Sabtu, 07 Oktober 2023

Pemilihan Hari Baik Untuk Pernikahan

 Pemilihan Hari Baik Untuk Pernikahan


Dibali, upaca pernikahan / pawiwahan sangatlah di sakralkan. karena dari sinilah seseorang akan memulai kehidupan barunya sesuai dengan tujuan agama dan tujuan pernikahan itu sendiri. berkenaan dengan hal tersebut diperlukan hari baik untuk memperlancar proses pernikahan serta pencapain tujuan yang dimaksud.

Adapun hari baik yang biasa digunakan dibali berdasarkan Wariga – Dewasa, dimana ada hari – hari yang sangat baik untuk melaksanakan upacara dan ada juga hari yang harus di.hindari dalam pelaksanaan upacara pernikahan tersebut.

Untuk lebih cepat dalam pemilihan Hari Baik Untuk melakukan upacara (rutual) Pernikahan, bisa dengan cara mencarinya langsung di kalender bali. adapun tips cepat mendapatkan Hari Baik Untuk Pernikahan atau oleh orang bali sering disebut dengan Dewasa Ayu Nganten, dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini:

Langkah Pertama, Perhatikan WUKU dari kalender bali tersebut. Wuku yang baik untuk melakukan/melangsungkan upacar pernikahan adalah Wuku.

Langkah kedua, perhatihan HARInya. sesuai wariga, hari yang direkomendasikan (harus) untuk melangsungkan upacara pernikahan adalah Hari: Senin, Rabu, Kamis dan Jumat. selain itu dilarang.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Langkah ketiga, perhatikan penanggalnya. Penanggal merupakan perhitungan hari yang dimulai setelah Tilem, sehingga setelah Tilem merupakan penanggal 1 dan seterusnya, dan berakhir pada Purnama (Penanggal ping 15). untuk upacara Pawiwahan/Nganten, diharuskan dilangsungkan pada tanggal 1, 2, 10 dan 13.

Langkah keempat, perhatikan "SASIH"nya atau Bulan. yang direkomendasikan untuk acara manusa yadnya dalam hal ini upacara pernikahan adalah di Sasih Ketiga, Kapat, Kalima, Kapitu dan Kedasa.

Bila terjadi atau dalam keadaan mendesak, sehingga sulit menentukan hari (dewasa ayu) terbaik, maka:

Pilihlah Dewasa Ayu yang Terbaik diantara yang terburuk

untuk pertimbangan lebih lanjut, silahkan baca beberapa hal berikut ini:
berikut hari baik yang biasa dipilih dalam rangkan pelaksanaan upacara Pernikahan / pawiwahan:

Usahakan, meksanakan ke-4 langkah diatas, dan bila memungkinkan usahakan cari yang bertepatan dengan dina "SUBACARA", yang merupakan dewasa ayu melakukan semua karya ayu.

Pernikahan menurut Sapta Wara;
  • Redite / Minggu = Buruk
  • Soma / Senin = Menemukan Kebahagiaan
  • Anggara / Selasa = Sengsara
  • Budha / Rabu = Sangat Baik
  • Wrespati / Kamis = Kinasihaning Jana
  • Sukra / Jumat = Berbahagia, Mewah
  • Saniscara / Sabtu = Percekcokan, sengsara
Agar rukun dan berbahagia, pilihlah ;
  • Hari “Senin Wage tanggal ping 1”, maka kerahayuan, kebahagiaan serta putra yang luih utama akan diperoleh.
  • Hari “Rabu Pon tanggal ping 10”, maka kebahagiaan akan menyelimuti keluarga anda.
Pemilihan Hari pernikahan berdasarkan Penanggal (dimulai setelah hari Tilem);

    = Menemukan kebahagiaan
    = Berkecukupan
    = Banyak keturunan
    = Suami lekas meninggal
    = Menemukan kebahagiaan, langgeng
    = menemui kesengsaraan
    = menemukan kerukunan
    = Sangat Buruk, menemukan kematian
    = Sangat Buruk, sangat sengsara
    = murah rejeki
    = serba kekurangan
    = menemukan kesusahan
    = mewah, berlimpah
    = sering cekcok, penuh dengan pertengkaran, keributan
    = sangat teramat buruk.

Pemilihan Hari Pernikahan Menurut Bulan / Sasih
  • Juli / Kasa Shrawana, = Buruk, anak sakit – sakitan
  • Agustus / Karo, Bhadrapada = Buruk, Sengsara
  • September / Katiga, Asuji = Banyak memiliki keturunan
  • Oktober / Kapat, Kartika = murah rejeki
  • November / Kalima, Margasirsa = Berlimpah, mewah
  • Desember / Kanem, Pausya = Buruk, susah memiliki keturunan
  • Januari / Kapitu, Magha = Dirgayusa, langgeng
  • Februari / Kaulu, Phalguna = Serba kekurangan
  • Maret / Kasanga, Caitra = Sangat Buruk, penuh penderitaan
  • April / Kadasa, Waisyaka = Sangat Baik, Berbahagia, berwibawa
  • Mei / Jyestha = Buruk, hidup susah
  • Juni / Sadha = Buruk, Serba kekurangan
Perjodohan atau patemon
Perjodohan atau patemon laki-perempuan (lanang-istri) dalam dunia primbon ada beberapa cara,antara lain misalnya perjodohan berdasarkan sapta wara dan panca wara kelahiran calon laki-pempuan lalu masing-masing dibagi 9 tau disebutkan dalam prembon sebagai berikut:

Wetone panganten lanang lan wadon, Neptune dina lan pasaran digunggung, banjur kabage 9, lanag turah pira wadon turah pira, yen turah :
3 lan 9 sugih rejeki; 2 lan 7 anake akeh mati, 3 lan 5 gelis pegat. dari hari kelahiran lanang-wadon ; Selasa lan Rabo = sugih, Rabo lan Saptu = becik, Akada lana senen = Sugih lara.

