Rabu, 29 November 2023

Simbolisasi dan Makna Wadah, Bade, dan Lembu





NGABEN: Prosesi ngaben massal di Bali. (AGUNG BAYU/BALI EXPRESS)

BALI EXPRESS, DENPASAR - Upacara Ngaben adalah ritual mengantar arwah keluarga atau orang yang disayangi menuju ke alam sunia. Dalam prosesinya, selain menggunakan Wadah, Bade, juga disertai Lembu. Apa makna sesunggungnya Wadah, Bade, dan Lembu itu?

Wadah, Bade, dan Lembu umumnya memiliki fungsi yang sama sebagai perlengkapan untuk melaksanakan ritual Ngaben di Bali. Namun, penggunaan Wadah biasanya digunakan oleh seseorang yang tidak berkasta. Sedangkan Bade dan Lembu digunakan oleh mereka yang memiliki kasta lebih tinggi. "Dalam filosofinya, Wadah dan Bade merupakan simbol dari bagian bawah dari Gunung Maliawan," papar Undagi yang juga Ketua Yayasan Gases Bali, Dr. Komang Indra Wirawan,S.sn kepada Bali Express (Jawa Pos Group) akhir pekan kemarin di Denpasar.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Tak disanggahnya belakangan ada kecenderungan melaksanakan pangabenan secara berlebihan, bahkan dianggap menyalahi makna Ngaben itu sendiri.

Dikatakan Indra, adanya fenomena melaksanakan pangabenan secara mewah dan besar - besaran, dengan membeli Wadah yang lengkap dan besar dengan tujuan agar atman dapat lebih mudah tiba di Nirwana merupakan stigma yang keliru.

Menurutnya Wadah, Bade, dan Lembu hanya sarana pangabenan, bukan penentu seseorang itu akan mudah masuk surga atau tidak.


“Atman dimudahkan menuju Suargan atau Nirwana, bukan karena Wadah yang digunakan, tapi tergantung seperti apa karma sang atman itu," bebernya.


Kadang orang salah kaprah, lanjutnya, ketika orang tuanya telah tiada mereka seolah membayar utang mereka dengan menyelenggarakan upacara Ngaben secara jor – joran. "Wadah harus yang paling mahal dan lengkap, baju yang digunakan layonnya harus baju yang terbaik ketika dibakar. Padahal, itu semua tidak perlu. Itu semua tidak dapat memengaruhi sang atman sampai ke Nirwana,” ujarnya.

Indra menyebutkan, secara fisik, Wadah dan Bade memiliki perbedaan yang mencolok. Bade umumnya memiliki tumpang, jumlah atap tumpangnya dibuat menyesuaikan kasta orang yang akan melaksanakan upacara pangabenan. Sedangkan, jika tak memiliki tumpang, atau hanya berbentuk tempat jenazah biasa yang menjulang tinggi disebut Wadah. “Memang berbeda, meski fungsinya sama, yaitu untuk membawa dan membakar jenazah ketika ngaben, namun secara riilnya berbeda," urainya.


Bentuk Wadah yang paling sederhana bertumpang satu. Wadah ini, bentuknya seperti keranda tanpa penutup, dan diusung oleh empat orang. Lalu ada pula Wadah yang disebut dengan Papageh. Papageh umumnya sudah berbentuk seperti Wadah, namun lebih kecil ukurannya. Selain itu, ada juga Wadah (batur sari), yakni Wadah umumnya yang sering digunakan oleh masyarakat kebanyakan. Dan, terakhir ada Bade. "Nah Bade merupakan prasaranan yang paling lengkap. Biasanya menggunakan boma, angsa, Bedawang Nala,Garuda, dan Meru atau tumpang,” ujar pria yang akrab disapa Komang Gases ini.


Dikatakan pria yang usianya berkepala tiga ini, penggunaan Bade umumnya memiliki aturan khusus . Bade biasanya ada beberapa jenis, ada yang tumpang sembilan, tumpang solas (sebelas), tumpang pitu (tujuh), tumpang lima dan seterusnya. Nah masing – masing tumpang sudah ditentukan kasta apa yang dapat menggunakannya. Contohnya keturunan Dalem, biasanya diperbolehkan menggunakan Bade tumpang sebelas (11) lengkap dengan Naga Banda dan kelengkapan upakara lainnya.


Indra memaparkan, memang benar dalam tiap inci bagian yang ada pada Bade maupun Wadah memiliki arti dan filosofi khusus. Dalam Lontar Dharma Laksana, dijelaskan makna dari bagian – bagian Bade. “Bade dan Wadah umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu bagian kepala, badan, dan kaki. Dalam undagi biasanya disebut ornamen parta punggel. Itu biasanya berbentuk ornamen simbol,” ujarnya.


Ornamen - ornamen yang ada pada Bade merupakan simbol. Dikatakan Indra, dalam teori Widi Tattwa menyebutkan, agama Hindu di Bali dalam setiap segmen kehidupan, menggunakan media simbol, simbol sebagai sebuah tanda dalam makna kehidupan. Semua tradisi dan kepercayaan di Bali merupakan simbol. Contohnya banten itu simbol, canang itu juga simbol, segehan juga simbol. Begitu juga Wadah dan Bade adalah simbol. "Jadi, bukan berarti dengan menggunakan Wadah bertumpang solas, orang tersebut bisa lebih mudah tiba di Nirwana,” ujarnya.


