Senin, 06 November 2023

BUDDHA AWATARA DAN BUDDHISME


Pada zaman Kali Yuga, Wisnu dikatakan telah turun ke dunia. Kali ini ia bertugas untuk memperbaiki cara pandangan agama yang keliru. Wisnu turun ke dunia sebagai Buddha.

Buddhisme bermula dari ajaran Buddha dan interpretasi-interpretasi atas ajaran tersebut oleh pengikut-pengikutnya. Ajaran ini telah mampu membangun tradisi spiritual dan pembelajaran yang khas. Buddha nama awalnya adalah Siddharta Gautama. Ia lahir pada tahun 623 Sebelum Masehi di Kapilavastu, sekarang tempat ini berada di lereng gunung di Nepal perbatasan India dari pasangan Raja Suddhodana dan Permaisurinya Maya. Menurut tradisi Hindu, Buddha Awatara diceritakan di dalam kitab Matsya Purana, Agni Purana, Bhawisya Purana dan Bhagawata Purana.

Beliau mendapatkan pencerahan pada usia 35 tahun di bawah sebuah pohon bodhi di Gaya, sebuah kota kecil di Bihar, setelah melakukan meditasi dan puasa selama 42 hari. Setelah merasa penasaran oleh kenikmatan indriawi, ia meninggalkan istana yang serba mewah pada usia 29 tahun untuk mendapatkan jawaban atas penderitaan hidup dan mencapai kebenaran eternal dan perdamaian, mengikuti cara-cara dan disiplin yang keras disarankan oleh guru-gurunya. Ia menyelinap ke luar istana diiringi oleh kusirnya Channa dan kemudian mengembara, menanggalkan segala atribut kebesaran seorang pangeran. Setelah enam tahun melaksanakan kehidupan yang keras belum juga ada hasil yang nampak, maka ia memutuskan untuk berhenti. Ia memandang menyiksa diri dalam pengekangan diri yang keras dirasakan kurang berhasil dan tidak masuk akal pada aspek transformasi moral. Lalu ia mencari jalannya sendiri dan melalui mediatasi yang intens, maka pada usia 35 tahun ia berhasil mendapatkan pencerahan dengan ditemukannya Empat Ajaran Kebenaran (Catur Arya Satyani). Ajarannya ini mengindikasikan dilaksanakannya jalan tengah untuk menghindari dua ekstrim yaitu self-indulgence dan self-mortification dan eksistensi bergantung dari eksistensi (pratityasamutpada). Realisai ini membentuk pencerahan (Buddha) yang muncul dari usaha sendiri dan kesempurnaan moral. Buddha percaya hanya dengan jalan disiplin diri dan kesempurnaan moral seseorang dapat mencapai Nirvana. Sejak itu Gautama disebut Buddha.


Buddha meninggal dunia pada usia 80 tahun, yaitu pada tahun 543 Sebelum Masehi di Kusinara, sebuah kota di Uttar Pradesh di wilayah Timur Laut India. Kewafatannya disebut Parinibbana. Kelahiran maupun kewafatannya jatuh pada hari purnama. Ia meninggal karena keracunan mengkonsumsi daging babi yang disediakan oleh abdinya di sebuah desa kecil disebut Pava, tujuh mil dari kota Kusinara.

Dalam Mahaparinibbana Sutta, kita diberitahukan bahwa Sang Buddha menderita sakit secara tiba-tiba setelah Beliau memakan suatu hidangan khusus yang lezat, Sukaramaddava, yang secara harafiah diterjemahkan sebagai "daging babi lunak", yang telah disiapkan oleh penjamu dermawanNya, Cunda Kammaraputtra. Nama dari hidangan tersebut menarik perhatian dari banyak sarjana, dan hal itu menjadi fokus dari riset akademis terhadap asal muasal makanan hidangan atau bahan baku yang digunakan di dalam memasak hidangan khusus ini.

Dalam perkembangannya ajaran-ajaran Buddha membentuk suatu tradisi tersendiri yang berbeda dari tradisi Weda. Pada awalnya Buddha mengajarkan etika. Ia percaya kebahagiaan abadi yang disebut Nirvana hanya bisa dicapai melalui berperilaku yang baik dan benar seperti diajarkan oleh Buddha. Oleh karena itu, ia mengajarkan kemandirian. "Atmo deva bhawa" merupakan idium umum ajaran Buddha. Yang bisa menolong diri manusia itu sendiri adalah dia sendiri melalui ajaran etika. Namun dalam perkembangannya, ajaran-ajaran Buddha berkembang menjadi agama, seperti diyakini dan dipraktekkan oleh mazab Mahayana. Buddhisme mencakup berbagai aspek kehidupan mulai dari metafisika, etika, teologi, seni, sastra, arsitektur, pranata sosial, tata pemerintahan dan lain-lain. Banyak mazab atau sub mazab tumbuh dan berkembang di dalam Buddhisme persebarannya hanya mencakup wilayah Asia, namun sekarang ke seluruh dunia.


Awalnya ajaran Buddha hanyalah ajaran untuk mendapatkan kesempurnaan moral dan etika, maka dalam perkembangannya ada sebagian pengikutnya menjadikan ajaran-ajaran tersebut sebagai agama.