Untuk mengetahui pertemuan laki-perempuan itu baik atau buruk maka Urip/neptu sapta dan Panca wara harus dipahami dengan baik.
berikut ini daftar urip Pancawara, Sadwara dan Saptawara:


Mencari hari untuk perkawinan orang harus terlebih dahulu mengetahui jumlah Urip/Neptu hari kelahiran kedua calon mempelai (temantin), kemudian dicarikan hari dan pasaran yang Uripnya/Neptunya bilamana dijumlahkan dengan jumlah Neptu kedua mempelai tadi dan dibagi 3 bisa habis.
Hitungan itu merupakan tiga kata-kata sebagai berikut :
  1. Wali, berarti bahwa dalam perkawinan itu kurang cinta kasih atau mudah bosen satu sama lain.
  2. Penghulu, berarti dalam perkawinan ini bakal banyak cedera antara satu sama lain.
  3. Temantin, berarti bahwa dalam perkawinan itu bakal beruntung.
Rumus Pemilihan Hari Baik Pernikahan Menurut Tri Pramana:
(Urip Saptawara + Urip Pancawara + Urip Sadwara Suami & Istri) : 16. sisa;
  1. Bergejolak, mesti tahan uji.
  2. Selalu menghadapi kesulitan, Banyak pengeluaran
  3. Selalu kecewa
  4. Sulit mendapatkan keturunan
  5. Terus mengalami kemajuan, rejeki berlimpah, meningkat terus
  6. Penderitaan
  7. Meningkat tetapi sangat lambat
  8. Serba kekurangan
  9. Mewah, kaya raya tetapi sering ricuh dan perebutan kekayaan
  10. Berwibawa
  11. Selalu dalam keadaan puas
  12. Murah rejeki
  13. Langgeng, panjang umur
  14. Berbahagia
  15. Teramat Buruk, sering mengalami kesusahan
  16. Selalu Rukun

Prembon Petemuan/Perjodohan, yang berlaku lima tahun umur perkawinan:
(Urip Saptawara + Urip Pancawara Suami & Istri) : 5 sisa;
  1. Sri = Selalu sejahtera dan bahagia
  2. Gedong = Tidak kurang sandang pangan
  3. Pete = Selalu bertengkar dan ribut
  4. Lara = Mlarat dan banyak maslah
  5. Pati = Salah satu mendahului meninggal belum waktunya.
Yang berlaku secara berkala 5 tahun secara bergantian, sehingga dengan mudah mengetahui masa berkumpulnya dalam rumah tangga dan suasana yang dilaluinya.
Hitungan detailnya adalah Urip lahir lanag-istri (panca dan sapta wara) digabung kemudian dibagi 5 sisanya menunjukkan keadaan selama 5 tahun berjalan, kemudian lima tahun berikutnya hasil pembagian dipakai mengurangi urip gabungan awal, hasilnya kemudian dibagi 5 sisanya keadaan selama 5 tahun berikutnya. Hasil pembagian selalu dipakai pengurang hasil terakhirnya dan selalu dibagi 5 menyatakan keadaannya, bila hasilnya 0 (nol) sama keadaanya dengan sebelumnya.


Baik-buruknya hari perkawinan menurut pertiti semutpada :
  • Awidiya = sebagai pedewasaan baik, tidak menemui kesulitan, dan keluarga akan mendapat kebahagiaan. 
  • Bawa = sebagai pedewasaan buruk, akan mendapat halangan atau kesulitan, pihak lain tidak bersimpati, tidak memperoleh kebahagiaan. 
  • Jaramarana = sebagai pedewasaan buruk, akan menemui kegeringan, pertengkaran dan kesulitan. 
  • Jati = sebagai pedewasaan cukup baik, pihak lain akan memberi perhatian, dan membantu sepenuhnya, namun masih dijumpai sedikit kesulitan dan hambatan. 
  • Namarupa = sebagai pedewasaan buruk, akan sukar mendapat kebahagiaan, orang-orang disekitarnya sering memfitnah, gossip jelek, memalukan dan sebagainya. 
  • Samskara = sebagai pedewasaan buruk, akan menemui kesulitan, kesedihan, pikiran kacau, menimbulkan konflik. 
  • Sedayatana = sebagai pedewasaan cukup baik, walau ada sedikit gangguan, keluarga dan pihak lain akan setia membantu. 
  • Separsa = sebagai padewasaan amat buruk, akan menimbulkan pertengkaran, kesulitan bingung, tidak menemukan kebahagiaan sekalipun banyak berkorban. 
  • Teresna = sebagai pedewasaan buruk, banyak musuhnya, akan menghadapi masalah yang serba sulit. 
  • Upadana = sebagai pedewasaan cukup baik, karena pihak lain akan bersimpati, sekalipun ada sedikit pengorbanan dan pemborosan. 
  • Widnyana = sebagai padewasaan baik, para kerabat akan membantu segala yang dikehendaki, dan akan menemui kebahagiaan. 
  • Wedhana = sebagai padewasaan cukup baik, banyak saudara yang membantu. Walau ada sedikit kesulitan dan pemborosan, tapi pikiran anda tetap tenang.


Amerta Yoga = sangat biaik melaksanakan Manusa Yadnya, adapun hari yang dimaksud antara lain;
  • Soma Klion Landep
  • Soma Umanis Taulu
  • Soma Wage Medangsia
  • Soma Klion Krulut
  • Soma Umanis Medangkungan
  • Soma Paing Menail
  • Soma Pon Ugu
  • Soma Wage Dukut
Dewa Mentas = Hari baik untuk semua jenis pekerja, Purnama nemu Wrespati.

Selain itu dapat juga memilih hari lainnya dengan mempertimbangkan hari – hari diatas, tentunya juga meminta pertimbangan para tetua adat dan sulinggih.