Dalam Bade ada simbol Bedawang Nala. Wa dalam Bedawang Nala artinya tanah pertiwi. “Jika ditilik dari makna filosofinya, Bedawang Nala merupakan simbolisasi dari rwabhineda, yang artinya manusia harus dapat memilah mana yang baik dan buruk dalam hidup,” ujarnya. Selain itu, ada juga ornamen Naga. Ornamen ini, bisa diartikan sebagai simbol 'Kamerta pangurip jagat'. Naga identik dengan niat rakus atau momo. Simbol ini menggambarkan, manusia diikat oleh rasa tamasika. "Diletakkannya simbol naga pada Bade diharapkan sifat tamasika orang yang meninggal akan dilebur dan tidak terbawa ke alam sunia. Naga ini merupakan simbolisasi dari Naga Basuki.


Selanjutnya ada juga ornamen yang disebut Boma. Boma merupakan gambaran kepala raksasa yang memiliki caling (taring) dengan mulut terbuka. Boma merupakan simbol perwatakan wujud manusia dari rasa tidak pernah puas. “Boma itu kan simbolisasi seorang manusia dengan hasrat tidak pernah puasnya hidup di dunia. Contohnya mereka yang gila harta, seberapa pun penghasilan yang didapat, mereka tetap merasa kurang dan terus menginginkan lebih,” tuturnya.


Selain itu, terdapat juga ornamen Garuda dalam Bade. Bungsu dari tiga bersaudara ini menjelaskan, Garuda merupakan simbol dari kendaraan Dewa Wisnu. Garuda dipercaya akan membantu menerbangkan segala sesuatu yang masih mengikat sang atman di Mercapada. Kemudian ada juga Angsa yang dinilai simbol istimewa. Sebab, Angsa berarti kembalinya sang atman pada yang kuasa. “Nah sampai di alam sunia, yang bisa dipertanggungjawabkan adalah karma. Jadi, seberapa pun mahalnya Wadah tak akan bisa mengurangi dosa karma kita di Mercapada ini,” ujarnya


Dalam upacara pangabenan banyak tahapan yang harus dilakukan, salah satunya adalah tradisi unik memberi bekal kepada yang meninggal yang hingga kini terus dipertahankan.
"Fenomena memberi bekal berupa uang dan benda – benda berharga bagi jenazah yang akan dibakar, tindakan salah kaprah, " ujarnya.


Menurutnya, apa yang mereka lakukan adalah hal yang percuma. Sebab, orang yang meninggal tidak membawa benda - benda itu ke alam Nirwana. “ Daripada memberi mereka uang berjuta – juta ketika sudah mati, lebih baik mereka memberinya ketika orang tersebut masih hidup. Ini mereka jor – joran memberi ketika orangnya sudah tiada. Ketika masih hidup, justru mereka menyia – nyiakannya,” paparnya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

(bx/tya/bay/yes/JPR)





Cerita Bhima dan Naga Vasuki



Bhima sewaktu kecil suka menggoda dan mengganggu anak dari pamannya. Melihat saudaranya sering diganggu dan digoda oleh Bhima, Duryodhana sebagai kakak tertua marah. Duryodhana mulai merasa tidak suka terhadap perilaku Bhima, dan merencanakan sesuatu yang tidak baik terhadap Bhima. Bhima adalah seorang anak yang kurang dalam etika, namun sangat setia dan patuh kepada ibu dan kakaknya. Bhima adalah anak yang paling kuat di antara Pandawa. Bhima selalu menang dalam berkelahi, bergulat, bertinju dan semua permainan yang mengandalkan kekuatan. Jika mereka sedang berada di atas pohon, permainan yang paling ia sukai adalah menggoyangkan pohon dari bawah dan membuat yang lainnya terjatuh dari pohon itu. Mereka marah. Bhima memiliki energi atau tenaga yang sangat kuat. Kekuatan yang dimiliki Bhima merupakan pemberian dari ayahnya.


GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI



Image; mb.universe

Hati Duryodhana dipenuhi dengan kemarahan dan kebencian serta kecemburuan. Duryodhana benci dengan Bhima dan memikirkan untuk membalas perbuatan Bhima pada adik-adiknya. Datanglah Sakuni, paman Duryodhana, dan makin mengobarkan percikan kebencian dalam hati Duryodhana.


Sakuni dan Duryodhana menyusun suatu rencana untuk mengalahkan Bhima. Kemudian, diatur rencana untuk menjebak Bhima agar dapat dikalahkan. Suatu hari, mereka bermain di taman dan menghabiskan hari dengan beraneka permainan. Sampai waktu menjelang malam, mereka masih asyik bermain, dan memutuskan untuk berkemah. Ketika malam telah tiba, Bhima sangat lapar dan lelah. Duryodhana membawanya ke dalam tenda dan dialah yang memberikan berbagai pilihan makanan. Bhima adalah orang yang lugu dan tanpa tipu muslihat, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 73).



CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI



Bhima tidak dapat menangkap maksud orang lain. Bhima memakan makanan itu tanpa mengetahui bahwa Duryodhana telah mencampurkan Kalakuta, racun yang mematikan padanya. Karena lelah, Bhima kecil berbaring dan tidur nyenyak. Bhima yang sedang tertidur nyenyak diikat dengan tumbuhan merayap yang amat kuat. Duryodhana kemudian menenggelamkannya ke tempat di mana ular- ular yang berbisa dan mematikan.


Waktu kembalinya ke kota pun telah tiba. Akan tetapi, Pandawa tidak melihat Bhima. Yudhistira mencari Bhima di mana-mana, Tetepi ia tidak dapat menemukannya. Yudhistira berpikir mungkin ia telah sampai ke kota. Kemudian, Yudhistira dengan terburu-buru, pulang dan bertanya pada ibunya,“ Ibu, apakah Bhima ada di sini?”


Kunti terkejut. “Tidak, ia belum kembali.” Melihat wajah Yudhistira, Kunti ketakutan. Ia memberi tahu bahwa Bhima tidak ada di mana- mana. Keempat anak laki-laki itu kembali ke tepian Gangga dan mencari saudara mereka di mana-mana.


“Bhima! Bhima!’’ Mereka memanggilnya. Namun, pencarian mereka sia-sia. Mereka kembali pulang dan memberi tahu bahwa ia tidak ada di mana-mana.


GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI


Bhima yang telah ditenggelamkan ke dalam air tetap tertidur dengan tangan dan kaki yang terikat dengan tumbuhan merambat. Tiba-tiba, ia merasa sesuatu telah menggigitnya. Satu per satu, ular itu mulai menggigit seluruh tubuhnya. Hal yang aneh terjadi, racun dari ular itu merupakan penawar racun yang telah dimakan oleh Bhima. Bhima bangun dan mulai membunuh ular-ular itu. Beberapa di antaranya berhasil melarikan diri masuk ke dalam kediamanan Vasuki, raja mereka, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 74).



Mereka berkata, “Ia adalah manusia atau mungkin ia adalah raja ular. Ribuan ular telah menggigitnya, tetapi, hanya membangunkannya dari tidurnya yang nyenyak. Engkau harus bertemu dengannya.”



Vasuki ditemani rakyatnya ke tempat di mana Bhima berada. Vasuki mengenali Bhima, putra Kunti, dan memeluknya. Ia berkata pada menterinya, “Berikanlah ia harta dan permata agar ia senang. Aku sangat senang padanya.”


Menteri menjawab, ”Ia adalah seorang pangeran. Permata dan harta tidak akan berguna baginya. Mengapa kita tidak memberinya obat yang akan memberinya kekuatan.”


Vasuki senang dengan saran dari menterinya. Ia menyuruh Bhima duduk menghadap ke timur dan menyuruhnya untuk meminum semangkuk obat. Bhima meminumnya dalam sekali tegukan. Ular-ular yang berkumpul di sana sangat kagum padanya.



Baca: Karakter yang Dapat Diteladani dalam Mahābhārata


Vasuki berkata dan memberi tahu Bhima, “Minumlah minuman itu. Makin banyak kamu meminumnya, kamu akan makin kuat. Setiap mangkuk akan memberimu kekuatan ribuan gajah.” Bhima meminum delapan mangkuk obat dan ia tertidur.
Bhima tertidur selama delapan hari. Pada hari kedelapan, ia bangun. Bhima diberikan makanan kedewataan oleh Raja Naga dan dibawa ke permukaan sungai. Ia menemukan dirinya telah berada di tempat di mana mereka telah berkemah. Ia kembali pulang pada ibu dan kakaknya. Ia disambut dengan air mata kebahagiaan. Bhima memeluk mereka semua dan menenangkan ibunya yang sekarang tangisannya tidak dapat ditahan lagi. Bhima memberi tahu mereka tentang pengalaman yang aneh. Vidura menyarankannya untuk hati-hati terhadap kebencian Duryodhana, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 75).


Duryodhana melihat Bhima yang ia benci hidup dan sehat tanpa kekurangan apa pun. Ia telah berbahagia selama beberapa hari ini dan sekarang melihat Bhima merupakan sebuah kejutan yang teramat sangat. Ia sangat yakin bahwa ia telah berhasil dengan semua rencananya itu. Sakuni juga terkejut. Kebencian Duryodhana semakin besar saat ini. Akan tetapi, ia harus diam karena ia tahu bahwa Pandawa mengetahuinya (Subramaniam: 2003: 38-41), (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 76).


GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI


Referensi:
https://www.mutiarahindu.com/2018/12/cerita-bhima-dan-naga-vasuki.html

Susila, Komang dan Sri Mulia Dewi, I Gusti Ayu. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti (kelas 3) / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.