Kondisi ini menyebabkan ajaran-ajaran Buddha ditafsirkan sebagai agama yang nampaknya tidak demikian yang diinginkan oleh Sang Buddha. Sesungguhnya Sang Buddha pada awalnya tidak mengajarkan suatu agama, tetapi etika hidup, disiplin diri dan mental dengan mengedepankan intelektualitas.

Malahan Sang Buddha melarang pengikutnya memandang Buddha sebagai Tuhan atau sebagai Guru. Ia menyarankan agar umat manusia menggunakan ajaran-ajaran Buddha sebagai Guru utama (jadikanlah ajaran Buddha sebagai Guru).

Dengan adanya keyakinan bahwa Wisnu telah turun ke dunia pada zaman Kali Yuga sebagai Buddha, maka pada umumnya orang-orang Hindu menganggap ajaran Buddha adalah ajaran agama Hindu pula.

OM Namo Buddhaya.

OM Shanti.

Tradisi Ngurek


Ngurek adalah atraksi menusuk diri dengan menggunakan senjata keris, ini berlangsung ketika para pelaku berada dalam keadaan kerasukan (di luar kesadaran). Ngurek berkaitan erat dengan ritual keagamaan bahkan di sejumlah desa adat di Bali dan tradisi ini wajib dilangsungkan.

Ngurek bisa disebut juga dengan Ngunying. Ngurek merupakan wujud bakti seseorang yang dipersembahkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Ngurek termasuk dalam upacara Dewa Yadnya yaitu pengorbanan/persembahan suci yang tulus ihklas. Menurut ajaran agama Hindu, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia, mahluk hidup beserta isinya berdasarkan atas Yadnya, maka dengan itu manusia diharapkan dapat memelihara, mengembangkan dan mengabdikan dirinya kepada Sang Pencipta yakni Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).


Ngurek berasal dari kata ‘urek‘ yang berarti lobangi atau tusuk. Jadi Ngurek dapat diartikan berusaha melobangi atau menusuk bagian tubuh sendiri dengan keris, tombak atau alat lainnya saat berada dalam kondisi kerasukan. Karena Ngurek dilakukan dalam kondisi kerasukan atau di luar kesadaran, maka roh lain yang masuk ke dalam tubuh akan memberi kekuatan, sehingga orang yang melakukan Ngurek ini menjadi kebal, dan ini merupakan suatu keunikan sekaligus misteri yang sulit dijelaskan.

Tradisi Ngurek tidak tahu kapan mulai dilakukan. Konon ini terjadi pada jaman kejayaan kerajaan. Saat itu sang raja ingin membuat pesta yang tujuannya untuk menunjukkan rasa syukur kepada Sang Pencipta dan sekaligus menyenangkan hati para prajuritnya. Setelah dilakukan sejumlah upacara, kemudian memasuki tahap hiburan, mulai dari sabung ayam, hingga tari-tarian yang menunjukkan kedigdayaan para prajurit, maka dari tradisi ini munculah Tari Ngurek atau Tari Ngunying.

Ngurek, menusuk diri dengan keris dalam keadaan kerasukan atau tidak sadar ini pada zamannya hanya dilakukan oleh para pemangku, namun kini orang yang melakukan Ngurek tak lagi dibedakan statusnya, bisa pemangku, penyungsung pura, anggota krama desa, tokoh masyarakat, laki-laki dan perempuan. Tapi suasananya tetap yaitu mereka melakukannya dalam keadaan kerasukan atau trance. Kendati keris yang terhunus itu ditancapkan ke tubuh, namun tidak setitikpun darah yang keluar atau terluka.

Ngurek ini biasa dilakukan di luar kompleks pura utama. Sebelum Ngurek dilakukan, biasanya Barong dan Rangda serta para pepatih yang kerasukan itu keluar dari dalam kompleks pura utama dan mengelilingi wantilan pura sebanyak 3 kali. Saat melakukan hal itulah, para pepatih mengalami titik kulminasi spiritual tertinggi.




Kerasukan dalam Ngurek, biasanya terjadi setelah melakukan proses ritual. Untuk mencapai klimaks kerasukan, mereka harus melakukan beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut secara garis besar dibagi menjadi tiga yang terdiri dari:

Nusdus adalah merangsang para pelaku ngurek dengan asap yang beraroma harum menyengat agar segera kerasukan.
Masolah merupakan tahap menari dengan iringan lagu-lagu dan koor kecak atau bunyi-bunyian gamelan.
Ngaluwur berarti mengembalikan pelaku ngurek pada jati dirinya
Masuknya roh ke dalam diri para pengurek ini ditandai oleh keadaan: badan menggigil, gemetar, mengerang dan memekik, dengan diiringi suara gending gamelan, para pengurek yang kerasukan, langsung menancapkan senjata, biasanya berupa keris pada bagian tubuh di atas pusar seperti dada, dahi, bahu, leher, alis dan mata. Walaupun keris tersebut ditancapkan dan ditekan kuat kuat secara berulang ulang, jangankan berdarah, tergores pun tidak kulit para pengurek tersebut, roh yang ada di dalam tubuh para pengurek ini menjaga tubuh mereka agar kebal, tidak mempan dengan senjata.

