusan ( kabrahmanan ), untuk dapat menarik seluruh mamfaat hidup didunia, bahagia, damai dan surga itu, yang dimiliki oleh ajaran kemurnian kapradanan, dikenal shakti.
Lompatan ajaran dari kapurusan menuju kapradanan itulah tantrayana dan praktek-prakteknya diselipkan pada hampir seluruh kegiatan beragama hindu nusantara umumnya dan bali khususnya, namun tidak banyak yang mampu melihatnya, karena telah mengabaikan yoga.
Dalam kontek ajaran filsafat, keseluruhan ajaran tantrayana ini diaplikasikan dalam sebuah teks lontar yang sangat terkenal pada jaman majapahit, disaat agama siwa dan budha duduk bersama memikirkan kebahagiaan lahir bathin, bahkan diwujudkan dalam bentuk siwa budha manunggal, bhineka tunggal ikka tan hana dharma mangruwa, dikenal dengan lontar SutaSoma, buah karya Mpu Tantular.
Sebuah lontar yang berisikan permutasian semesta, formulasi bathin para brahmana saat itu, serta realitas tuhan sebagai buah cipta karsa manusia yang dinyatakan sebagai DIVA RUPA.
Kemudian diwujudkan sebagai bentuk surat, rajah dan gambar yang kita warisi sampai hari ini, sebagai bentuk BUDHA-YA.
Bahasa sastra jnana yang paling tepat untuk mengungkap proses ini tiada lain adalah KE SUSASTRA-AN, yang berisikan dasar penggalian pada aksara, penganalisaan serta pengembangan lebih lanjut dengan yoga aksara ( nyastra ) pada kelompok-kelompok sangga tertentu yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat, yang dinyatakan sebagai Pesantian.
Budaya pesantian inilah yang melahirkan pundi-pundi kesepakatan ( sidhantta ) antar masyarakat, sehingga melahirkan konsep seni sastra yang tiada banding ( sundharam ) seperti kelompok kesusastraan, kelompok seni drama dan tari, kelompok seni rupa, kelompok seni suara dan masih banyak lagi kelompok budaya yang berlandaskan bhakti atau wujud pelayanan pada alam semesta sebagai wujud upakara yajnya yang tertinggi.
Ilustrasi kesejagatan dengan paradigma baru sebagai masyarakat moderen tidak mampu memahami budaya sastra sebagai sebuah tradisi leluhur yang bersumber pada bhakti yaitu wujud Yajnya Sastra kepada alam, malah dijadikan ajang atau modus mencari ketenaran dengan cara eksplorasi bathin tanpa batas, sehingga menyebabkan penderitaan, penyakit kronis bahkan kematian.....maka disaat ini baru menyadari, tidaklah mungkin obat mujarab akan datang, kecuali penyesalan dan mau tidak mau liang kubur telah menunggu sebagai peristirahatan lama niraka bavana.
Semoga tulisan ini menjadikan kita mulai sadar dan mulai khawatir tentang keadaan dunia sudah semakin rawan kehancuran, sehingga kita semua seharusnya mewaspadainya dengan kesadaran rohani yang lebih matang dalam bingkai pengetahuan siwa budha manunggal dalam penggalian pada kelompok-kelompok sangga sastra yang tetap dituntun oleh seorang guru yang mumpuni di bidangnya.
Rahayu Rahayu Rahayu.

Nawa gempang caru penglukatan karang panes

 