Sumber: Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas III
Kontributor Naskah : Komang Susila dan I Gusti Ayu Sri Mulia Dewi
Penelaah : I Wayan Paramartha dan I Made Redana
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Makna dan Cara Mabija Yang Benar

Tahap terakhir persembahyang selain nunas tirtha kita juga nunas bija (mebija atau mewija). Bija atau wija didalam bahasa Sansekerta disebut gandaksata yang berasal dari kata ganda dan aksata yang artinya biji padi-padian yang utuh serta berbau wangi.

Image by: Koleksi Pribadi. Besakih 08 April 2018.
Wija atau bija biasanya dibuat dari biji beras yang dicuci dengan air bersih atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica VAL) sehingga berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning.Wija atau bija adalah lambang kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an/Kedewataan yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Sehingga disarankan agar dapat menggunakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata). Alasan ilmiahnya, beras yang pecah atau terpotong tidak akan bisa tumbuh.
Cara Menempatkan Bija
Dalam menumbuh kembangkan benih ke-Siwa-an / Kedewataan dalam tubuh, tentu meletakkannya juga tidak sembarangan. Ibaratnya menumbuh kembangkan tananam buah kita tidak bisa menamamnya sembarangan haruslah di tanah yang subur. Maka dari itu menaruh bija di badan manusia ada aturannya, agar dapat menumbuh kembangkan sifat kedewataan /ke-Siwa-an dalam diri.
Hendaknya bija diletakan pada titik-titik yang peka terhadap sifat dari kedewataan /ke-Siwa-an. Dan titik-titik dalam tubuh tersebut ada lima yang disebut Panca Adisesa. Yaitu sebagai berikut:
  1. Di pusar yang disebut titik manipura cakra.
  2. Di hulu hati (padma hrdaya) zat ketuhanan diyakini paling terkonsentrasi di dalam bagian padma hrdaya ini (hati berbentuk bunga tunjung atau padma). Titik kedewataan ini disebut Hana hatta cakra.
  3. Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan yang disebut wisuda cakra.
  4. Di dalam mulut atau langit-langit.
  5. Di antara dua alis mata yang disebut anjacakra.sebenarnya letaknya yang lebih tepat, sedikit diatas, diantara dua alis mata itu.


Pada umumnya dikarenakan ketika persembahyangan dalam sarana pakaian lengkap tentu tidak semua titik-titik tersebut dapat dengan mudah diletakkan bija. Maka cukup difokuskan pada 3 titik yaitu :
  1. Pada Anja Cakra, sedikit diatas, diantara dua alis. Tempat ini dianggap sebagai tempat mata ketiga (cudamani). Penempatan bija di sini diharapkan menumbuhkan dan memberi sinar-sinar kebijaksanaan kepada orang yang bersangkutan.
  2. Pada Wisuda Cakra, Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan. Sebagai simbol penyucian dengan harapan agar mendapatkan kebahagiaan.
  3. Di mulut, langsung ditelan jangan digigit atau dikunyah. Alasannya seperti tadi kalau dikunyah beras itu akan patah dan akhirnya tak tumbuh berkembang sifat kedewataan manusia.Sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup.
Kenyataannya hingga dewasa ini dalam masyarakat Hindu, selain pada titik-titik diatas. Ada juga yang meletakkan pada titik-titik yang lain. Misalnya ditaruh diatas pelipis, sebelah luar atas alis kanan dan kiri. Ada juga yang menaruh pada pangkal di telingah bagian luar.
Bisa dikatakan kurang tepat menaruh bija selain pada 3 titik-titik yang telah disebutkan diatas. Karena titik-titik yang lain dalam tubuh kurang peka terhadap sifat kedewataan atau Tuhan yang ada dalam diri manusia. Sehingga cukup sulit menumbuh kembangkan sifat Kedewataan dalam diri.
Jadi dapat disimpulkan bahwa makna dari penggunaan Bija dalam persembahyangan ialah untuk menumbuh kembangkan sifat Kedewataan/Ke-Siwa-aan/sifat Tuhan dalam diri. Seperti yang disebutkan dalam Upanisad bahwa Tuhan memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu tidak berada di surga atau di dunia tertinggi melainkan ada pada setiap ciptaan-Nya.

Selasa, 28 November 2023

Pengertian Sadripu

 


Sad Ripu berasal dari kata sad yang berarti enam dan ripu yang berarti musuh. Jadi secara harfiah Sad Ripu berarti enam musuh yang berada dalam diri manusia. Bagian – bagian sad ripu meliputi :
1. kama : nafsu, keinginan
2. lobha : tamak, rakus
3. krodha : kemarahan
4. moha : kebingungan
5. mada : mabuk
6. matsarya : dengki, iri hati

Enam musuh ini memberikan pengaruh yang berbeda – beda, bila kita tidak dapat mengendalikanya maka akan jatuh ke dalam kesengsaraan. Oleh karena itu hendaknya kendalikanlah enam musuh yang ada dalam diri masing – masing.

1. Kama
Kama yang dimaksud dalam sad ripu ini adalah nafsu atau keinginan yang negative. Manusia memang harus memiliki keinginan, tanpa keinginan hidup ini akan terasa datar sekali. Tetapi keinginan yang sifatnya positif, seperti ingin jadi dokter, guru dan lainnya. Keinginan yang terkendali akan menjadi teman yang akrab bagi kita.