Ngurek mempunyai gaya masing-masing, ada yang berdiri sembari menancapkan keris ke bagian tubuh, seperti dada atau mata, ada pula yang bersandar di pelinggih. Setelah upacara selesai, para pelaku ngurek kembali ke kompleks pura utama.

Tradisi Ngurek ini merupakan kebiasaan masyarakat Bali, dimana saat upacara mengundang roh leluhur dilakukan, para roh diminta untuk berkenan memasuki badan orang-orang yang telah ditunjuk, dan menjadi sebuah tanda, bahwa roh-roh yang diundang telah hadir di sekitar mereka. Tradisi Ngurek juga dipercaya, untuk mengundang Ida Bhatara dan para Rencang-Nya, berkenan menerima persembahan ritual saat upacara. Jika orang-orang yang ditunjuk sudah kerasukan dan mulai Ngurek, maka masyarakat bisa mengetahui dan meyakini kalau Ida Bhatara sudah turun ke marcapada (dunia), maka umat yang mengikuti prosesi ritual kian mantap dengan semangat bhaktinya.


Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa, apa pun yang kita lakukan dengan pasrah, berserah diri dan ihklas kepada Sang Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa), maka akan mendapat anugrah dan karunia.
*Adi Sudiatmika

Foto : INDONESIA. Bali. Village of Batubulan.
Barong dance. 1949. The "Kris dancers" in
a trance, they are doing the self-stabbing
with kris, ngurek. From Magnum Photos.

#BALITEMPOEDULOE
#BUDAYA #SENI
#TAKSUHINDUBALI #ADATBUDAYA#

Video Tari Barong dan Ngurek - Bali Tempo Doeloe https://www.facebook.com/108159370949700/posts/202003568231946/

Arti, Makna, Fungsi dan Jenis Jenis Api dalam Upacara Yajna

Berbicara tentang yajna, maka tentu tidak lepas dari sarana atau peralatan yang diperlukan dalam upacara yajna (korban suci). Sarana dapat dikatakan sebagai penentu utama berhasil tidaknya suatu upacara yang dilaksanakan oleh umat Hindu. Sebab Sarana adalah media konsentrasi untuk dapat mendekatkan diri dengan Brahman (Sang Hyang Widhi) serta manisfestasinya yang dipuja.


Selain digunakan sebagai media untuk menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, penggunggunaan sarana juga dapat menciptakan hubungan harmonis antara lingkungan, sesame manusia, tumbuh-tumbuhan, para pitara (roh suci leluhur) serta keharmonisan lainya dalam kehidupan di dunia ini.




Foto: Mutiarahindu.com
Setiap sarana yang digunakan dalam upacara yajna tentunya memiliki arti, fungsi, dan makna masing-masing. Baik dari segi nilai kesucian, kemulian, dan nilai spiritual. Dari setiap sarana yang dipergunakan, tuntunya kita memiliki suatu harapan suci. Untuk itu, sangat penting untuk mengetahui setiap arti, fungsi dan makna dari setiap sarana yang dipergunakan dalam upacara yajna. Sebab tampa mengetahui, arti, fungsi dan makna dari setiap sarana yang digunakan, maka mustahil harapan kita dapat tercapai seperti disebutkan dalam Manawa Dharmasastra 3.97:

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

“Nasyanti hawwyah kawyani naranamawijajanatam, bhasmi bhutesu wipresu mohad dattani datrbhid”


Terjemahan:
“Persembahan kepada Dewa dan Leluhur yang dilakukan oleh orang yang tidak tahu peratunyanya adalah sia-sia, kalau memberi karena kebodohanya memberikan bagianya kepada Brahmana, persembahannya tidak ada bedanya dengan abu.”


Dari sloka yang diambil dari Manawa Dharmasastra 3.97 diatas, dapat disimpulkan bahwa wajib hukumnya untuk mengetahui tujuan dan makna upacara yajna yang dilaksanakan agar tidak sia-sia. Untuk itu melalui artikel ini, mutiara hindu akan membahas arti, fungsi dan makna api dalam upacara yajna.


Arti, Makna dan Fungsi Api



Api merupakan salah satu sarana yang sangat penting dalam upacara agama Hindu. Penggunaan api sangat banyak kita jumpai sesuai dengan jenis yajna yang dilaksanakan. Ada yang menggunakan dupa, dipa, api, takep, pasepan dan lainya sebagainya.


Dhupa atau dupa adalah nyala bara yang berisi wangi-wangian atau astanggi yang dipakai dalam upacara dan untuk menyelesaikan upacara. Dipa yaitu api yang nyalanya sebagai lampu yang terbuat dari minyak kelapa. Api takep yaitu api sebagai sara upacara dengan nyala bara yang terbuat dari kulit kelapa yang sudah kering (sabut kelapa). Pasepan yaitu api sebagai nyala bara yang ditaruh diatas tempat tertentu atau dulang kecil yang di isi dengan potongan kayu kering yang dibuat kecil-kecil. Kayu yang dipergunakan biasanya yang harum seperti kayu menyan, cendana, kayu majegau, dan lainya. Semua penggunaan api diatas memiliki makna tertentu. (Susila, dkk. 2009:77)


Dupa merupakan lambing aksara tattwa, dan dipa adalah lambang sakti tattwa. Dijelaskan arti dupa bahwa:

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

“wijil ing dhupa sakeng wisma, dipa sakeng Ardha candra landepi sembah”.