wenten ring lontar lebur sangsa dan gong wesi.
Caru ayam berwarna 5 manut urip seperti caru manca sata,dan bebek putih di olah menjadi 9 karangan ,dan 9 tanding semua berisi sate 9 biji nasi 9 kepel ,kulit bebek putih di tutup kan di tengah metatakan ngiu / nyiru. Dan selanjut nya caru bhuta slurik.......
Banten dan caru ini biasanya di buat saat sebagai perlengkapan UPAKARA YADNYA : Manusa Yadnya , Butha yadnya , Rsi Yadnya , Dewa Yadnya , Pitra Yadnya .
Di buat dari jaja suci yg di buat menyerupai simbol simbol ALAM SEMESTA /Bhuwana Agung , biasa di sebut BANTEN PULA GEMbAL .
BANTEN PULA GEMbAL di tujukan kepada BHATARA GANA yaitu DEWA yg melindungi manusia dari godaan bhatara KALA .
Banten Pula Gempal biasanya di buat bersama Banten BEBANGKIT .
Banten Pula Gembal dan Banten Bebangkit tergolong Banten TATABAN .
Banten Bebangkit dan Banten Pula Gempal selalu di sertai Banten Sekar Taman.
Banten Bebangkit adalah di tujukan pada DEWI DURGA pengendali semua BHUTA KALA.
Banten Sekar Taman di tujukan pada DEWA SEMARA RATIH .
Banten bebangkit adalah simbol ALAM BHUANA AGUNG YANG DAHSYAT KEKUATANNYA .
ALAM ini bisa menjadi musuh juga sekalian menjadi sahabat umat manusia .
Karena di alam inilah manusia dan mahluk lainnya lahir , hidup dan mati ....juga ALAM adalah sumber penyakit juga sumber semua obat dari penyakit .
Banten Bebangkit untuk memuja DEWI DURGA ...DEWI DURGA adalah perwujudan KRODA/KEMARAHAN dari DEWA SIWA . Tetapi DEWI DURGA juga penguasa semua aspek BHUTA KALA dari alam itu sendiri .



BHUTA = RUANG , KALA =WAKTU ...tidak ada mahluk yg tidak berada di RUANG dan WAKTU .
Kalo manusia tidak bisa menata dirinya dengan benar di ruang dan waktu (bersinergi dengan ALAM SEMESTA ) ...maka BHUTA KALA(RUANG dan WAKTU ) menjadi sumber kesengsaraan dalam hidupnya .
Itu sebabnya tubuh kita yg merupakan BHUANA ALIT harus di selaraskan dengan ALAM SEMESTA yg merupakan BHUANA AGUNG di bantu dengan BANTEN TATAPAN yg terdiri dari BANTEN BEBANGKIT dan BANTEN PULA GEMBAL .
Dewi Durga adalah perwujudan KRODA/KEMARAHAN DEWA SIWA , haruslah di SOMIA menjadi perwujudan asli BELIAU yaitu DEWI UMA PARWATI .
Ketiga Banten inilah yaitu Banten Bebangkit , Banten Pula Gempal dan Banten Sekar Taman sarana YADNYA untuk mengubah Dahsyatnya Kekuatan BHUANA AGUNG/ALAM SEMESTA menjadi ALAM yg memberi CINTA KASIH pada manusia .
Bhatara GANA yg merupakan pemujaan yg di tujukan dengan Banten Pula Gempal yg memiliki peranan untuk menetralkan pengaruh ALAM NEGATIF menjadi Positif .
Simbolnya adalah DEWI DURGA yang KRODA/MARAH akan di redakan kemarahannya oleh Putra tercintanya DEWA GANA yg lebih di kenal dengan sebutan Dewa GANESHA .
Caru nawa gempang ?
Kitab lebur gangsa
Caru nawa gempang merupakan sebuah prosesi upacara buta yadnya untuk tempat tinggal dan tegalan yg angker . di sumber tanah angker itu harus di buatkan padma indrabelaka , bila tidak di isi padma maka caruu pun tiada guna sekalipun 100x mengadakan upacara buta Yadnya . apabila persyaratan itu tidak di patuhi maka muncul durga dari dalam tanah untuk memberi anugrah wewenang kepada sang kala maya untuk menyebarkan penyakit , di pinjam raga pemilik tanah sehingga dilihat berubah wujud jadi liak desti , boros , susah rejeki , sering ribut di keluarga .
Kalau ada kesulitan seperti itu , carilah di rumah tangga ( nyiksik bulu 😀😀)
Adapun caruu mawa gempang merupakan caru tertimgg ( widining caruu menurut kitab lebur gangsa ) yg cukup sederhana dan biaya yg murah cukup dg ayam empat warna sesuai warna pengurus mata angin di tengah sebagai pancer di ganti dg bebek pitih .
Ritual ini di lakukan bila si pemilik tidak mampu melakukan jenana tertinggi ( manunggal / ardenareswari / linuwih ) itupun sebatas hidupnya sang linuwiih karena mereka bisa membersihkan dg jenana nya .