2. Lobha
Lobha berarti tamak atau rakus yang sifatnya negative sehingga merugikan orang lain. Lobha yang sifatnya negative akan menyebabkan seseorang terdorong untuk melakukan kejahatan karena merasa tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Contohnya tindakan mencuri, merampok dan sebagainya. Lobha yang sifatnya positif hendaknya dipertahankan, seperti tidak puas terhadap ilmu pengetahuan yang positif, lobha terhadap amal / dana punia.

3. Krodha
Krodha berarti kemarahan. Orang yang tidak bisa mengendalikan amarahnya akan menyebabkan kerugian pada diri sendiri maupun orang lain. Bahkan bisa sampai membunuh orang lain. Banyak tindakan – tindakan anarkis dan criminal yang timbul karena kemarahan. Seperti merusak barang milik orang lain, memukul teman, bahkan ada yangtega membunuh keluarganya sendiri.

4. Moha
Moha berarti kebingungan yang dapat menyebabkan pikiran menjadi gelap sehingga seseorang tidak dapat berfikir secara jernih. Hal ini akan menyebabkan orang tersebut tidak mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Akibatnya hal – hal yang menyimpang akan dilakukannya. Banyak penyebab seseorang menjadi bingung, seperti marah, mendapatkan masalah yang berat, kehilangan sesuatu yang dicintai dan sebagainya.

5. Mada
Mada berarti mabuk. Orang mabuk pikiran tidak berfungsi secara baik. Akibatnya timbulah sifat – sifat angkuh, sombong, takabur dan mengucapkan kata – kata yang menyakitkan hati orang lain. Seperti mabuk kekayaan yang dimilikinya, mabuk karena ketampanan. Mabuk juga dapat ditimbulkan karena minum minuman keras. Dengan minum minuman keras yang berlebihan akan menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran, sehingga menimbulkan perilaku yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.

6. Matsarya
Matsarya berarti dengki atau iri hati. Hal ini akan menyiksa diri sendiri dan dapat merugikan orang lain. Orang yang matsarya merasa hidupnya susah, miskin, bernasib sial, sehingga akan menyiksa batinnya sendiri. Selain itu bila iri terhadap kepunyaan orang lain maka akan menimbulkan rasa ingin memusuhi, berniat jahat, melawan dan bertengkar, sehingga merugikan orang lain.

Senin, 27 November 2023

TUMPEK LANDEP, BUKAN SEMATA-MATA OTONAN MOTOR

 Tumpek Landep merupakan hari raya yang tidak asing lagi bagi umat Hindu di Bali. Hari raya ini jatuh pada Saniscara Keliwon Wuku Landep. Hari raya ini diperingati setiap 6 bulan sekali atau 210 hari.  Pada hari ini umat Hindu biasanya membuat banten/sesajen yang dihaturkan pada merajan, alat-alat fisik, serta sarana pendukung kegiatan lainnya.

Secara filosofis, Tumpek Landep Berasal dari kata Tumpek dan Landep. Tumpek berasal dari kata tampek yang berarti dekat dan Landep berarti tajam/lancip. Adapun ketajaman yang dimaksud tersebut itu layaknya senjata yang berbentuk lancip/runcing seperti keris, tombak, dan pedang.
Hari Raya Tumpek Landep di Bali sejatinya merupakan rangkaian dari Hari Raya Saraswati yang jatuh pada dua minggu sebelum hari raya ini. Jika pada saat hari raya Saraswati umat Hindu melakukan puji syukur atas turunnya ilmu pengetahuan dimana diimplementasikan dengan mengupacari berbagai sumber-sumber ilmu pengetahuan, seperti buku, lontar, prasasti dan berbagai sumber-sumber sastra dan ilmu pengetahuan lainnya. Sedangkan pada hari raya Tumpek Landep ini lebih mengucapkan puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Pasupati yang telah menganugrahi kecerdasan dan ketajaman pikiran kepada manusia, yang mana dari pikiran-pikiran  tersebut melahirkan suatu ciptaan yang dapat mempermudah kehidupannya untuk mencapai kebahagiaan. Sederhananya, ilmu pengetahuan yang turun dan didapatkan dua minggu sebelumnya maka diasah pada hari Tumpek Landep ini.