Terjemahan:
“bahwa tajamnya sembah sakti itu (dengan) dhupa yang tercipta dan Wisma (sarwa alam) dan dipa yang terdiri dan Ardha Candra (bulan sabit) atau dengan istilah lain bahwa terwujudnya cipta pujaan itu akan dapat diintensifkan dengan mempergunakan dhupa dan dipa itu:” (Wedaparikrama:103)


Penggunaan api sebagai sarana upacara agama juga disebut dengan agni. Peranan api dalam upacara agama sangat penting sekali seperti dijelaskan dalam Wedaparikrama:44-45, bahwa api adalah pengantar upacara yang menghubungkan antara manusia dengan Sang HYang Widhi Wasa, Agni adalah Dewa yang mengusir Raksasa dan membakar habis semua mala sehingga menjadikanya suci, Agni adalah pengawas moral dan saksi yang abadi, agnilah yang menjadi pemimpin upacara Yajna yang sejadi menurut Veda.


Dikatakan bahwa suatu upacara yajna belum lengkap kalau tidak ada unsur api di dalamnya, sebab dengan api umat Hindu dapat melaksanakan upacara dengan sempurnah, api untuk penyucian, dapat menghalau roh-roh jahat atau mendatangkan pengaruh-pengaruh baik karena api sebagai pengantar, sebagai pemimpin upacara dan juga saksi.


Dalam agama Hindu api yang sangat diharapkan yakni api yang mengeluarkan asap harum, dan yang tidak diharapkan api yang terbuat dari lilin karena tidak mengeluarkan asap berbau harum. Sedangkan untuk Dipa, Dupa, dan lainya memang sudah dirangkai khusus agar mengeluarkan bauh harum yang dilengkapi dengan kemenyn, gula, kulit duku, kayu cendana, kayu majegau dll.


Jenis-Jenis Api Dalam Upacara Yajna Agama Hindu


Berdasarkan beberapa sastra ada beberapa jenis pembagian api dalam upacara yajna adalah sebagai berikut:


Api yang ada di dapur
Api yang ada pada diri manusia
Api yang ada pada Matahari


Dari semua jenis api diatas, memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia baik dalam keseharian, kehidupan social maupun budaya dan keagamaan. Dalam Kitab Sarasamuccaya: 59 dijelaskan tiga jenis api seperti berikut:


“---Taat mengadapan puja kepada tiga api suci, yang disebut Tryagni: yaitu tiga api suci, perinciannya adalah: ahawaniya, garhaspatya, dan citagni, ahawaniya artinya api tukang masak untuk memasak makanan, garhaspatya artinya api upacara perkawinan,itulah api yang dipakai saksi pada waktu perkawainan dilangsungkan, Citagni artinya api untuk membakar mayat, itulah yang disebut tiga api suci---“

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Dari kutipan Kitab Sarasamuccaya: 59 dijelaskan tiga jenis api yang disebut Sang Hyang Tryagni diantaranya adalah sebagai berikut:

Ahawaniya, yaitu api yang dipergunakan untuk memasak
Garhaspatya adalah api upacara perkawinan
Citagni adalah api yang digunakan dalam upacara pembakaran mayat.

Tryagni diatas merupakan sarana yang sangat penting dalam upacara agama hindu sesuai dengan yajnanya yang dilaksanakan. Api dalam istila ajaran agama hindu juga disebut dengan Apuy, Agni, Wahni.


Dikatakan juga bahwa api adalah sumber kehidupan dan kekuatan Brahma untuk menciptakan alam semesta dan isinya. Dalam Agastya Parwa, juga dijelaskan tentang pentingnya penggunaan Dhupa (api) dalam upacara yajna seperti:


“kita lihat orang kaya, keluarganya tidak kekuarangan suatu apa, sementara ia menikmati kebahagiannya dengan penuh kesenangan, maka ia pun di tawan orang, dirampas, dijual, dituduh berbuat dosa walaupun sesungguhnya ia tidak berdosa. Orang yang demikian di dunia, demikian tingkah lakunya dahulu gemar memuja Bhatara yang menyebabkan bhatara menjadi suka cita. Namun karenya pemujaanya itu dahulu tampa dilengkapi dengan dupa, maka usahanya itu kehilangan makna upacara agama, sebab tujuan adanya dupa itu adalah untuk menjaga pahala pemujaan itu kelak.”