Berikut ini gambaran singkat Dewasa Ayu Nganten, agar para semeton bali memiliki bayangan Pemilihan Hari Baik Untuk melakukan upacara Pernikahan, diantaranya:
  •     Dewasa Ayu Nganten di Tahun 2013
  •     Dewasa Ayu Nganten di Bulan Januari - April 2014
  •     Dewasa Ayu Nganten di Bulan Mei - Desember 2014
  •     Dewasa Ayu Nganten di Bulan Januari - Juni 2015
  •     Dewasa Ayu Nganten di Bulan Juli - Desember 2015
Artikel diatas memiliki prioraitas dari "wewaran - penanggal - wuku - sasih", yang kiranya dipandang "aman" saja yang dicantumkan dalam artikel-artikel diatas, yang tidak tercantum merupakan hari yang tidak direkomendasikan. tetapi, apapun itu, selama sulinggih pemuput karya berkenan untuk muput karya pawiwahan para semeton bali, itulah yang terbaik sementara dipandangan beliau. karena itu, dalam artikel diatas masih banyak kekurangannya, jadi mohon masukan dari para semeton untuk memperbaikinya.

Sudah barang tentu, tiada Dewasa Ayu yang sempurna, sehingga setiap pemilihan hari baik pasti memiliki sisi buruknya. nah untuk meredam efek negatif dari Dewasa Ala adalah dengan membuatkan Banten Bayuh Dewasa. hendaknya banten ini di"anteb" oleh pemangku khayangan tiga, bahkan lebih bagus lagi jika dipuput oleh sang sulinggih.

PERINGATAN!!!
Jangan sesekali Melaksanakan Pernikahan pada hari – hari tertentu karena sangat teramat buruk, bisa menyebabkan Kesusahan, pertengkaran, sampai kematian. adapun hari- hari tersebut diantaranya;
  • “hari atau Wuku yang berisi RANGDA TIGA”, seperti Wuku; Wariga, Warigadean, Pujut, Pahang, Menail, Prangbakat. 
  • "Wuku TANPA GURU" diantaranya: Kuningan, Medangkungan, Kelawu dan Gumbreg
  • "Sasih tanpa Sirah" merupakan sasih/bulan yang tidak berisi tumpek (saniscara klion).
  • "Sasih Anglawean" merupakan sasih yang didalamnya terdapat perhitungan penanggal/pangelong 14 bertepatan dengan purnama/tilem, sehingga pada saat itu tercatat "penanggal atau pangelong 14/15".
  • “Uncal Balung” dari Anggara Wage Galungan (Penampahan Galungan) sampai Budha Klion Pahang ( Pegat Uakan). 
  • "CARIK WALANGATI" merupakan dina/wuku yang bertepatan dengan carik walangati.
  • "Pati Paten" apapun yang dilaksanakan akan bermasalah, dinanya Sukra tilem dan Sukra Penanggal/Pangelong 10.
  • "Kala Jengking" akan sering berselisih paham, Kajeng wage Maulu.
  • "Sampar Wangke" berakibat kurang baik, Soma nuju: Sinta, Wariga, Langkir, Tambir, Bala
  • “Mrta Papageran” Sangat buruk, yaitu; Saniscara / Sabtu nemu Purnama atau Yama. 
  • “Kalebu Rau” Sangat buruk, yaitu; Soma / Senin nemu Tilem atau Beteng. 
  • “Purwanin dina” tidak baik melakukan pekerjaan / membuat dewasa, yaitu ; Anggara Klion / anggarkasih, Budha Klion, Sukra Wage, Saniscara Klion / Tumpek. 
  • “Purwanin Sasih” tidak baik melakukan pekerjaan / membuat dewasa, yaitu ; tanggal dan panglong ping 6, 8, 14.
  • "Ingkel /Jejepan WONG" tidak baik melalukan manusa yadnya.

Perhatikan juga catatan dalam wariga berikut ini:

    " Aja wiwaha tatkalaning “pangelong” muang “uku Rangda Tiga” yan tempal ngawinang kageringan, sengsara wiadin balu "

    " Jangan melangsungkan pernikahan di hari pangelong dan Rangda Tiga, apabila tetap dilaksanakan maka akan berakibat kesengsaraan serta besar kemungkinan menjadi janda/duda "

Sumber : cakepane.blogspot.com


Senin, 02 Oktober 2023

TUMPEK KUNINGAN

 


Tumpek Kuningan jatuh pada Saniscara Kliwon wuku Kuningan, Tumpek ini merupakan satu satunya yang paling
“ SPESIAL ” karena dalam melaksanakan upacara harus selesai dilaksanakan sebelum “ TENGAI TEPET ” atau jam 12.00 siang. Bandingkan dengan Tumpek Landep, Tumpek Wariga,Tumpek Krulut,Tumpek Uye dan Tumpek Wayang sama sekali tidak ada aturan harus selesai sebelum jam 12.00
Mengapa demikian?
Tumpek Kuningan ini adalah hari terakhir di Wuku Kuningan dan besoknya sudah memasuki WUKU LANGKIR , tepatnya Redite Umanis Langkir.
LANGKIR adalah wuku yang dilindungi oleh BHATARA KALA, Sesuai dengan namanya, KALA adalah WAKTU, beliau adalah SANG PENGUASA WAKTU DALAM KEHIDUPAN.
Sujatinya itulah yang menyebabkan sebisa mungkin kita seharusnya selesai sebelum jam 12.00 , Karena tujuannya adalah untuk menghormati beliau BHATARA KALA , KALA atau WAKTU adalah hal yang paling susah ditebak ( Relative).
Jika kita menggunakan waktu dengan baik maka akan menjadi BHATARA KALA sedangkan kalau kita tidak
menggunakan waktu dengan baik maka akan menjadi BHUTA KALA .
Leluhur kita mengajarkan dan
mengingatkan kita agar selalu
memanfaatkan / mengelola waktu dengan baik ( Time Management ), Optimalkan waktu dalam hidup
sehingga kita dapat mengatur ;
• Kapan waktu untuk beragama / upacara,
• Kapan waktu untuk bekerja / usaha
• Kapan waktunya untuk istirahat /
social life.
Sehingga menghasilkan keseimbangan dalam hidup baik dalam Bhuana Agung maupun Bhuana Alit.
Sebagai Tonggak Pemujaan Khusus, Kuningan bahkan lebih “RUMIT ” dan “ RIMIT ” dibandingkan dengan Galungan.
Seperti sarana ;
• TEBOG ,
• SELANGI ,
• CENIGA, dengan daun kayu
sedikitnya lima macam,
• TAMIANG,
• TER,
• ENDONGAN,
• SAMPIAN GANTUNG,
• TUMPENG KUNING ,
• NASI KUNING ,
• SODAN,
• SEGEHAN , dll.
Dan semua sarana tersebut sebelum dihaturkan mesti dikuningkan dan disucikan dengan sarana Gerusan /
Tumbukan DAUN INTARAN dan KUNYIT yang diisi air.