Dalam perkembangannya, kini perayaan hari raya Tumpek Landep di Bali tidak hanya mengupacarai benda-benda sakral/pusaka seperti keris dan peralatan persenjataan, melainkan juga benda-benda lain yang membantu umat manusia dalam menjalani kehidupan dan mampu memberikan nilai positif terhadapnya. Adapun benda-benda tersebut yang sering kita lihat diupacarai para hari Tumpek Landep ini antara lain : motor, mobil, komputer, mesin-mesin, dan benda-benda fisik lainnya. Sesungguhnya hal ini tidaklah salah, namun pemahaman orang awam di Bali terkadang sedikit keliru dalam memaknai hari Tumpek Landep ini. Bahkah, mirisnya lagi tak jarang kita jumpai umat yang bersembahyang di depan mobilnya di pinggir jalan seakan-akan menTuhankan mobilnya.
Sesungguhnya, senjata yang paling utama dalam kehidupan ini adalah pikiran, karena pikiranlah yang mengendalikan semuanya yang ada. Semua yang baik dan yang buruk dimulai dari pikiran. Maka dari itu dalam perayaan hari Tumpek Landep ini, hal mendasar dan utama yang semestinya kita harapkan adalah agar senantiasa mampu menajamkan pikiran lewat kecerdasan dan mengendalikan pikiran lewat pengalaman-pengalaman yang ada. Jadi, setiap enam bulan sekali umat diingatkan melakukan evaluasi apakah pikiran sudah selalu dijernihkan atau diasah agar tajam. Sebab, dengan pikiran yang tajam, umat menjadi lebih cerdas, lebih teliti melakukan analisa, serta lebih tepat dalam mengambil keputusan.

Penulis : I Kadek Maryana (Mahasiswa Fak. Pertanian Unud 2011)

Sejarah Pura Agung Besakih

 

Gunung Agung sering juga disebut dengan Giri To Langkir untuk menyatakan keagungannya. Giri artinya gunung, to artinya orang, sedangkan langkir artinya menjulang tinggi. R.Goris seorang ahli sastra membandingkan perkataan to yang berarti orang dengan keluarga bahasa yang terdapat di tempat-tempat lain yang hampir sama ejaannya menunjukkan persamaan asal. Misalnya, orang-orang Bugis, Makasar dan Toraja, mereka menyebutkan orang itu dengan perkataan tou atau tow, orang Sasak di Pulau Lombok mengatakan “TAU”, orang-orang Bima di Pulau Sumbawa mengatakan dou, sedangkan orang-orang Philipina mengatakan tawuw. Perkataan langkir dalam bahasa sanskerta dapat juga diartikan Maha Dewa (Rencana Induk Pembinaan dan Pengembangan Pura Besakih). Di dalam Lontar Sangkul Putih, ada disebutkan : “...Kang umungguh ring tolangkir Bhatara Pasupati Ngaran... “artinya: “... yang bersthana di Gunung Agung adalah Bhatara Pasupati namanya...”
Kata Tolangkir berasal dari kata to (tu) yang berarti terhormat dan langkir artinya melangkahi atau gunung yang dimuliakan atau terhormat tempat linggih (stana) Hyang Pasupati (Dewa) yang paling dimuliakan oleh masyarakat Bali (panitia Pembangunan Pura Pasar Agung Besakih). Gunung Agung itu disebut Giri To Langkir karena besar dan tingginya, sebagai ungkapan lain untuk menerangkan Maha Agung. Letak Pura Besakih di desa yang dianggap suci karena berada di ketinggian, yang disebut Hulundang Basukih yang kemudian menjadi Desa Besakih. Nama Besakih diambil dari Bahasa Sansekerta, wasuki atau dalam bahasa Jawa Kuno basuki yang berarti selamat. Selain itu, nama Pura Besakih didasari pula oleh mithologi Naga Basuki sebagai penyeimbang Gunung Mandara.