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Fungsi Api Dalam Upacara Yajna


Selain uraian di atas berikut ada beberapa penjelasan tentang pentingnya api dalam dalam upacara yajna agama hindu. Aka diuraikan sebagai berikut:

Api sebagai pendeta pemimpin upacara (Pejelasan baca: Isa Upanisad. 18, Reg Veda Mandala I)
Api sebagai perantara pemuja dan yang dipuja (Penjelasan baca:Mds.I.23, Bhagavad Gita IV.24-25)
Api sebagai pembasmi segala kekotoran dan pengusir roh jahat (Penjelasan baca: Bhagavad Gita IX.26, Wedaparikrama: 102, Reg Veda Mandala I sukta sloka 5,7,10, Reg Veda Mandala I,12.5, Reg Veda Mandala I.12.7, Reg Veda Mandala I.12.10, Lontar Sundarigama,)
Api sebagai saksi upacara dalam kehidupan. (Penjelasan baca: Upadeca.7, Agama Hindu II, Gd. Pudja, M.A., S.H., 167-168)

Demikianlah uraian singkat tentang pentingnya api dalam upacara yajna. Sebenarnya sangat banyak sastra-sastra atau kita suci veda yang mengulas tentang pentingnya penggunaan api dalam upacara Yajna, tetapi dalam artikel ini hanya dijelaskan secara singkat.


Reff: https://www.mutiarahindu.com/2018/02/arti-makna-fungsi-dan-jenis-jenis-api.html
Susila, I Nyoman, dkk. 2009. Materi Acara Agama Hindu. Jakarta: Depag RI Dirjen Bimas Hindu
Transkripsi Lontar Sundari Gama, UNHI Dempasar
Beberapa sumber kitab suci hindu seperti yang tertera di setiap sloka.

Minggu, 29 Oktober 2023

BAYUH OTON "NADI"

 


Saat menyelenggarakan upacara Manusa Yadnya (pawetonan) jatuhnya bertepatan dengan hari purnama, maka pawetonan tersebut disebut “Nadi”, karena pada saat itu semua para Dewa di Sorga turun ke bumi untuk menerima persembahan umatnya, oleh sebab itu upakaranya meningkat dengan pemuput upacaranya adalah seorang Sulinggih. Namun dalam petunjuk Lontar Pelutaning Yadnya upakaranya seharusnya disertakan dengan Banten Pulogembal Bebangkit, memakai guling babi. Demikian juga dalam Lontar tersebut memberikan kebijaksanaan bagi umat yang tidak mampu, dibolehkan membuat upakaranya sesuai dengan kemampuan umat, tetapi banten bebangkitnya diganti dengan segehan sasah putih sebanyak 33 tanding berisi bawang, jahe dan garam, ditujukan kehadapan Sang Kala Greha dan Sang Kala Amangkurat.
Banten ayaban tumpeng 33 bungkul:
a. Daksina gede sarwa 4 lengkap
b. Banten suci gede
c. Banten gebogan
d. Banten pengambean 5 soroh tumpengnya = 10 bungkul
e. Banten soda dan peras 4 soroh tumpengnya = 8 bungkul
f. Banten dapetan:
 Dapetan pokok 5 soroh tumpengnya = 15 bungkul
 Dapetan pengiring tumpengnya = -________
Jumlah = 33 bungkul
Banten sesayut dan tebasan:
Untuk Manusa Yadnya:
 Banten sesayut pebersihan
 Banten sesayut atma rauh
 Banten sesayut sidapurna
 Banten sesayut pageh urip
 Banten sesayut sambut urip
 Banten sesayut pengenteg bayu
 Banten sesayut peneteg urip
 Tebasan pemiak kala
 Tebasan lara meraradan
 Tebasan sapuh lara
 Banten sesayut ngeliwar
 Prayascita, bayekawonan
 Banten pengulapan
 Banten pedudusan alit
 Banten pulogembal, bebangkit
 Banten catur sari
 Sukuning yadnya memakai segehan Manca Warna, segehan sasah 13 tanding
 Banten jerimpeng agung.
Dan Banten Bayuh Oton sesuai kelahiran.
Yan nuju WREHASPATI PAING wenang bayuh ring paibon / Kamulan, sarwa Kutus, sesayut Kusuma Gandawati lan sesayut Pawal Kusuma Jati,