Dalam SUNARIGAMA ,
Pada hari Saniscara Kliwon wara Kuningan Sang Hyang Mahadewa diikuti oleh para Dewa dan Pitara (Leluhur) turun dari “Kayangan” menuju “Mercapada” untuk Mesucidan Amukti_Sarining_Banten”.
Oleh karena itu, Sang Gama Tirtha di Mercapada menyambut kehadiran “Bhatara” dan “Pitara” dengan persembahan Pesucian, Canang wangi, disertai “Selangi”, “Tebog”, Haturan sesaji, dan Segehan, sebagai simbol TAPA dan KETULUSAN memuja Hyang Maha Suci untuk memohon AMERTA, KEMAKMURAN , KEPRADNYANAN / KEBIJAKSANAAN.
Pada hari Kuningan bangunan agar “Mesawen” dipasangi “Tamiang” ( Tameng / Pelindung) sebagai tanda kemeriahan dan keindahan menyambut kehadiran Bhatara dan Pitara di Mercapada.
“Tamiang” dan “Ter” juga sebagai simbol memohon perlindungan dan
keselamatan kehadapan Bhatara dan Pitara.
Sang Gama Tirtha juga melaksanakan “Prayascita”memohon penyucian diri kehadapan Betara dan Pitara dengan Sesayut Prayascita disertai ;
HENING “ADNYANA ” / BHATIN .
1. TAMIANG memiliki dua makna simbolik yaitu :
• Sebagai PERLINDUNGAN atau
PERTAHANAN dari berbagai
serangan.
• Sebagai Perputaran Waktu atau
Roda Waktu yang terus berputar
untuk mengungkap kebenaran.
Memiliki Karakter yang Baik, selalu bersikap Tenang, tanpa mengeluh, Disiplin dengan menyadari Perputaran Roda Waktu dan memiliki Rasa Syukur dan Bhakti yang tinggi adalah senjata yang terbaik . Siapapun yang memiliki ini akan mengalami kesuksesan .
2. TER adalah simbol PANAH atau SENJATA. Makna simboliknya adalah untuk Selalu Siaga menggunakan modalitas di dalam diri manusia seperti Pengetahuan, Kebijaksanaan, Pikiran, Kecerdasan, Perasaan, Intuisi dan Modalitas diri lainnya.

3. ENDONGAN adalah simbolLOGISTIK . Berbagai perlengkapan dalam perang yang tentunya dalam konteks ini bermakna untuk selalu siaga melawan musuh dengan memperkuat ketahanan diri. Musuh dimaksud adalah ADHARMA atau KETIDAK-BENARAN, utamanya lagi untuk memerangi musuh-musuh yang ada di dalam diri sendiri. Endongan yang UTAMA adalah memiliki, BHAKTI dan JNANA, serta KARAKTER yang mulia.
4. SAMPIAN GANTUNG merupakan makna simbolik dari PENOLAK BALA . Alam buana alit (microcosmos) dan alam buana agung (macrocosmos), kedua-duanya dalam kemurnian. Penolak bala yang dimaksud adalah untuk meletakkan komitmen diri untuk selalu menjaga dengan penuh Kesadaran, Kelestarian, Karakter diri, Lingkungan Fisik, Sosial dan Budaya yang baik.

TAMIANG , TER , KOLEM dipasang pada semua Palinggih, Bale, dan Pelangkiran, sedangkan ENDONGAN dipasang hanya pada Palinggih dan Pelangkiran.
Tumpeng pada banten yang biasanya berwarna PUTIH diganti dengan Tumpeng berwarna KUNING yang dibuat dari nasi yang dicampur dengan KUNYIT yang telah dicacah dan direbus bersama minyak kelapa dan daun
PANDAN HARUM
WARNA KUNING yang identik dengan hari raya Kuningan memiliki makna ;
• KEBAHAGIAAN,
• KEBERHASILAN, dan
• KESEJAHTERAAN.
Pahamilah juga anak anakKu sekalian ...... !!!
Bahwa SANGHYANG SIWA menjadi KLIWON , dan saat itu juga IBUMU diikuti oleh para KALA dan DENGEN
yang berupa JOTI . Jika pada saat itu AKU tidak datang , tidak mungkin lagi berubah wujud menjadi DURGGA ,
saat itu Kliwon , NAWA SUJI juga bertemu dengan HYANG BRAHMA sehingga menjadi KAJENG KLIWON .
Jika ada yang yang berdoa ......
Semoga BERHASIL apa yang ia lakukan.
KLIWON sebagai JALANNYA : DEWA Dan juga BHUTA KALA DENGEN

PELINGGIH

 



Di Bali pelinggih merupakan sebuah bangunan suci yang biasanya digunakan sebagai tempat menstanakan Bhatara atau Tuhan. Pada hari-hari tertentu atau rahinan di masing-masing pelinggih tersebut dihaturkan banten.
Akan tetapi ada satu hal yang banyak orang belum ketahui tentang pelinggih, bahwa pelinggih merupakan pengadeg Akasara. Apa itu aksara bisa anda baca lebih detail di buku Meditasi Anggawasa. Pelinggih terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian Kaki atau dasar, bagian Badan, dan bagian Kepala.
1. KAKI atau DASAR, ini merupakan dasar dari sebuah pelinggih karena letaknya paling bawah. Sama halnya dengan manusia bagian ini adalah kakinya. Bagian dasar ini merupakan tempat untuk meletakkan batu dasar saat membangun sebuah pelinggih, biasanya terbuat dari batu bata merah yang di isi gambar berupa lingkaran dan titik, diletakkan di tengah-tengah bagian dasar. Pada bagian dasar terdapat karang gajah, yang merupakan aplikasi dari aksara Panca Brahma yaitu (Sang, Bang, Tang, Ang, Ing), dimana aksara Ing disini sebagai motorik atau pusat penggerak dan arah putarannya kekiri.
2. BADAN, Pada bagian badan terdapat karang paksi yang merupakan aplikasi dari aksara Panca Tirta. yaitu (Nang, Mang, Sing, Wang, Yang) dimana aksara Yang disini sebagai motorik atau penggerak dan arah putarannya ke kanan. Pada bagian inilah tempat meletakkan pancadatu.
Dengan adanya perputaran ke kiri dan ke kanan akan menjadi sebuah pertemuan antara panca Brahma dan Panca Tirta sehingga muncullah yang namanya Panca Aksara. Panca Aksara ini diaplikasikan dalam bentuk Karang Tapel. Karang Tapel tersebut menunjukkan sebuah sesana, inilah yang akan menjadi sebuah bukti orang yang berada ditempat tersebut sebagai apa, dalam kata lain sesananya sebagai apa pada masa itu. Sebagai contoh karang tapel berupa Barong, ini menunjukkan bahwa orang tersebut adalah seorang patih atau abdi raja dijaman itu.
Kemudian Perputaran ke kiri dan ke kanan inilah yang sering diaplikasikan oleh orang bali ketika melaksanakan sebuah prosesi upacara seperti melaspas dan sebagainya. yang biasa disebut dengan mepurwa daksina, yaitu mengitari pelinggih kekiri dan ke kanan yang memunculkan sebuah pertemuan antara pertiwi dan akasa menjadi satu, dan dari pertemuan itu terciptalah pelinggih dalam pekarangan.

3. KEPALA, pada bagian kepala ini terdapat ruang sebagai tempat untuk menghaturkan canang ataupun banten saat rahinan. Bagian kepala ini sering pula disebut dengan RONG, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan disini yaitu tikar, lepekan, dan carat coblong. Saat nemu rahinan carat coblong tersebut biasanya di isi dengan air.
Jadi jika kita amati dari dasar pelinggih yang merupakan aplikasi dari Aksara Panca Brahma dimana aksara "Ing" sebagai penggerak dengan arah putaran ke kiri, bergerak naik dan bertemu dengan aksara Panca Tirta. Dimana aksara "Yang" sebagai penggerak dengan arah putaran kekanan, disini terbentuklah sebuah titik pertemuan yang menjadi Panca Aksara.
Panca aksara tersebut diaplikasikan dalam bentuk Karang Tapel, yang merupakan sebuah Sesana. Kemudian Panca Aksara naik direcah oleh tikar yang berbentuk segi empat menjadi Tri Aksara yaitu (Ang, Ung, Mang) yang disimbulkan oleh lepekan, carat coblong.
Ketika carat coblong di isi air, disini ada proses bertemunya unsur api,air,udara, menjadilah Ang Ah atau dikenal dengan dwi aksara, kemudian setelah dipasupati menjadilah Ongkara ngadeg
JADI bisa kita simpulkan inilah cikal bakal bahwa kenapa pelinggih disebut Rong oleh orang Bali, karena pelinggih merupakan pengadeg aksara atau tempat menstanakan aksara Ong.
Demikianlah yang bisa kita sampaikan tentang pelinggih dilihat dari aksara.

Rabu, 27 September 2023

Tata Cara Malukat yang Benar Menurut Reg Veda

 






MELUKAT: Warga Malukat mencari sumber air yang diyakini punya tuah untuk membersihkan secara sekala dan niskala. (I PUTU MARDIKA BALI EXPRESS)





BALI EXPRESS, DENPASAR - Dewasa ini banyak orang berduyun - duyun datang ke sumber mata air atau pun griya untuk Malukat. Agar tak tergerus tren, ada tata cara Malukat sederhana yang benar.




Banyak alasan yang mendorong orang untuk Malukat di sumber mata air yang diyakini punya tuah khusus, diantaranya karena sakit berkepanjangan, sakit akibat ilmu hitam ataupun untuk dimudahkan jodohnya. Dan, tak sedikit mereka datang berbekal niat dan keyakinan. Agar lebih klop, sebaiknya dipahami bagaimana tata cara membersihkan diri skala niskala ini.


Menurut Ida Sri Bhagawan Narendra Acharya Daksa Manuaba, Malukat berasal dari kata Sulukat, Su berarti baik, dan Lukat berarti penyucian. Melukat biasanya dilakukan di sumber mata air, tempat suci ataupun di sebuah griya.


Dijelaskannya, dalam Reg Veda II. 35.3 disebutkan, Tamu sucim sucayo didivansam, Apam napatam parithasthur apah. Yang berarti bahwa air suci murni yang mengalir, baik dari mata air maupun dari laut mempunyai kekuatan yang menyucikan.


Sulinggih yang juga dosen Institute Hindu Dharma Indonesia (IHDN) Denpasar, mengatakan Malukat merupakan suatu kegiatan spiritual yang berfungsi sebagai ritual penyucian serta pembersihan jiwa dan pikiran.


"Pembersihan tak hanya dilakukan secara skala (fisik), namun juga dilakukan secara niskala. Malukat itu kan berasal dari kata Selukat yang berarti penyucian. Nah, yang disucikan adalah pikiran, tubuh juga jiwanya, baik secara skala maupun niskala,” ujarnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), pekan kemarin.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Selain itu, ia juga menambahkan, Melukat juga merupakan upaya penyeimbangan antara Bhuana Alit (tubuh manusia) dan Bhuana Agung (Alam Semesta). “ Energi Bhuana Alit harus diseimbangkan dengan Bhuana Agung. Karena energi yang terbesar dan selalu positif adalah energi alam. Energi yang ada pada Bhuana Alit (tubuh manusia) biasanya dipengaruhi banyak hal, makanya berubah menjadi negatif. Perubahan energi itulah yang membuat kita kadang merasa gelisah, uring – uringan, bahkan mengidap sakit tahunan,” papar Ida Sri Bhagawan Narendra Acharya Daksa Manuaba.


Dalam prosesi Panglukatan, tempat melukat dianggap penting. Sesuai yang dipaparkan dalam Reg Veda, ada tiga kategori tempat Panglukatan yang dikatakan baik, yaitu tempat Panglukatan yang memiliki mata air sekaligus disucikan seperti Patirtaan, Beji, Campuhan, dan Laut, yang memiliki vibrasi positif.
Panglukatan umumnya menggunakan prasarana seperti Nyuh Gading, Pajati, Prayascita dan Rayuan. “Semuanya tergantung tempat yang didatangi untuk Malukat. Jika mereka datang Malukat di Beji atau Campuhan misalnya, tidak harus menggunakan Nyuh Gading. Namun, jika mereka Malukat di griya atau pura yang tidak memiliki Beji, semestinya membawa nyuh gading sebagai sarana pembersihan,” ujar sulinggih yang berpakaian serba orange ini.


Diakuinya Malukat secara rutin memang penting. “Malukat itu sangat penting, apalagi bagi mereka yang terlahir khusus, seperti Mamelik. Karena Malukat tak hanya tubuh yang dibersihkan, jiwa, pikiran juga dibersihkan,” paparnya.


Ditekankannya, Malukat sesungguhnya tidak mengenal hari baik. Tergantung kesiapan diri dalam melakukan pembersihan. “Sebenarnya kapan pun baik melakukan Panlukatan. Tak harus ketika rahinan Purnama ataupun Tilem, yang terpenting adalah kesiapan yang Malukat. Jika pikiran dan batin kita tak siap, ya sama saja bohong. Meskipun Malukatnya pada saat hari terbaik dalam setahun sekalipun,” paparnya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Tatacara yang benar Malukat diawali dengan menghaturkan Pajati ataupun banten yang dibawa. “Ada baiknya Malukat harus dipimpin oleh pemangku ataupun sulinggih jika melukat di griya. Pemangku akan menyampaikan tujuan pamedek yang datang Malukat. Sebab, setiap orang yang datang memiliki tujuan yang berbeda. Ada yang bertujuan untuk kesembuhan, ada pula yang ingin enteng jodoh,” paparnya.


Setelah menghaturkan banten, lanjutnya, sebaiknya pamedek segera bersiap untuk melakukan panglukatan, yakni mandi di bawah mata air langsung atau diguyur menggunakan Nyuh Gading. “Kalau di griya biasanya akan dipimpin seorang sulinggih.


Berbeda jika Malukatnya di Beji atau tempat Patirtaan, pamedek dituntut lebih mandiri. Jadi bisa langsung mandi,” ujarnya.


Sebelum mandi, Ida Rsi menyarankan yang Malukat mengucapkan mantra atau memohon doa. “Di dalam Reg Veda disebutkan ada sebuah mantra khusus Panglukatan. Tapi jika tidak memungkinkan atau tidak hafal, ucapkan Mantram Gayatri saja sudah cukup,” jelasnya.


Dalam Reg Veda X. 17.10 dijelaskan sebuah mantram yang digunakan sebelum melakukan Panglukatan yaitu: Apo asman matarah Sundhayantu, Ghrtena no Ghrtapvah punantu, Visvam hi ripram pravahanti devir, Ud id abhyah sucir a puta emi. Yang berarti, semoga air suci yang merupakan berkah dari alam semesta ini, menyucikan diri serta pikiran kami, agar kami bercahaya dan gemerlap. Semoga air suci ini melenyapkan segala kekotoran. Kami akan bangkit dari kegelapan (kotor) dan memperoleh kesucian.
Setelah usai mandi dan membersihkan tubuh, pamedek disarankan untuk mengganti pakaian dengan pakaian yang bersih. “Setelah Malukat, selalu diakhiri dengan persembahyangan. Namun, pamedek wajib mengganti pakaiannya dengan yang lebih bersih. Pasalnya, setelah Malukat diibaratkkan kita telah bersih, dan harus diikuti dengan pakaian yang bersih pula.



"Dalam Veda, Malukat sebaiknya dilakukan tanpa busana. Dalam Reg Veda disebutkan, air suci yang mengalir langsung sebaiknya mengenai seluruh bagian tubuh. Tak hanya mengenai bagian tubuh yang terlihat seperti kepala, atau lengan dan kaki saja. Di beberapa pura sudah menerapkan isi Veda tersebut. Namun, di beberapa tempat masih merasa hal tersebut sangat tabu,” paparnya.


Dalam Reg Veda I. 23. 23 menyebutkan, Apo Adyanv acarisam rasena sam agasmahi, payasvan agna a gahi sam prayaya sam ayusa. “Jadi, sangat penting dalam proses Panglukatan ini seluruh badan, termasuk badan yang tersembunyi harus terkena air suci tersebut," ulasnya. Mengenai teknis, lanjutnya, pamedek bisa saja giliran malukatnya atau diatur oleh pengelola tempat Malukat.



(bx/tya/yes/JPR)

MENGENAL TARI BARIS POLENG / TEKOK JAGO

 






Tari ini sangat jarang di jumpai sampai saat ini. tari ini biasanya di jumpai di desa darmasaba badung dan tangguntiti denpasar.
Tari ini biasanya di pakai sebagai upacara tertentu seperti manusa yadnya dan pitra yadnya.
Tari baris ini biasanya di tarikan berkelompok dan di iringi gambelan khas baris ketekok jago atau baris poleng.
Bicara tentang tarian dan fingsinya sekarang kita akan bahas sejarah tari baris poleng atau tari baris ketekok jago ini.
SEJARAH :Literatur tertua yang mengungkap tentang Baris adalah Lontar Usana Bali yang menyatakan : setelah Mayadanawa dapat dikalahkan maka diputuskan mendirikan empat buah kahyangan di Kedisan , Tihingan, Manukraya dan Kaduhuran.
Begitu kahyangan berdiri megah, upacara dan keramaian pun diadakan dimana para Widyadari menari Rejang, Widyadara menari Baris dan Gandarwa menjadi penabuh.
Legenda Mayadanawa tersebut terjadi pada saat Bali di perintah Raja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa sebagai raja keempat dari Dinasti Warmadewa yang memerintah dari tahun 962 hingga 975.


Dengan demikian dapat disimak bahwa pada abad X sudah ada Tari Baris, namun bentuknya apakah sama dengan Baris upacara yang ada sekarang, memerlukan perenungan lebih mendalam.
Fungsi :Untuk kepentingan upacara Pitra Yadnya dan bahkan juga untuk upacara Dewa Yadnya.Sebagian besar masyarakat menanggap tarian ini menjadi pengiring jenazah ke alam nirwana.
Sementara tarian sakral itu lebih menonjolkan makna yang tersirat ketika para penari melakoninya.Para penari pun tak sembarangan menggerakkan tangan dan kakinya.
Struktur Pertunjukan :Pelaku/Penari Jumlah penari seluruhnya 20 (dua puluh) orang,semuanya laki-laki. Seperti halnya, di tempat lain, maka dari sejumlah penari tersebut dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yakni: sebagian menjadi angsa dan sebagiar besar lainnya menjadi burung gagak.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Nama “Tekok Jago ” berasal dari peran yang dibawakan oleh penari yang merupakan jenis burung dan unggas.Tata Busana ,Busana atau kostum yang dipergunakan pada waktu menari terdiri dari ,Gelungan Celana panjang warna putih tetapi pada bagian bawahnya ada strip strip hitam putih (poleng).
Baju lengan panjang pada badan warna hitam putih kotak-kotak, lengan berwarna lurik (putih, kuning, hijau, dan hitam).Kain Putih Saput, warna hitam putih (poleng) Badong; hiasan leher Iringan Tari Baris Tekok Jago menggunakan instrumen, kecuali gambelan terompong.
Adapun jenis jenis gambelan/instrumen yang dipakai adalah :Kendang 2 (dua) buahSuling ,Cengceng Giying / pengugalPemade 4 (empat) buah Kantil 4 (empat) buah Jublag 2 (dua) buah Kajar Kenong Reong Jegogan 2 (dua) buah Kempur dan gong Sedangkan lagu-lagu yang dipergunakan adalah :Lagu Omang, Lagu Barong, Lagu Kale, Lagu Pengeset Jauh luh.

PAHAM KETUHANAN DALAM AGAMA HINDU

 


DEWA BUKANLAH TUHAN
Sampai sekarang paham Ketuhanan dalam agama Hindu masih belum dimengerti benar. Telah lama agama Hindu menjadi bulan-bulanan sebagai agama polytheis. Agama Hindu sebagaimana halnya dengan agama lainnya, adalah agama yang monotheis. Kadang-kadang tampak kepada kita bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Hindu pun menunjukkan ajaran yang monistis.
Sangat disayangkan hal-hal yang dimaksud itu disalah mengertikannya dan karena itu telah mengakibatkan tumbuhnya pengertian yang salah dan pemahaman yang keliru, dengan menganggap agama Hindu sebagai agama yang polytheis.
Menurut agama Hindu, Tuhan adalah "Esa", Maha Kuasa dan Maha Ada dan menjadi sumber dari segala yang ada dan tiada. Dewa-dewa adalah ciptaan-Nya.
Dewa berasal dari bahasa Sanskerta, urat kata "DIV" yang berarti sinar cahaya (sinar suci Tuhan). Sampai sekarang masih banyak yang salah mengartikannya dan beranggapan Dewa adalah Tuhan. Ajaran filsafat ketuhanan dalam agama Hindu hendaknya jangan mempersamakan kedua pengertian itu karena di dalam filsafat (Darsana), jangankan Dewa-dewa, semua ini tentu adalah Brahman (Tuhan), ini adalah konsepsi ajaran monitis di dalam agama Hindu.
Segala yang diciptakan ini bukan Tuhan. Dewa-dewa diciptakan sebagaimana alam semesta ini, untuk mengendalikan alam semesta itu. Dewa bukanlah Tuhan.
Dewa-dewa dihubungkan untuk satu aspek tertentu dan khusus dari phenomena alam semesta ini. Tiap aspek dikuasai oleh satu Dewa atau lebih dengan ciri-ciri atau lambang-lambang yang khusus pula.
Perbedaan Dewa dengan Brahman (Tuhan). Selama ini banyak orang sulit membedakan antara Dewa dengan Tuhan. Dewa keberadaannya dialam material, Dewa ditugaskan oleh Tuhan sebagai administrator alam material. Mengatur segala sesuatu dialam material. Alam Tuhan kekal, tidak pernah pralaya, sedangkan alam Dewa pralaya secara periodik. Tuhan pengendali alam rohani dan material, Dewa administrator alam material, Dewa tidak dapat memberi pembebasan, Tuhan dapat memberikan pembebasan. Tuhan adalah yang Maha Kuasa, Pengendali Tertinggi, sebab dari segalanya, tidak ada awal tidak ada akhir, bentuk yang kekal, penuh pengetahuan dan kebahagiaan. Memang masih banyak yang masih tidak paham perbedaan Dewa dengan Tuhan.

Tiap Dewa mempunyai "Sakti" yang tidak terpisah dari padanya sebagaimana halnya antara suami dengan istri. Sakti inilah yang diwujudkan dalam bentuk Dewi, dianggap sebagai istri Dewa. Hubungan antara Dewa saktinya banyak merupakan pokok dalam agama Hindu dan karena itu janganlah cepat menyimpulkan bahwa kepercayaan tentang ke-Tuhanan dalam agama adalah berkisar pada kepercayaan pada dewa-dewa dan dewi-dewi saja.
Tuhan menurut Hindu itu tidak laki maupun tidak perempuan dan juga tidak banci. Kita tidak bisa mengukur Tuhan yang bersifat tidak terbatas dengan ukuran-ukuran yang terbatas. Laki, perempuan dan banci itu hanya ukuran makhluk nyata dan terbatas. Ukuran itu hanyalah untuk membantu manusia dalam memahami sesuatu yang abstrak dan tak terbatas. Sebenarnya kekuatan hakikih Tuhan itu adalah purusa dan prakerti. Maka Tuhan juga dikatakan sebagai Ardhanareswari.
Sifat-sifat dan karakter Tuhan itu sangat banyak. Kalau dalam kenyataan bahwa kisah Dewa dalam Hindu ada laki atau perempuan itu hanyalah metode awam untuk menjelaskan sesuatu yang abstrak dan tak terbatas. Malah dalam Upanisad dikatakan bahwa Tuhan itu Neti-neti yang artinya bukan ini dan bukan itu. Atau Tuhan itu jauh tetapi juga dekat. Tuhan itu memenuhi segala ruang. Beliau bersifat Wyapi Wyapaka, meresapi segala. Tidak ada suatu tempatpun yang Beliau tiada tempati. Beliau berada di sini dan berada di sana. Tuhan itu ada di mana-mana.

Tuhan yang di dalam agama Hindu merupakan Acintya (tak terpikirkan oleh akal manusia) melalui Nyasa (simbolisme) wujud-Nya dapat dihayalkan menurut fantasi manusia. Melalui Nyasa inilah idealisasi untuk tidak terhayalkan. Sifat rahasia karena esensi-Nya diluar kemampuan pikir manusia ia tersembunyi dalam kabut rahasia pengetahuan manusia. Sifat-sifat rahasia itu dipikirkan ke dalam bentuk Nyasa dengan cara-cara simbolis yang disebut Maya Sakti.
Mencapai yang tak terpikirkan sangat sulit bagi kita yang terbatas ini. Sedangkan wujud-Nya tak tergambarkan, karena pikiran tak mampu mencapai-Nya dan kata-kata tak dapat menerangkan-Nya. Didefinisikan pun tidak mungkin, sebab kata-kata hanyalah produk pikiran hingga tak dapat digunakan untuk menggambarkan kebenaran-Nya. Karena Tuhan sifatnya Acintya (tak terpikirkan dan tak berwujud). Sehingga kita membutuhkan simbol dan makna dari fungsi Tuhan itu sendiri untuk memudahkan pemahaman.
Tuhan Yang Maha Kuasa juga disebut " Hana Tan Hana" yaitu wujud yang ada tetapi tidak ada. Karena kita tidak mampu melihat wujud Tuhan. Namun sebenarnya Tuhan itu ada. Beliau disebut Sang Hyang Acintya artinya Tuhan tak dapat dibayangkan oleh manusia.
Tuhan itu tidak nampak oleh mata, namun dirasakan, diyakini ada, seperti nafas di dalam tubuh kita sendiri. Ia ada namun, bagaimana rupanya?


Sampai saat ini belum ada wujud patung dari Tuhan atau Brahman atau Sang Hyang Widhi, karena Beliau sifatnya Acintya (tak terpikirkan dan tak berwujud) yang ada adalah patung dari sinar suci Brahman (Tuhan) yang disebut dengan Dewa.
Patung Dewa-dewi itu menandakan bahwa fungsi Tuhan yang disebut Dewa berasal dari kata "DIV" yang artinya sinar. Sinar inilah yang digambarkan sesuai dengan fungsi Beliau.
Tuhan (Parama Siwa, Sang Hyang Widhi, Sang Sangkan Paraning Dumadi, Sang Hyang Titah, Sang Hyang Licin, Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Acintya, dan sebutan lain) dipuja dalam manifestasi-manisfestasi tertentu sesuai dengan keinginan pemujanya (bhakta). Dewa-dewa yang dipuja dan ingin dihadirkan saat pemujaan tersebut disebut Ista Dewata. Banyaknya sebutan bukanlah cermin politheisme. Seperti halnya seseorang mempunyai sebutan lebih dari satu, misalnya sebutan di rumah, di kantor, di masyarakat, nama kecil, nama samaran, dan sebagainya bukanlah berarti orangnya banyak, melainkan hanya satu.
Bagi seorang yang masih sederhana jalan pikirannya tidaklah mungkin dengan mudah dapat mengenal-Nya. Lain halnya dengan menambahkan, tetapi namanya apa? Setiap orang akan memberi nama dan gelar kepada-Nya dengan nama-nama pilihan secara subyektif.
Mulai dari saat manusia menginginkan dan menghayalkan-Nya Ia diberi nama menurut pikiran manusia.
Yatrakama Wasayitwa adalah nama sifat Tuhan Yang Maha Kuasa itu juga. Yatrakama Wasayitwa artinya kehendak dan sifat kemahakuasaannya itu tidak dapat dihitung banyaknya. Pendeknya sifat dan kodratnya sangat banyak sehingga manusia tidak dapat menyebutkan satu persatu.
Dari uraian diatas jelas bahwa sifat Tuhan itu banyak. Tuhan Yang Maha Esa dengan sifat yang amat banyak. Manusia memberi nama sifat-sifat itu menurut pengertian manusia. Para Maha Rsi yang mula-mula memberi nama sifat-sifat itu. Nama-nama itu diberikan oleh para Maha Rsi pada zaman dahulu. Sejak Wahyu diturunkan. Waktu wahyu diturunkan manusia tidak dapat memberi nama kepada-Nya. Baru kemudian saja para Maha Rsi memberi nama kepada Tuhan yang tak bernama.
Kalau kita menamakan Tuhan itu warnanya merah tidak berarti Tuhan tidak mempunyai warna lain. Ia juga mempunyai warna yang putih. Ia juga mempunyai warna jingga. Ia juga mempunyai warna hijau. Semua warna ada padanya. Begitulah akhirnya Ia memiliki banyak nama. Apakah dengan nama yang banyak berarti Tuhan itu banyak? Tentu tidak bukan. Ia tetap Esa. Yang Maha Tunggal.
Sistem pemberian banyak nama kepada Tuhan sesuai peranan-Nya, dalam agama Hindu disebut "Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti" artinya "Tuhan itu satu tetapi para bijak menyebut-Nya dengan banyak nama".
Demikian Para Rsi menamakan Tuhan itu. Para Rsi itu disebut Vipra. Orang yang arif bijaksana. Orang yang ahli dan pandai.