Dengan keagungan Gunung Agung inilah didirikan stana beliau Hyang Pasupati yang diberi nama Pura Besakih. Pura Besakih merupakan salah satu Pura Sad Kahyangan di Bali. Pura ini terdiri atas 86 buah kelompok pura, yaitu terbagi ke dalam 18 (delapan belas) buah pura umum, 4 buah Pura Catur Lawa, 11 buah Pura Padharman, 6 buah Pura yang bukan Padharman, 29 Pura Dadia, dan 11 buah tidak termasuk kelompok tersebut. Semua kelompok pura ini tidak dibangun sekaligus, tetapi dibangun secara bertahap. Diperkirakan Pura ini dibangun pertama kali oleh Raja Wira Dalem Kesari Warmadewa (th. 913 Masehi), kemudian dilanjutkan oleh Raja Sri Kesari Warmadewa yang berpermaisurikan Sri Gunapriya Dharmapatni (th. 1007 Masehi). Perkembangan pembangunan yang pesat terjadi zaman Dalem Waturenggong, dimana Danghyang Nirartha dan Empu Kuturan amat berperan (Nala, 1996:1). Tata letak bangunan suci (pelinggih) di dalam dan di luar area Pura Agung Besakih.
Diceritakan dalam Lontar Babad Gunung Agung bertahun Çaka 11, pada tahun tersebut terjadi letusan dan perpindahan empat gunung yang dinyatakan dengan sebutan Candra Sangkala yang berbunyi Rudhira Bumi. Rudhira dan Bumi masing-masing berarti angka 1 (satu) sehingga Rudhira Bumi berarti angka 11 (sebelas) atau 89 Masehi. Pada tahun Çaka 13 yang dinyatakan dengan sebutan Candra Sangkala Gni Bhudara: Gni artinya angka tiga dan Bhudara sama dengan satu, jadi Çaka 13 tahun 92 Masehi, terjadi letusan kembali. Letusan itu menimbulkan gempa bumi yang amat hebat disertai hujan lebat tiada henti-hentinya siang dan malam selama 2 (dua) bulan. Sesudah turunnya Hyang Putran Jaya, Hyang Gni Jaya dan Dewi Danuh ke Bali. Di antara ketiganya itu Hyang Putran Jayalah yang paling dimuliakan dengan sebutan Hyang Maha Desa berkahyangan di Pucak Gunung Agung sebagai Çiwa. Sedangkan Hyang Gni Jaya berkahyangan di Puncak Gunung Lempuyang dan Dewi Danuh berkahyangan di Danau Batur yang dipuja sebagai Wisnu.
Di Pura Besakih terdapat pemujaan bagi para Dewa-Dewa yakni; di Pura Kiduling Kreteg tempat memuja Dewa Brahma, di Pura Gelap tempat memuja Dewa Iswara, di Pura Ulun Kulkul tempat memuja Dewa Mahadewa, dan Pura Batumadeg tempat memuja Dewa Wisnu, Pura Penataran Agung letaknya di tengah-tengah karena dianggap paling terkemuka. Disitulah umat Hindu Dharma mengadakan persembahyangan tiap-tiap setahun sekali yang dinamai Karya Bhatara Turun Kabeh yang jatuh pada hari Purnamaning sasih kadasa. Sedangkan tiap sepuluh tahun sekali diselenggarakan Upacara Panca Wali Krama dan yang paling utama dilangsungkan tiap-tiap 100 (seratus) tahun sekali yang disebut Upacara Eka Dasa Rudra.
Lebih lanjut dalam Babad Gunung Agung diceritakan bahwa Gunung Agung meletus kedua kalinya pada tahun Çaka 70 atau tahun 148 Masehi, haru Jumat Keliwon Wuku Tolu bulan Kelima atau Çasih kalima Wara Sukra Kaliwon Tolu menurut kalender Bali. Sementara itu di kawah gunung agung terdapat jenis benda yang disebut Salodaka (belerang). Salodaka ini dipandang mempunyai kekuatan gaib oleh penduduk di Bali dan dipergunakan sebagai sarana upakara-upakara agama Hindu yang bersifat besar.


Kemudian Gunung Agung meletus untuk ketiga kalinya pada tahun Çaka 111 (seratus sebelas) disebut dengan Candra Sangkala “Wak Çasih Wak” yang masing-masing kata berarti angka 1 (satu), atau tahun 189 Masehi. Pada waktu itulah konon Karya Eka Dasa Rudra yang pertama kalinya diselenggarakan di Pura Besakih. Karya-karya Eka Dasa Rudra berikutnya pernah beberapa kali tidak dilaksanakan. Adapun Eka Dasa Rufdra berikutnya diselenggarkan pada tahun 1963 Masehi, atau tepatnya pada tanggal 18 Maret 1963 Purnama Kedasa, hari Sukra Pon Julungwangi Çaka 1885, dimaksudkan sebagai Karya Eka Dasa Rudra itu tidak diselenggarakan. Pada saati itu (1963) terjadi letusan Gunung Agung yang sangat hebat dan menyebabkan Pulau Bali menjadi gelap gulita.
Sumber yang bersifat mythologi tradisional disebut-sebut tokoh yang bernama Sri Wira Dalem Kesari yang nmembuat Merajan Selonding lebih kurang 250 Masehi berlokasi disebelah barat Pura Penataran Agung, yang sekarang tersimpan gambelan Selonding. Beliau dikatakan pernah melakukan perbaikan Pura Besakih. Kata Dalem adalah gelar seorang raja di Bali, dengan demikian yang dimaksud dengan Dalem Kesari kemungkinan sekali adalah Raja Kesari Warmadewa yang memerintah sekitar tahun 917 Masehi. Ini dintunjukkan dari prasasti-prasasti Pura Puseh Penempahan dan Belanjong (sanur). Dari prasasti-prasasti tersebut hanya yang ada di Belanjong, yang memakai angka tahun berbentuk Candra Sangkala Cara Wahni Murti. Cara artinya bintang dan angkanya 5, Wahni artinya api angkanya 3, murti artinya badan dari Dewa Çiwa angkanya 8. Oleh karena itu cara membaca Candra Sangkala dimulai dari belakang, maka akan terdapat angka 835 Çaka, dan kalau dijadikan tahun masehi harus ditambah dengan 78 dan menjadi tahun 913 masehi.
Zaman pemerintahan Sri Udayana, Pura Besakih juga mendapat perhatian besar, hal ini dapat dijumpai di dalam 2 prasasti yaitu prasasti Bradah yang sekarang salinannya ada disimpan di Merajan Selonding dan Prasasti Gedung Sakti di Selat (Karangasem) yang memuat angka tahun Candra Sangkala “Nawa Sangapit Lawang dan Candra Sangkala Lawang Apit Lawang”. Kedua Candra Sangkaal ini sama artinya yaitu: nawa artinya 9, apit artinya 2 dan lawang artinya 9 (simbol 9 lobang tubuh manusia). Candra Sangkala ini menjadi angka tahun 929 Çaka dan menjadi tahun 1007 masehi. Oleh karena tahun 1007 adalah zaman Pemerintahan Udayana Warmadewa maka rupa-rupanya raja mempunyai cukup perhatian terhadap Pura Besakih.
Pada waktu pemerintahan raja-raja keturunan Sri Kresna Kepakisan, Pura Besakih mendapat pengaturan yang lebih khusus, hal ini dapat diketahui dalam raja Purana Besakih (berbentuk lontar), yang menyebutkan jenis pengaci/upacara, nama palinggih, tanah palaba (wakaf), susunan para pangemong, tingkatan-tingkatan upacara semuanya diatur dengan baik. di samping itu adanya 2 buah prasasti yang berangka tahun 1444 M dan 1454 M yang isinya mengenai pengukuhan terhadap otonomi “Desa Hila-hila Hulundang Ing Besuki” yang mana orang luar termasuk pula petugas-petugas Raja tidak boleh memungut pajak di wilayah Pura Besakih dan rakyat Besakih beretugas memelihara Pura Besakih dan palinggih Sasuhunan Kidul (Kasuhunan Kidul). Keadaan yang demikian berlangsung terus sampai jatuhnya Kerajaan Klungkung oleh Belanda tahun 1908.
Pada zaman penjajahan Belanda, pemerintah Belandapun manaruh perhatian terhadap Pura Besakih, terbukti pada tahun 1918-1923 terjadi bencana alam sehingga banyak bangunan-bangunan yang rusak; pemerintah mengadakan restorasi secara besar-besaran. Selanjutnya sesudah Indonesia merdeka, maka pemerintah daerah Bali yang menangani perbaikan-perbaikan dan upacara-upacara di Pura Besakih. Pada tahun 1967 pengawasan dan pemeliharaan terhadap Pura Besakih oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali diserahkan kepada PHDI yang kemudian dimandatkan lagi kepada Yayasan Prawartakan Pura Besakih. Oleh Prawartaka Pura Besakih dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh bencana alam (Rencana Induk Pembinaan dan Pengembangan Pura Besakih).