SESAYUT GANDHA KUSUMA JATI:
Medasar antuk dulang duwur nyane susunin antuk aled sesayut, duwur nyane dagingin nasi dadu, ulam nyane ayam wangkas mapanggang, mapukang-pukang dados 5 winangun urip, magenah duwur nasine, peresing tebu ratu, kwangen 8, sesanganan, raka-raka sejangkep nyane, penyeneng alit (tahenan) 1, pras alit 1, Sampyan Nagasari, Canang pahyasan tatebus dadu.
SESAYUT PAWAL KUSUMA JATI;
Medasar antuk dulang duwur nyane susunin antuk aled sesayut, duwur nyane dagingin nasi dadu tinelopokan, ulam nyane ayam wangkas mapanggang, mapukang-pukang dados 5, winangun urip, magenah duwur nasine, masambel kacicang, siniyokan lenga/minyak, sesawur, sekar pucuk dadu 8 katih, sasrojan, sesangan, raka-raka sejangkep nyane, penyeneng alit (tahenan) 1, pras alit 1, daksina 1, jinah 8888, sampyan nagasari, canang pahyasan tatebus dadu.
Rikala pawetonan nyane ring rahina Wraspati, upakara nyane patut kawewehin antuk banten salah ukur, riantukan pawetonan nyane matehang piodalan Ida Bhatara Guru, sering pacang mamilara. Kawentenan upakaran nyane pateh sekadi tetandingan banten Pengambian sakewanten maweweh bantal pudak 8 besik, yan LANANG sang maweton banten nyane maulam bebek maguling, yan ISTRI sang maweton banten nyane maulam ayam mapanggang, sesampune puput natab bebanten nyane, sang maweton raris ngajeng/ngerayunin ulam nyane matimpal bantal, raka-raka nyane matimpal nasi, sapunika kawentenan pemargin nyane.
Banten Baya Pawetuan nyane ring Sanggah Kamulan;
Metatakan antuk kulit tebasan, duwur nyane dagingin jinah kepeng 99, ring tengah-tengah, raris duwur jinah punika dagingin penek agung asiki, sisin penek punika iterin antuk woh-wohan sarwa 9, godoh 9, tatebus warna barak 9, porosan 9, dagingin ulam ayam biying mepanggang, penyeneng alit (tahenan) 1, pras alit 1, Sampyan nagasari, canang pahyasan.
Banten Baya pawetuan nyane ring Bale;Metatakan antuk kulit tebasan, duwur nyane dagingin nasi tumpeng apangkon, maulam bawi maolah aji 99, sambel makukus 9 bungkus, jajangan kacang karo mabasa asem 9 bungkus, woh-wohan sarwa 9, penyeneng alit (tahenan) 1, pras alit 1, Sampyan nagasari, canang pahyasan.
Panebusan pawetonan:
Ring Kamulan;
Tumpeng 1, iwak ayam biying pinanggang 1, malih iwak jatah calon 9 katih, katupang rumbah gile, gagodoh tumpi, utangnya sesantun 1, beras duang kulak, sesari jinah 9009, pupuking/tancebin bunga janggutan (bunga pucuk bang), unggwaning acaru ring arepan sanggah kamulan, sambat Sang SEDAHAN SEMAYA,
Kabekelaning Indubang Bajang,tebusanya sega sapucung agung, iwak katupang agung ( tulang pantat babi), balung gagending ( tulang paha babi ), dukut lambayung, sambel kamiri, caru ring paturon/bale, sambat sang indung bajang;BABU JENGGI AMONG, BABU PANGKAH.
malih tebusin ring Jalan mangidul,sega penek 1, iwaknya ayam biying mepanggang, acaru ring marga marep kidul, sambat SANG BHUTA PANGKAH.


NYAMA BAJANG




1. Anggapati = Dengen.... Bajang Papah,

2. Prajapati = Kala .... Bajang Colong.
3. Banaspati = Preta.... Bajang Regek,
4. Banaspati Raja = Anta ... Bajang Pusuh,
Biasanya Uperengge ini dipergunakan pada hari upacara - 105 hari tiga bulan) anak bayi yang lazim di Bali disebut: "Nelubulanin" atau "Nigang sasihin ",
BAJANG PAPAH
Sebuah pelepah yang kering diisi lukisan - manusia yang kini di Bali disebut: "Bajang Papah" yang mengandung simbul Saudara dari si bayi
BAJANG REGEK
Sebuah alay yang dibuat dari daun kelapa yang dianyam, diwujudkan sebagai manusia, yang di Bali disebut "Reregek,
BAJANG PUSUH
Gambar manusia yang digambarkan pada jantung pisang. Ini disebut "Bajang Pusuh"
BAJANG COLONG
Seekor ayam yang disebut "Bajang Colong"
Keempat bajang-bajang itu , disebut dengan " Nyama Bajang ", adalah lambang dari ;
Anggapati atau Dengen
Prajapati atau Kala
Banaspati atau Preta
Banaspati Raja atau Anta
Keempatnya adalah perwujudan dari :
Yeh Nyom ( Air Ketuban),
Getih ( Darah ),
Lamas
Ari - Ari
Yang keluar pada waktu si Ibu melahirkan si bayi.
Wusta veruh maninggalin Bape bunta irika mabatan sira
" Sang Hyang Panon Pandeleng "Wusta kumrah mangiring, irika maharan sira " Sang Hyang Waya wayahan "
Wusta malinggeb mabading, tur manangis, iri ka sira maharan
"Sang Hyang Eta Eto.
Samalih weruh sira keheng-keheng, irika sira maharan
Sang Hyang Japamantra.
Mangke ika ta kaweruhakna kandanira RARE , duk mijil saking guwa garban Ibunta, sawatek ta ma gawe gering ring  Manusia Pandanta liwar ring 11 dina, kawenang kene gering sa-pakardin wang Ala, sadurung ika tan kawenang-
Yening sadurung ika, kena gering, ika pangaban RARE, apan ;
I Buyut Kompyang mwang I Wayah,
Sami padan dane  Istri kakung pada ngerejeg ring awak sariranta.