Copas w sudika
Om Sastyastu
Om Awighnam astu namah siddham
Om Ano badrah kratawo yantu wiswatah 🙏
Dumadak tan kakeneng sot-sot upadrawa / cakrabawan Ida Sang Hyang Aji Saraswati, Sang Hyang Kawiswara ,Sang Hyang Guru Reka
Isi Tutur Gong Besi dan lanjut ke Tutur Lebur Gangsa.
Bagian- bagian isi Tutur Gong Besi yaitu Bagian 1. mengenai Betara Dalem / Dalem Kawi ..............
Bagian 2 dan 3 mengenai Keputusan Sang Hyang Wimbayagni serta Tutur Pematuh Ndewasraya dan juga Ajaran Sanghyang Dharmatattwa ,, bagian- bagian ini tidak bisa disampaikan/bahas, oleh karena mengandung sastra dan mantra-mantra yang sangat sakral dan pingit, hanya boleh disampaikan dalam hal aguron-guron.
Untuk Bagian-bagian 4 dan 5 mengenai pedewasan, hari baik dan buruk ( wariga ) dapat disampaikan bertahap karena menyangkut banyak materi seperti ; wewaran, neptu/urip wewaran, wuku, penanggal pangelong, sasih, dawuh dan pedewasan bersifat tenung,prathiti samutpada, wewatekan,lanang wadon,pengunya-unyaan saptawara dll lagi.
Lanjut ke Tutur Lebur Gangsa ( disampaikan isi secara ringkas ).
Tutur Lebur Gangsa adalah mengenai Durmanggala ( kedurmanggalan ) yaitu tanda -tanda yang membawa bahaya dalam bentuk yang aneh-aneh kadang2 diluar nalar.
Beberapa yang dapat disebut Durmanggala :
1. Kageni bhaya, kebakaran rumah
2. Karang panes ;
a.karipu bhaya, adanya pohon tumbang penyebabnya kurang jelas menimpa pekarangan/rumah
b.kalebon amuk,adalah orang mati karena jatuh
c. kalulut bhaya, adalah adanya lulut dipekarangan, baik lulut emas, lulut perak lulut besi.
d. keraja bhaya,adalah ada darah dipekarangan/rumah.
e. raga bhaya/ulah pati, adalah bila ada orang menusuk dirinya sendiri/bunuh diri.
f. kerare bhaya, meninggal karena melahirkan.
g. salah pati ,, mati dibunuh orang .
h. rumah tumbak rurung.
i. raga sesa adalah menambah dan mengurangi/memotong rumah.
dan banyak lagi yang dapat digolongkan Durmanggala tergantung dari sumber sastranya...dari masing2 sumber sastra tidak ada yang salah, menurut penulis semuanya benar ( sastra pinaka Sang Pencipta ).
Untuk menetralisir atau " melakukan pembersihan dan penyucian kembali/somya" dapat dilakukan dengan upakara Caru, sebagai pemahayu karang panes dan kedurmanggalan/durbhiksa.
Sepatutnya mendirikan pelinggih Antasana bagi Rumah Tumbak Rurung.
Beberapa Caru yang dapat dilaksanakan adalah, caru bhuta slurik, caru nawa gempang dan caru asu bang bungkem.
Apabila telah nampak ciri-ciri atau tanda2 Durmanggala dan Durbhiksa (buruk dan paceklik),yang sebutkan dalam Ajaran Aji Lebur Gangsa, sepatutnya mendirikan tempat suci yaitu Antasana adalah Pelinggih / Stana Sang Hyang Tiga Wisesa, yaitu Sang Hyang Indra Belaka, Sang Hyang Durgha Maya, dan Sang Hyang Kala Maya, ApabilaBeliau bertiga ini dibuatkan pelinggih Antasana maka Beliau bertiga manunggal mengeluarkan kekuatan /kehebatan menjadi Durgha Manik.
Disamping melakukan upakara Caru sebaiknya buat Pelinggih Antasana. Banyak lagi rumah pekarangan disebut kadurmanggalan, yaitu nguluning tempat suci/pura,, nguluning bale banjar,, apit rurung,,negen telabah,, rumah perempatan dll......patut dilakukan pemahayu pekarangan/rumah .
Apabila ada orang bunuh diri dalam satu pekarangan/rumah sepatutnya dilakukan pembersihan/penyucian dengan Caru Pamurna Nawa Gempang dan Caru Bhuta Slurik.
Demikian yang tersurat,tersirat dalam Ajaran / Tutur Lebur Gangsa



Rabu, 01 Juni 2022

Makna Hari Raya Soma Ribek

 


Tanggal 16 Oktober merupakan hari pangan yang diperingati oleh dunia internasional.  Umat Hindu Bali juga memiliki peringatan hari pangan yakni hari raya Soma Ribek. Hari raya Soma Ribek jatuh pada Soma (Senin) Pon wuku Sinta, dua hari setelah hari raya Saraswati.

Mengapa Soma Ribek diidentikkan sebagai hari pangan ala Bali? Menurut lontar Sundari Agama, teks tradisional yang dijadikan salah satu rujukan hari-hari raya suci Hindu. Soma Ribek adalah hari pemujaan Sri Amerta (manifestasi Hyang Widhi Wasa yang memberikan kemakmuran berupa bahan makanan, seperti beras dan lainnya. Awam biasa menyebut Soma Ribek sebagai hari piodalan (peringatan kelahiran) beras sebagai sumber pangan utama.

Maka dari itu, saat Soma Ribek, umat Hindu Bali akan menghaturkan sesaji di tempat-tempat yang memiliki kaitan erat dengan beras, seperti lumbung atau jineng (tempat penyimpanan padi) serta pulu (tempat penyimpanan beras). Sesaji yang dihaturkan lazimnya berupa banten khusus yang berisi nyanyah geti-geti, gringsing, raka-raka (buah-buahan), pisang emas, dan bunga-bunga harum. Dalam masyarakat Hindu Bali, seperti lazimnya masyarakat di Nusantara, padi atau beras memang memiliki makna khusus. Buktinya, banyak daerah di Nusantara memiliki cerita rakyat tentang asal mula padi atau beras. Masyarakat Nusantara melihat padi atau beras sebagai simbol kemakmuran.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Pada hari Soma Ribek, umat Hindu Bali disadarkan tentang betapa pentingnya pangan dalam kehidupan ini. Tanpa pangan manusia tidak bisa hidup dan menjalani kehidupannya. Karenanya, manusia pantas berterima kasih dan mengucap syukur ke hadapan Sang Pencipta atas karunia pangan yang melimpah.

Pantangan menumbuk padi serta menjual padi dan beras ini tersurat dalam lontar Sundarigama yang secara tradisi selama ini menjadi rujukan pelaksanaan hari raya Hindu di Bali. Para petani Bali yang masih taat pada tradisi yang bersumber pada teks biasanya akan menghentikan segala kegiatan bertani di sawah saat hari Soma Ribek. Mereka berkonsentrasi memuja Sang Hyang Sri Amertha, manifestasi Tuhan sebagai pemberi anugerah kemakmuran, segala jenis pangan.

Penyusun buku Rerahinan Hari Raya Umat Hindu, Wayan Budha Gautama menyebutkan ada tiga kegiatan utama yang dipantangkan saat hari Soma Ribek, yaitu mengetam padi dan memetik buah-buahan, menumbuk padi dan menyosoh gabah, serta menjual hasil pertanian termasuk tidak menjual beras. “Apabila hal-hal tersebut dilanggar, umat manusia akan dikutuk Batari Sri dan akan senantiasa mendapat kesulitan di bidang pangan,” tulis Budha Gautama.

Pantangan menumbuk padi serta menjual padi dan beras merupakan cara manusia Bali menghormati serta memuliakan Batari Sri yang telah menganugerahkan pangan bagi umat manusia. Dalam tradisi Bali, cara yang lazim ditempuh untuk menghormati atau memuliakan dengan jalan brata (berpantang). Tengok saja brata atau pantangan membaca dan menulis saat hari Saraswati untuk memuliakan Sang Hyang Aji Saraswati yang memberikan anugerah ilmu pengetahuan kepada umat manusia. Begitu juga pantangan bertransaksi tunai atau sehari tanpa uang saat hari Buda Wage Kelawu untuk menghormati dan memuliakan Sri-Sadhana yang menganugerahkan kemakmuran berupa dana (uang). Bahkan, manusia Bali menandai pergantian tahun Saka dengan menghentikan segala aktivitas melalui catur brata penyepian dalam Nyepi. –sumber