Besarnya perhatian pemerintah Provinsi Bali beserta Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Se-Bali, maka sampai sekarang perbaikan-perbaikan itu tetap dilanjutkan. Di samping perhatian dari lembaga Adat dan lembaga agama melalui paruman-paruman Sulinggih dan Walaka, seminar-seminar keagamaan dan paruman-paruman lainnya, maka tuntunan upacara-upacara yang harus dilaksanakan di Pura Besakih terungkap melalui sasrta dresta-nya, sehingga dilaksanakanlah upacara-upacara besar yang secara periodik dilakukan, antara lain:
1. Upacara Eka Dasa Rudra pada tahun 1979 (Çaka 1900)
2. Upacara Pancawalikrama pada tahun 1989 (Çaka 1910)
3. Upacara Candi Narmada, di Batu Klotok, Pancawalikrama ring Danu (Batur) dan Upacara Tri Bhuana pada tahun 1993,
4. Upacara Eka bhuana pada tahun 1996 di bencingah Pura Besakih sebagai rangkaian dari Uipacara Eka Dasa Rudra.
🙏🙏🙏
Sumber : DR. Dra. Relin D.E. M.Ag. 2012.TEOLOGI HINDU PURA AGUNG BESAKIH DI DESA BESAKIH, KECAMATAN RENDANG KABUPATEN KARANGASEM. INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR.

Siwaratri

 


Dalam Bhagawad Gita XVIII-5 dikatakan Kegiatan melakukan yadnya, dana punia  tapa brata jangan diabaikan melainkan harus dilakukan sebab yadnya, dana punia, dan tapa brata adalah pensuci bagi orang arif bijaksana.
       Selanjutnya brata yang utama adalah Siwaratri, dapat dilihat pada purana:
1. Skanda Purana (bagian Kedara kanda) dari percakapan para Rsi dan Lomasa, bahwa Canda membunuh berbagai mahluk, juga termasuk membunuh  Brahmana, pada akhirnya sadar (bertobat) melalui ajaran Siwaratri.
2. Garuda Purana (bagian acara kanda), Dewa Siwa menjawab pertanyaan saktinya Dewi Parwati, bahwa ajaran Siwaratri yang utama, roh terbebas dari hukuman neraka.


3. Siwa purana ( bagian jnana samhita) percakapan tentang Siwaratri antar para Rsi dan Suta, perihal kekejaman Rurudruha menjadi sadar, setelah menjalankan ajaran Siwaratri.
4. Padma Purana (bagian uttara kanda) menyampaikan percakapan antara Raja Dilipa dengan Rsi Wasista, Siwaratri adalah brata yang utama 
5. Siwaratri kalpa populer di Indonesia, ditulis oleh  Empu Tanakung tentang kisah Lubdaka yg terdiri 20 wirama.
         Perayaan Siwaratri akan memberikan harapan dituntun dari tidak benar menuju jalan yang benar, dari kegelapan  menuju cahayaMU.

Pembicara Ida Pedanda Gde Pidada
Copas Nyomn Sedana