Rabu, 25 Oktober 2023

Leak keturunan

 


Leak keturunan adalah ilmu pengeleakan yang diterima secara genetik dan bersifat otomatis. Ilmu pengeleakan ini dapat diwariskan dari seorang penekun leak kepada keturunannya yang ia pilih, meskipun dapat saja berubah sifat setelah berpindah tuan.
Ada beberapa cara mewariskan ilmu leak yaitu:
1. Air susu ibu
Bila seorang wanita yang telah menguasai ilmu leak ingin mewariskan ilmunya kepada anaknya, saat sedang menyusui ia akan mentransfer ilmunya kepada sang anak yang masih bayi, sehingga saat dewasa secara tidak sadar sang anak telah menguasai ilmu leak.
2. Cairan orang tua
Seorang penekun leak yang sudah tua akan susah mati akibat ilmu yang telah menguasai di tubuhnya, maka jalan satu-satunya adalah mewariskan ilme leak tersebut, ia menyuruh cucu atau anak yang paling ia sayangi untuk menelan air liur, muntahan atau busa dari mulutnya, otomatis ilmunya berpindah ke anak/cucu tersebut.

3. Mimpi
Seseorang penekun ilmu leak yang telah meninggal akan memilih salah satu keturunannya yang dianggap mampu sebagai pewaris, dengan cara mendatangi si terpilih dalam mimpinya dan memberi suatu jimat, maka secara tidak sadar ia akan mewarisi limu leak milik leluhurnya.
4. Mewariskan ilmu diam-diam
Suatu saat orang yang menguasai ilmu leak berniat mewariskan ilmunya, ia akan mendatangi cucu atau anaknya yang dipilih saat sedang tertidur, kemudian ia akan melakukan ritual untuk mewarisi ilmu leaknya kepada yang bersangkutan.
Di beberapa kasus ilmu leak yang telah diwariskan tanpa disadari oleh keturunan si leak, tidak dipakai oleh pewarisnya namun hanya disungsung sebagai warisan leluhur. Bentuk pewarisan ilmu pengeleakan ini dapat dengan ngelakoni atau hanya sekedar nyungsung atau dihormati semata.

Pakaian Adat Ungkap Simbolik Dharma

 


Seiring berjalannya waktu, mode, dan tren globalisasi banyak memberikan perubahan, dan berimbas juga kepada cara berpakaian adat di Bali, terutama anak muda yang mudah terbawa arus peradaban.

Memang, cara berpakaian adalah kebebasan berkreasi dari masing-masing individu, tapi perlu diketahui, apa makna dari pakaian adat Bali itu sendiri.

Pakian adat Bali, selain digunakan sehari hari untuk kepentingan adat, juga digunakan dalam prosesi persembahyangan. “Karenanya, tentu saja ketika melakukan kegiatan adat (sosial) maupun persembahyangan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menunjang kesopanan serta filosofi dari pakian adat Bali tersebut,” ujar Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran.

Lebih lanjut dijelaskannya, dasar konsep dari busana adat Bali adalah konsep Tri Angga yang terdiri dari, Dewa Angga merupakan busana yang dikenakan mulai dari leher hingga kepala, yaitu udeng atau ikat kepala. Manusa Angga, merupakan busana yang dugunakan mulai dari atas pusar sampai leher, yakni baju, kebaya, dan saput. Kemudian Butha Angga yang merupakan busana yang digunakan mulai dari pusar sampai bawah, yakni kain (kamen).

Adapun yang dimaksud dengan komposisi dan jenis pakaian adat Bali adalah busana agung (payas agung) yang identik digunakan saat upacara pernikahan, busana jangkep atau lengkap (Madia), yaitu pakian adat ke pura, dan busana adat alit atau sederhana, yang sering kita jumpai ketika seseorang ngayah di pura atau banjar.

Pakaian adat Bali haruslah sopan, beretika, dan mencerminkan kedamaian. Adapun penjelasan dari konsep Tri Angga tersebut, dalam menggunakan busana adat Bali, khususnya pria diawali dengan menggunakan kain atau kamen, dengan lipatan untuk putra kamen atau wastra melingkar dari kiri kekanan (melawan arah jarum jam) karena merupakan pemegang Dharma. “Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab Dharma harus melangkah dengan panjang, tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah Dharma,’ imbuhnya.

Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang ke bawah sebagai simbol penghormatan terhadap ibu pertiwi. Kancut juga merupakan simbol kejantanan.

Untuk persembahyangan maupun kegiatan sosial yang bersifat formal, orang Bali tidak diperkenankan untuk menunjukkan kejantanan yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh ditunjukkan. Untuk menutupi kejantanan itu, maka ditutupi dengan saputan (kampuh). Seperti halnya dengan pemakaian kamen, saputan melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya).

Pada zaman dahulu, pemakaian saput dikenakan di dada pada lingkar ketiak. Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen atau selutut, selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagai penghadang musuh dari luar, karena di zaman dahulu, dalam saput, dipinggang orang Bali (warna ksatria) diselipkan sebilah keris yang merupakan senjata di zamannya. “Tetapi dalam perkembangannya saput dikenakan di pingang, yang tujuan utamanya hanya untuk menutupi kejantanan (simbolisasi dari nafsu) saja,” jelasnya.



Setelah pemakaian kamen dan saputan, dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal yang buruk. Ikatan umpal berada di sisi kanan, yang artinya dharma memegang kendali. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua, yaitu Bhuta Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai simbol pengendalian emosi dan manyama.

Pada saat putra memakai baju, umpal harus terlihat sedikit agar seseorang pada saat kondisi apapun siap memegang teguh Dharma. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju adalah pengganti saput sedada (di zaman dahulu), merupakan penutup dada dan perut, yakni sekaligus simbolisasi menutup ego dan kesombongan pada diri manusia.

Baju pada saat busana adat terus berubah-ubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat ke pura harus menunjukan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri. Di bagian kepala yang kerap diistilahkan prabu, adalah tempat bersemayamnya Dewa. “Akal, pikiran, serta awal dari semua perbuatan yang diberkati oleh Hyang Widhi,” jelas Sudarsana

Awalnya agar adanya keseragaman, PHDI Bali (Parisadha Hindu Darma Indonesia) menetapkan udeng untuk ke pura haruslah berwarna putih agar menciptakan kesan kejernihan pikiran dan kedamaian pikiran. Untuk berkabung berwarna hitam, dan untuk kegiatan sosial lainnya berwarna batik atau selain hitam atau putih. Di samping itu, udeng simbol ‘ngiket manah’ (memusatkan pikiran) yang merupakan sumber penggerak panca indria. Karena itu, lanjutnya, udeng harusnya diikat dengan kedua ujung simpul atau muncuk udeng harus lurus ke arah atas. Mengapa? Karena itu simbol sang pemakai memantapkan sang pemakai berpikir lurus, memuja Yang Mahasempurna. Kedua ujung udeng merupakan simbolisasi menjunjung konsep ‘Rwabhineda’ yang merupakan akar dari keyakinan pada karma phala. Namun, simbol penting itu sekarang mulai bergeser dengan berbagai variasi (mereng ke kiri atau ke kanan).

Udeng (destar) secara umum dibagi tiga, yakni udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan) menggunakan simpul hidup di depan, di sela-sela mata, sebagai lambang cundamani atau mata ketiga. Juga sebagai lambang pemusatan pikiran, dengan ujung menghadap ke atas sebagai simbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan, yakni sebelah kanan lebih tinggi, dan sebelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan dharma.

Bebidakan yang kiri simbol Dewa Brahma, yang kanan simbol Dewa Siwa dan simpul hidup melambangkan Dewa Wisnu. Sementara udeng jejataran bagian atas kepala atau rambut masih tidak tertutupi yang berarti masih brahmacara dan masih meminta. Oleh beberapa sumber menyebutkan bahwa bidak udeng jejateran merupakan simbolisasi catur purusa artha, dimana bidak kanan – lebih tinggi yang artinya dalam hibup, materi (artha) merupakan tujuan yang diutamakan untuk mejalankan kehidupan ini. Bidak kiri – lebih rendah, merupakan simbol keinginan (kama) yang hanya bisa dicapai apabila artha sudah dicapai. “Lis lipatan udeng dengan simpul udeng (ngiket) di depan merupakan simbol Dharma, di mana setiap kegiatan dalam pencapaian artha dan kama harus berdasarkan dharma agama, “ terangnya.

Dengan tiga simbolisasi tersebut, lanjutnya, maka diharapkan pencapaian tujuan awal dari agama hindu yaitu Jagadhita yang artinya kebahagiaan duniawi. “Dengan tercapainya jagadhita diharapkan pencapaian tujuan akhir agama yaitu moksa,” bebernya. Udeng dara kepak (dipakai oleh warna ksatria), masih ada bebidakan, tetapi ada tambahan penutup kepala yang berarti simbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan. Udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku) tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di belakang dengan diikat kebawah sebagai simbol lebih mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi.

Busana adat Bali untuk wanita hampir sama seperti halnya untuk putra. Pertama diawali dengan memakai kamen, tetapi lipatan kamen melingkar dari kanan ke kiri (searah jarum jam) sesuai dengan konsep sakti. “Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran Dharma,” ujar pria yang juga narasumber Dharmawacana ini.

Lebih lanjut dijelaskannya, tinggi kamen putri kira-kira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti, sehingga langkahnya lebih pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi untuk menjaga rahim, untuk mengendalikan emosi.

Pada putri menggunakan selendang atau senteng diikat menggunakan simpul hidup di kiri yang berarti sebagai sakti dan mabraya. Putri memakai selendang di luar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra kalau melenceng dari ajaran Dharma. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kebaya) dengan lengan panjang hingga pergelangan tangan.

Untuk acara Dewa Yadnya, kaum putri menggunakan ikat kepala berbahan kain berwarna putih, serta menggunakan papusungan. Papusungan ada tiga jenis, yakni, Pusung gonjer yaitu di buat dengan cara rambut dilipat sebagaian dan sebagian lagi digerai. Pusung gonjer digunakan untuk putri yang masih lajang atau belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih dan dipilih pasangannya. Pusung gonjer juga sebagai simbol keindahan sebagai mahkota serta sebagai stana Tri Murti. Pusung tagel adalah untuk putri yang sudah menikah. Pusung podgala atau pusung kekupu, yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambang Tri Murti

Filosofi pakaian adat Bali pada dasarnya bersumber pada ajaran Sang Hyang Widhi, yakni Tuhan yang diyakini memberikan keteduhan, kedamaian, dan kegembiraan bagi umat Hindu yang mempercayainya. “Pakaian adat Bali pada dasarnya adalah sama, yakni kepatuhan terhadap Sang Hyang Widhi, ” tutup Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran.

(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber