Minggu, 24 Desember 2023

PANCA MAHA YAJNA, Lima Kewajiban dari Kepala rumah tangga/ Grihastha



Selain kegiatan normal yang terkait dengan profesi seseorang (varna dharma) dan tahap dalam kehidupan (ashrama dharma), rutinitas sehari-hari dari seorang Hindu yang taat adalah melakukan Pancha Maha Yajna (lima tugas harian) atau pancha nitya karmas (lima tugas tetap) . Ini adalah praktik minimal yang memandu seseorang dalam kehidupan sehari-hari dan menjamin perdamaian, kesejahteraan material dan spiritual.
Pancha vaa ete mahayajnaassatati Prataayante satati santishtante
Devayajnah pitr. yajno bhutayajno Manushya yajno brahmayajna iti.
- Taittiriya Aranyaka 2.10
“Ini adalah lima pengorbanan besar (panca maha yajna) yang harus dilakukan dan diselesaikan setiap hari. yaitu dewa yajna, pitru yajna, bhuta yajna, manushya yajna dan brahma yajna ”
1. Deva yajna (Hutang kepada Dewa): Memuja Dewa (Deva Yajna) dalam bentuk dewa keluarga (Ishta Devata) di kuil rumah melalui doa dan meditasi. Praktik ini membantu seseorang untuk menjadi sadar akan Tuhan dalam semua kegiatan sehari-hari. Selain itu, praktik ini membangkitkan rasa kebersamaan dalam keluarga, karena anggota keluarga sembahyang bersama dan berpartisipasi dalam ritual, nyanyian, dan penelaahan tulisan suci. Tradisi mengatakan bahwa "sebuah keluarga yang berdoa bersama tetap bersama." Dengan demikian menyenangkan para Dewa melalui homa dan yajna.
2. Pitru yajna (hutang kepada leluhurnya): Renungkan ajaran pria dan wanita suci, dan nenek moyang seseorang (Pitri Yajna). Praktik ini dimaksudkan untuk berfungsi sebagai pengingat untuk melestarikan, memperkaya dan melanjutkan warisan budaya dan nilai-nilai keluarga seseorang. Ini termasuk menyediakan makanan dan air untuk leluhur yang mati. Sementara penghuni rumah yang hidup harus melayani mereka dengan penuh rasa hormat.
3. Bhuta yajnam (hutang terhadap alam): Berikan makanan bagi mereka yang membutuhkan (Bhuta Yajna). Praktik ini dimaksudkan untuk menciptakan semangat berbagi dengan orang lain. Menyediakan makanan untuk anjing, kucing, burung gagak dan makanan untuk hewan lain. Ini termasuk perlindungan hewan piaraan dan binatang liar.
4. Manusya yajna (hutang kepada masyarakat): melayani tamu dengan cinta, dan penuh hormat (Nara Yajna). Praktek ini adalah dasar untuk keramahan tradisi rumah tangga Hindu. Menyediakan makanan untuk manusia (tamu, miskin dll). merawat istri dan anak-anak. Jika seorang istri murni, maka suaminya harus mendukungnya. Dia juga harus membesarkan anak-anak mereka sampai mereka cukup umur.
5. Brahma yajna (hutang kepada para Resi): Pelajari Veda dan kitab suci lainnya (Brahma Yajna). Praktik ini menyegarkan pikiran seseorang dengan pengetahuan suci dan juga membantu melestarikan dan memperkaya pengetahuan tersebut. Ini termasuk menyanyikan dan mengajarkan Veda.
Para perumah tangga yang tidak melakukan lima yagna ini sama dengan mati dan tidak akan mencapai moksha..
Menjalankan itu juga membantu dalam menghilangkan dosa yang terjadi saat menggunakan alat-alat rumah tangga seperti palu, oven, panci air, pembersih dll. Menggunakan alat-alat ini membunuh banyak serangga yang menyebabkan dosa bagi keluarga. Pancha Maha Yajna akan menghancurkan dosa-dosa harian ini.

Tugas, Peranan dan Fungsi Warna, Bukan Kasta Wangsa





Peranan dan Fungsi Brahmana
Brahmana (brh artinya tumbuh), berfungsi untuk menumbuhkan daya cipta rohani umat manusia untuk mencapai katentrama hidup lahir batin. Brahmana juga berate Pendeta, yang merupakan pemimpin agama yang menuntun umat Hindu mencapai ketenangan dan memimpin umat dalam melakukan upacara agamanya. Oleh karena tugasnya itu seorang Brahmana wajib untuk mepelajari dan memelihara Weda, dan tidak melakukan pekerjaan duniawi.

Penjelasan tentang Brahmana ada pada Slokantara sloka I yang berbunyi

“…..tidak ada manusia yang melebihi Brahmana, Brahmana arti (tepatnya) ialah orang yang telah menguasai segala ajaran-ajaran Brahmacari ……….. Brahmana ialah beliau yang mempunyai kebijaksanaan yang lebih tinggi melebihi (pengetahuan) manusia umumnya……”


selanjutnya Mahabharata III. CLXXX, 21, 25 dan 26 menguraikan sifat-sifat dan tanda-tanda Brahmana dan hal itu tidak turun menurun. Bunyinya

“…….jujur, dermawan, suka mengampuni, bersifat baik, sopan, suka melakukan pantangan agama dan pemurah dialah yang hendaknya dipandang Brahmana…..”
“……bila sifat-sifat ini ada pada Sudra dan tidak ada pada Brahmana, Sudra itu bukan Sudra dan Brahmana itu bukan Brahmana”
“Pada siapa tanda ini terdapat, hai ular, dialah yang harus dipandang Brahmana, pada siapa tanda ini tidak terdapat, hai ular, dia harus dipandang sebagai Sudra”.

Dalam Manawa Dharmasastra, X, 65 menjelaskan sifat Warna Brahmana itu tidak ditijau dari keturunan. Sloka tersebut berbunyi

“seorang Sudra menjadi Brahmana dan Brahmana menjadi Sudra (Karena sifat dan kewajiban), ketahuilah sama halnya dengan kelahiran Ksatria dan Waisya”.

Peranan dan Fungsi Ksatria
Ksatria dalam bahasa sansekerta artinya suatu susunan pemerintahan, atau juga berarti pemerintah, prajurit, daerah, keunggulan, kekuasaan dan kekuatan.
Sifat-sifat Ksatria , Bhagavad gita XVIII, 43, menguraikan sebagai berikut

“Berani, pekasa, teguh iman , cekatan dan tak mundur dalam peperangan, dermawan dan berbakat memimpin adalah karma (kewajiban) Ksatria”.

Dalam Manawa Dharmasastra I, 89, menguraikan tentang kewajiban Ksatria. Bunyinya

“ Para Ksatria diperintahkan untuk melindungi rakyat, memberikan hadiah-hadiah, melakukan upacara kurban, mempelajari Weda dan mengekang diri dari ikatan-ikatan pemuas nafsu”.


Dalam lontar Brahmokya Widhisastra lembaran 6a, menyebutkan larangan dan sanksi-sanksi Warna Ksatria, bunyinya

“…. Apabila ada Ksatria berbuat tidak benar………. Diluar sifat Ksatria…… mereka akan menjadi Sudra……”

Peranan dan Fungsi Waisya
Waisya (vic) dalam bahasa sansekerta berarti bermukim diatas tanah tertentu. Dari kata tersebut, kemudian berkembang artinya menjadi golongan pekerja atau seseorang yang mengusahakan pertaniaan.
Dalam Bhagavad gita XVIII, 44, menguraikan kewajiban Waisya, bunyinya

“…Bercocok tanam, berternak sapi dan berdagang adalah karma (kewajiban) Waisya menurut bakatnya….”

Dalam Slokantara sloka 62, diuraikan juga tugas waisya;

"orang waisya bekerja sebagai petani, pengembala, pengumpul hasil tanah, bekerja dalam lapangan perdagangan dan memiliki rumah penginapan. orang yang lahir di keluarga waisya itu lahir sebagai pelindung ladang"

Selain itu dalam Manawa Dharmasastra I, 90, disebutkan pula

“Para waisya ditugaskan untuk memelihara ternak, memberikan hadiah, melakukan upacara korban, mempelajari Weda, meminjamkan uang dan bertani”

Jadi singkatnya fungsi waisya adalah dalam bidang ekonomi.

Peranan dan Fungsi Sudra
Sudra artinya pengbdi yang utama.
Peranan dan fungsi Warna Sudra diuraikan pada Sarasamuccaya, 60, bunyinya

“…….prilahu Sudra, setia mengabdi kepada Brahmana, Ksatria dan Waisya sebagaimana mestinya, apabila puaslah ketiga golongan yang dilayani olehnya, maka terhapuslah dosanya dan berhasil segalanya”

Dalam Bhagavadgita disebutkan bahwa

“…meladeni (menjual tenaga) adalah kewajiban Sudra menurut bakatnya”.

Warna Sudra bukanlah berarti paling buruk dan jelek. Bhagavata Purana, VII, XI, 24, menunjukan cirri-ciri Warna Sudra sebagai mahkluk Tuhan yang utama. Bunyinya

“… kerendahan hati, kesucian, bhakti kepada atasan dengan tulus, ikhlas beryadnya tanpa mantra, tidak mempunyai kecenderungan untuk mencuri, jujur dan menjaga sapi sang Vipra (brahmana) inilah cirri-ciri yang dimiliki oleh Sudra”.

Dalam Slokantara sloka 63, diuraikan juga kewajiban seorang sudra:

"seorang sudra ialah membuat barang pecah belah dan berdagang. ia melakukan pembelian dan penjualan, bekerja dibidang jual beli"

dari slokantara diatas, dikatakan bahwa golongan sudra adalah pedagang, menjual belikan barang dagangannya. dia tidak membuat atau memproduksi barang dagangannya karena itu tugas waisya.

Keempat Warna itu akan dapat saling isi mengisi antara satu dengan yang lainnya. Pengelompokan masyarakat ke dalam empat warna itu akan menumbuhkan hubungan social yang saling membutuhkan. Keretakan diantara profesi itu akan dapat merugikan semua pihak.
lalu adakah golongan selain yang diatas tersebut, selain catur warna...?
tentu ada, yaitu:
golongan CANDALA
dalam slokantara 64 dikatakan bahwa:



"diantara bangsa burung, gagaklah yang candala. diantara binatang berkaki empat, keledailah yang candala. diantara manusia, orang pemarahlah yang candala dan akhirnya orang jahat itulah yang candala"

sebagai imbangan dari sloka diatas, dalam Kitab Niti Sastra I.8 disebutkan bahwa:

"diantara jenis burung jahat, burung gagak yang dianggap candala yang terkenal jahat hatinya. diantara binatang yang berkaki empat, keledailah yang candala karena tersohor rendah budinya. didalam perwatakan, tabiat pemarah itu rendah sekali karena tak mengenal kasih sayang. tetapi candala yang paling rendah melebihi ketiganya diatas itu ialah orang penghianat"

dalam Slokantara 65, kembali ditegaskan lagi bahwa yang bisa dimasukan candala adalah 8 jenis pekerjaan tertentu. adapun bunyinya"

"orang membuat kapur, pembuat arak dan minuman keras lainnya, tukang celup, tukang cuci, pembuat periuk, jagal, tukang mas, tukang celup benang, ini semua termasuk golongan delapan candala"

dan dalam slokantara 66 disebutkan kembali bahwa;

" orang yang membuat minuman keras, pencuci pakaian / penatu, jagal, pembuat periuk belanga dan tukang emas, kelimanya ini dikenal sebagai candala"

Dari sloka diatas dapat dikatakan bahwa yang dinamai candala itu bukan orangnya tetapi pekerjaannya. dia tidak akan lagi dinanai candala jika ia berhenti mengerjakan pekerjaan itu.

Demikianlah tugas, peranan dan fungsi warna, dan ingatlah agama Hindu sanatana dharma tidak mengenal kasta ataupun wangsa, jadi mohon dipilah, jangan sampai terpelosok ke lembah kegelapan. semoga bermanfaat.


Sumber : cakepane.blogspot.com

KEUTAMAAN BELAJAR KANDA PAT

  




Berikut beberapa hal yang layak untuk dipertimbangkan agar kita lebih cepat dalam menguasai Kekuatan Gaib Kanda Pat :

1. Wajib memiliki Guru
Dalam dunia spiritual berdasarkan sumbernya Guru dibedakan menjadi 4 yaitu :
a. Guru Buku, berguru /belajar melalui kitab-kitab, lontar-lontar , atau riwayat kuno yang memang telah diwariskan secara turun temurun.
b. Guru Hidup, berguru atau belajar dari seseorang yang telah menerima wahyu/pewaris, telah mencapai tarap hidup yg tinggi dalam ilmu, memiliki kekuatan dan ilmu gaib, memiliki kepribadian baik, memiliki ketenangan jiwa dan sabar.
Karena saat kita dalam penggalian, ada saat dan ada hal yang tidak bisa kita mengerti, agar tidak tersesat dan salah kekaden, disinilah peranan Guru Hidup seperti pelita yang mencerahkan sangat diperlukan.
c. Guru Alam, berguru/belajar dari getaran-getaran alam dalam mengolah rasa, sehingga kita mampu mengenali getaran atau rasa yg ada disekitar kita, misal jika kita pergi ke suatu tempat, kebetulan tempat itu angker, ada pepasangan dll maka alam akan mengirimkan sinyal kepada kita, kita menerima sinyal itu dan menterjemahkannya kedalam rasa spt merinding, kesieng kesieng, dada terasa panas, pudak berat, dengan sinyal itu kita menjadi tahu bahwa tempat itu angker.
d. Guru Rahasia, biasanya disebut juga Guru Sejati, untuk bertemu dengan Guru Rahasia harus memiliki kesucian lahir batin. Semua orang memilikinya, tetapi tidak semua bisa menjumpainya, Dia berada di tempat yang rahasia...


Agar cepat berhasil dalam belajar spiritual mininal kita memiliki 2 guru dari 4 guru yang ada yaitu Guru Buku dan Guru Hidup.
2. Kepercayaan yang kuat
Kepercayaan merupakan suatu keadaan psikologis pada saat seseorang menganggap suatu ajaran spiritual adalah benar atau nyata, dan layak untuk dipelajari dan diresapi. Tanpa kepercayaan ini mustahil kita bisa memiliki Kekuatan Gaib Kanda Pat.
3. Ketekunan dalam menjalani
Ketekunan merupakan sikap keras dalam berusaha, kesungguhan dalam belajar dan keasyikan atau ada rasa kecintaan didalamnya. Berusaha keras dalam mengekang hawa nafsu, berusaha keras menyelesaikan tirakat/laku, bersungguh sungguh menjauhkan diri dari kenistaan.
4. Sabar.
Belajar spiritual harus dilatih sedikit demi sedikit (tinelatih amrih titik,) wening hening, tidak boleh kesusu (grasa grusu), harus dimengerti di dalam batin melalui olah rasa. Karena siapapun yang ingin memiliki kekuatan gaib Kanda Pat akan diuji oleh kekuatan itu sendiri. Geng yasa geng goda, semakin tinggi kekuatan gaib yg kita inginkan, semakin tinggi cobaan dan godaannya.
5. Tidak ngerusak pagar ayu
Tidak berselingkuh, mengurangi senggama.
Layak tidaknya kita mendapatkan Kekuatan Gaib Kanda Pat, tergantung dari usaha dan ketekunan kita dalam menjalani, karena itu "kesabaran" menjadi amat penting disini.
Sumber : Jaga Satru, Kanda Pat Sari, tuntunan Sembah Hyang Sri Empu Dwijananda
Sebelumnya dari lubuk hati yang terdalam izinkan tiang meminta maaf kepada Para Sepuh di Group niki, atas kelancangan tiang menulis beberapa saran yang mungkin layak untuk dipertimbangkan dalam belajar Kanda Pat, tidak ada niat sedikitpun untuk menggurui, hanya ingin berbagi cara dan jalan semoga bisa menjadi salah satu pilihan. Jika ada yang kurang mohon untuk ditambahkan!

Pura Gunung Gondol Penyabangan; Diyakini Memiliki Mercusuar Gaib

 






PUNCAK BUKIT: Suasana di areal Pura Gunung Gendol yang berada di puncak Bukit Gondol wilayah Desa Penyangan, Kecamatan Gerokgak, Buleleng. (DIAN SURYANTINI/BALI EXPRESS)





Buleleng Barat adalah kawasan kering yang penuh dengan bebukitan. Perjalan Bali Express (Jawa Pos Group) kali ini menuju Desa Penyabangan, Kecamatan Gerokgak. Tepatnya ke Pura Gunung Gondol. Pura ini berlokasi di puncak bukit yang tidak terlalu tinggi di pinggir pantai. Pura ini pun selama ini diyakini memiliki mercuasiar gaib, dan ditafsir sebagai tempat untuk memantau musuh.


Untuk menuju ke lokasi pura, kurang lebih membutuhkan waktu 2 jam dari pusat Kota Singaraja, Buleleng. Jalan menuju pura terletak di kanan jalan bila dari arah Singaraja. Tepat disebelah Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan (BBRBLPP), yang terdapat jalan kecil menuju ke utara. Sepanjang jalan tersebut akan disuguhi pemandangan pantai dengan hamparan pasir putih. Tak jauh dari sana, tampak sebuah bukit layaknya pulau kecil yang tak berpenghuni. Disanalah lokasi Pura Gunung Gondol.


Setibanya di areal pura, dengan didampingi Pemangku Pura Gunung Gondol, pertama akan menjumpai Palinggih Gusti Bagus yang masih terbuat dari turus lumbung. Kemudian Palinggih Ganesha yang masih berbentuk seonggok batu. Naik lagi akan bertemu Palinggih Mekele Gede, Bhatara Semar, Palinggih Raja Merana (hama), Ratu Niang Lingsir. Kemudian tepat ditepian jalan melingkar akan ada Palinggih Bunda Ratu sebagai penguasa laut. Sebelah selatannya ada Palinggih Bunda Dewi Kwan In, lalu Palinggih Ulo Ratu.




Sampailah pada utama mandala. Disana terdapat Palinggih Surya, Taksu, dan Peraneman. Uniknya disana terdapat pula sebuah tugu yang dibalut kain merah putih. Di depannya terdapat dua buah tiang bendera legkap dengan bendera merah putih dan tergantung foto Soekarno. Konon tugu itu adalah tiang pemantau yang digunakan untuk memantau musuh yang datang dari arah laut. Ternyata tugu yang ditafsir terbuat dari tembaga itu adalah mercusuar. Sebab sewatu-waktu dapat mengeluarkan sinar.

Sembari duduk diatas bebatuan yang ada disekitar pura, Jro Mangku Nyoman Masjana yang akrab disapa Jro Jengki ini bercerita awal mula ia ngayah di Pura Gunung Gondol. Sebelumnya ia adalah seorang pengelana. Hidup bebas dari satu tempat ke tempat yang lain. Hidup sesuka hati yang kerjanya hanya foya-foya. Sampai akhirnya ia mendengar bisikan-bisikan yang memintanya untuk mengabdikan diri di suatu tempat. Ia pun kembali ke Bali pada tahun 2010. Sejak saat itu ia mulai sering mendengar panggilan-panggilan yang entah dari mana asalnya. “Baru kembali tahun 2010 dari Tarakan. Sebenarnya sudah ada pelinggih. Ada tiga. Tapi masih gunung. Tidak terurus. Saat di Tarakan, saya mendengar suara. Saya diminta untuk ngayah. Suara itu seperti suara komandan perang. Saya hanya mendengar suara saja, tidak pernah melihat wujud. Suaranya sangat jelas,” tuturnya sembari menghisap sebatang rokok kretek.

Paggilan itupun tidak sekali dua kali ia dengar. Panggilan itu selalu mengikutinya hingga ia memutuskan untuk mencari sumber suara tersebut. Jro Jengki pun sempat menginap atau mekemit di beberapa pura untuk memohon petunjuk agar menemukan sumber suara yang memanggilnya, meminta ia untuk ngayah. “Karena suara itu terus memanggil saya, saya selalu mencari. Suaranya jauh sekali diawang-awang, tapi jelas. Dan memanggil saya. Saya sampai mencari ke Bunut Bolong, Uluwatu, Besakih, dan masih banyak lagi. Sampai akhirnya saya putus asa dan tidak peduli lagi. Ini paling telinga saya saja yang rusak. Salah dengar atau yang lainnya,” jelasnya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Karena merasa hal tersebut hanya mimpi dan halusinasi, Jro Jengki tidak lagi mencari sumber suara itu. Meskipun ia tetap mendengar suara tersebut, namun ia tetap acuh. Sampai suatu ketika ia penasaran dengan keramaian yang ada di Bukit Gondol saat ia berjalan-jalan di pantai. “Suatu ketika saya berjalan di pantai, saya melihat ada banyak orang di Gunung Gondol. Ternyata ada yang membangun wantilan. Saya naik kesana, tiba-tiba saya mendengar suara itu lagi. Saat itu saya kaget. Ternyata asal suara itu dari sini. Dan kedatangan saya sudah ditunggu. Tidak ada yang mendengar. Hanya saya. Orang-orang tidak ada yang percaya sampai saya dikira gila. Saat itu pula saya langsung menyanggupi untuk ngayah di tempat ini sampai nafas terakhir saya,” kata dia.

Setelah menyanggupi tugas yang diberikan untuk ngayah di tempat tersebut, ia lalu pulang mengabari keluarganya. Ia menyampaikan kepada keluarga bahwa ia telah berjanji untuk mengabdi menjadi pemangku di pura tersebut. Sejak saat itu pula ia telah terikat dengan Pura Gunung Gondol. “Saya juga bilang ke keluarga, mulai saat itu saya akan ngayah di Gunung Gondol. Anggap saya tidak ada. Saya tidak akan memberikan nafkah lahir bathin. Saya bilang kepada istri saya juga, jika ingin menikah lagi, saya persilahkan. Karena saya berjanji seluruh hidup saya, saya gunakan untuk ngayah di tempat ini. Saya akan lakukan tugas saya sampai akhir. Karena panggilan ini dari tahun 1995 sudah saya dengar,” lanjutnya.

Ketika mulai ngayah dan mengabdikan diri, Jro Jengki selalu berada di lokasi pura untuk menata tempat itu. Berhari-hari ia tidak pulang. Untuk bertahan hidup, Jro Jengki hanya memakan buah yang ada di Bukit Gondol. Saat berada disana untuk bersih-bersih, Jro Jengki mendengar suara yang memerintahkannya untuk mengambil sesuatu diantara bebatuan. Ternyata disana terdapat gambar Bung Karno yang terbuat dari tembaga. “Saat saya berada disini, saya tidak makan. Saya makan buah-buahan yang ada disini saja. Kebetulan ada bekul. Saya makan itu saja. Supaya saya kenyang saja. Tiba-tiba saya mendengar suara yang sama dengan perintah mengambil seseuatu dibagian bawah batu. Saya ikuti ternyata ada gambar Bung Karno dari tembaga seberat setengah kilogram. Ada tiga itu. Aslinya ada di rumah saya. Saat saya temukan, saya lapor ke aparat desa dan kepolisian. Saya takut karena ini benda purbakala, nanti saya dikira mencuri. Saat ini saya simpan di rumah,” ujarnya.


Pengerjaan pura terus dilakukan, penataan tempat maupun taman. Setelah beberapa lama, muncul sinar terang berwarna hijau. Jro Jengki menyaksikan sendiri cahaya tersebut. Ia pun mencari sumber cahaya itu. Ditengah perjalanan ia bertemu dengan warga yang juga melihat sinar itu. Ia menyampaikan kepda Jro Jengki bahwa sinar itu berasal dari bukit. Jro Jengki bergegas ke bukit ingin membuktikan kemunculan sinar itu. “Muncul sinar palang X berwarna hijau saat kajeng kliwon. Dari kejauhan saya lihat dari atas Gunung Gondol ini. Setelah saya cari kesini sinarnya jauh diatas. Lagi saya turun untuk memastikan, adanya disini. Lalu lagi saya naik, lagi sinar itu jauh diatas. Saya penasaran, saya tungguin. Saya semedi disini, lalu diberi petunjuk. Ternyata sinar itu muncul dari sebuah patok tembaga lebih dari satu meter tertancap di depan pura,” bebernya.

Menurut Jro Jengki, kemunculan sinar itu tidak sekali dua kali saja. Setelah kemunculan sinar hijau yang pertama, ia pun menyaksikan kembali kemunculan sinar berikutnya. “Setelah saya amati, beberapa hari kemudian muncul lagi sinar berwarna hijau dan merah. Sinar itu layaknya mercusuar ditengah laut. Tapi yang dilihat mata kita, manusia ya ini, patok ini. Keluarnya dari sini,” tegasnya.


Pura Tegal Penangsaran Dijaga Dadong Jagal, Tempat Adili Roh






PALINGGIH: Deretan palinggih Pura Tegal Penangsaran di Desa Tukadmungga, Buleleng, diyakini sebagai tempat mengadili roh. (Dian Suryantini/Bali Express)

BULELENG, BALI EXPRESS-Pura Tegal Penangsaran tak hanya ada di Pura Dalem Puri Besakih, Karangasem. Namun, juga ada di Desa Tukadmungga, Buleleng. Seperti diceritakan, Pura Tegal Penangsaran diyakini menjadi tempat para roh dihakimi dan yang belum diupacarai Pitra Yadnya.


Di tempat inilah para roh ditentukan, apakah menuju tempat yang baik ataukah buruk. Dan, keputusannya disesuaikan dengan perbuatannya semasa hidup di dunia.


Pura Tegal Penangsaran di Desa Tukadmungga, Buleleng, yabg piodalannya jatuh saat Purwani Tilem Kapitu atau Siwaratri ini, juga diyakini sebagai tempat penghakiman bagi para roh.


Menurut cerita terdahulu dari tetua di desa tersebut, sebelum palinggih dibangun di pura ini, areal itu hanya terdapat satu Pohon Bunga Menori Putih yang tumbuh di sebuah tanah lapang di Desa Tukadmungga.

Tanah tersebut tidak berbentuk persegi seperti lahan kosong pada umumnya, namun berbentuk segitiga sempurna.

Kemudian, masih menurut cerita, konon karena warga sekitar tidak mengetahui tempat tersebut angker, ada salah satu warga yang mencabut Pohon Menori tersebut, dan ditanam di rumahnya.

Tidak berapa lama, warga tersebut pun dibayang-bayangi makhluk gaib. Dia juga selalu diteror dan diminta untuk mengembalikan benda yang diambil dari tanah lapang tersebut. Benda yang dimaksud adalah Pohon Menori itu.

Selain dibayang-bayangi makhluk gaib, kejadian aneh juga dirasakan warga itu. Seperti ketika usai memasak, nasi yang yang telah matang tiba-tiba habis bersama lauk-pauknya. Padahal, warga itu belum sempat menikmati masakannya.

Akhirnya warga tersebut mengembalikan dan menanam kembali Pohon Menori di tempat semula, sembari menghaturkan Guru Piduka. Saat itulah terkuak jika tanah lapang berbentuk segitiga itu merupakan tempat berkumpulnya para roh yang akan diadili Sang Jogormanik.

Kejadian lain juga terjadi saat akan dilakukan pembangunan untuk mendirikan pura tersebut. Pohon Kamboja besar yang ada di tanah lapang itu dicabut dan dijual ke salah satu pemilik vila. 

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Setelah itu, si penjual tidak pernah merasakan tidur dengan tenang. Setiap malam terbangun dan mendengar suara agar mengembalikan Pohon Kamboja itu ke tempatnya.

Kejadian itu terjadi berulang kali, hingga akhirnya penjual pohon tersebut tidak tahan, dan mengembalikan Pohon Kamboja itu dan menanamnya kembali di tempat semula. Kini posisi Pohon Kamboja tersebut terletak di dalam area pura sebelah kanan pintu masuk.

Pangliman Desa Adat Tukadmungga, Gede Parca, menceritakan, seiring berjalannya waktu, warga setempat membangun sebuah palinggih sebagai tempat berstananya Sang Dewa Bagus sebagai ganti Pohon Menori itu. Serta medirikan palinggih sebagai tempat berstananya Ratu Niang.

“Sebelumnya banyak warga yang melihat hal-hal aneh di sekitar tempat itu saat belum dibangun pura seperti sekarang. Dari sana muncul inisiatif warga untuk membuatkan palinggih, " paparnya.

Awalnya, lanjut Gede Parca, cuma ada satu palinggih yang dibangun, yakni Palinggih Dewa Bagus. "Kemudian setelah beberapa lama atau sekitar tahun 1999-2000, baru dibangun lagi palinggih lainnya. Seperti palinggih Ratu Niang. Warga disini sering menyebutnya sebagai Dadong Jagal. Serta dibangun pula palinggih yang lain,” ungkapnya.

Dituturkan pula, Dadong Jagal yang berstana di Pura Tegal Penangsaran bersama Dewa Bagus adalah salah satu hakim untuk mengadili para roh yang belum diupacarai Pitra Yadnya.

Dadong Jagal atau Ratu Niang ini dibantu Sang Jogormanik untuk menentukan hukuman yang pantas bagi roh-roh tersebut.

“Beliaulah penentunya roh-roh itu mau masuk tempat yang baik atau tidak. Beliau yang menentukan jalan kita sesuai karma kita. Jika semasa hidupnya suka mencuri misalnya, maka hukumannya akan disesuaikan. Layaknya hidup di keduniawian, jika mencuri hukuman penjara 7 tahun misalnya, maka di alam baka beda lagi urusanya, mungkin lebih kejam lagi,” tutur Anak Agung Ngurah Dwipa dari PHDI Desa Adat Tukadmungga, akhir pekan kemarin.




Agung Ngurah juga menyebutkan, dalam lontar Atmaprasangga dijelaskan, Tegal Penangsaran ini disediakan bagi atma yang penuh dosa, karena perbuatannya selalu membuat orang lain sengsara atau panas hati.

“Seperti yang saya jelaskan tadi, ini semua sudah diatur. Dalam lontar juga sudah disebutkan seperti itu. Jadi, perbuatan di masa hidup saat bahagia melihat orang susah dan kerap membuat orang susah, maka akan dibayar dan dirasakan sendiri saat penghakiman nanti,” tambahnya.

(bx/dhi/rin/JPR)

Sabtu, 23 Desember 2023

Etika Dalam Mempelajari Yoga Menurut Agama Hindu

Secara umum, konsep etika dalam yoga termasuk dalam latihan yama dan niyama, yaitu disiplin moral dan disiplin diri. Aturan-aturan yang ada dalam yama dan niyama, juga berfungsi sebagai kontrol sosial dalam mengatur moral manusia. Dalam buku Tattwa Darsana, dijelaskan bahwa etika dalam yoga adalah; dalam samadhi, seorang yogi memasuki ketenangan tertinggi yang tidak tersentuh oleh suara yang tak henti-hentinya, yang berasal dari luar dan pikiran kehilangan fungsinya, di mana indra-indra terserap ke dalam pikiran. Apabila semua perubahan pikiran terkendalikan, si pengamat atau purusa, terhenti dalam dirinya sendiri. Keadaan semacam ini di dalam yoga sutra patanjali disebut sebagai svarupa avasthanam (kedudukan dalam diri seseorang yang sesungguhnya), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:21).

Baca: Sang Hyang Widhi (Tuhan) dalam Ajaran Yoga dan Contoh Praktik Sikap-sikap Yoga




image: st_sdk_basangbe
Dalam filsafat yoga dijelaskan bahwa yoga berarti penghentian kegoncangan-kegoncangan pikiran. Ada lima keadaan pikiran itu. Keadaan pikiran itu ditentukan oleh intensitas sathwa, rajas dan tamas. Kelima keadaan pikiran itu adalah sebagaimana tertera dalam uraian berikut.

Ksipta artinya tidak diam-diam. Dalam keadaan pikiran itu diombang-ambingkan oleh rajas dan tamas, dan ditarik-tarik oleh objek indria dan sarana-sarana untuk mencapainya, pikiran melompat-lompat dari satu objek ke objek yang lain tanpa terhenti pada satu objek.
Mudha artinya lamban dan malas. Gerak lamban dan malas ini disebabkan oleh pengaruh tamas yang menguasai alam pikiran. Akibatnya orang yang alam pikirannya demikian cenderung bodoh, senang tidur dan sebagainya.


Wiksipta artinya bingung, kacau. Hal ini disebabkan oleh pengaruh rajas. Karena pengaruh ini, pikiran mampu mewujudkan semua objek dan mengarahkannya pada kebajikan, pengetahuan, dan sebagainya. Ini merupakan tahap pemusatan pikiran pada suatu objek, namun sifatnya sementara, sebab akan disusul lagi oleh kekuatan pikiran.
Ekarga artinya terpusat. Di sini, citta terhapus dari cemarnya rajas sehingga sattva lah yang menguasai pikiran. Ini merupakan awal pemusatan pikiran pada suatu objek yang memungkinkan ia mengetahui alamnya yang sejati sebagai persiapan untuk menghentikan perubahan-perubahan pikiran.
Niruddha artinya terkendali. Dalam tahap ini, berhentilah semua kegiatan pikiran, hanya ketenanganlah yang ada. Ekagra dan niruddha merupakan persiapan dan bantuan untuk mencapai tujuan akhir, yaitu kelepasan. Bila ekagra dapat berlangsung terus menerus, maka disebut samprajna-yoga atau meditasi yang dalam, yang padanya ada perenungan kesadaran akan suatu objek yang terang. Tingkatan niruddha juga disebut asaniprajnata-yoga, karena semua perubahan dan kegoncangan pikiran terhenti, tiada satu pun diketahui oleh pikiran lagi. Dalam keadaan demikian, tidak ada riak-riak gelombang kecil sekali pun dalam permukaan alam pikiran atau citta itu. Inilah yang dinamakan orang samadhi yoga.
Ada empat macam samparjnana yoga menurut jenis objek renungannya. Keempat jenis itu adalah sebagai berikut. a) Sawitarka ialah apabila pikiran dipusatkan pada suatu objek benda kasar seperti arca dewa atau dewi. b) Sawicara ialah bila pikiran dipusatkan pada objek yang halus yang tidak nyata seperti tanmantra. c) Sananda, ialah bila pikiran dipusatkan pada suatu objek yang halus seperti rasa indriya dan. d) Sasmita, ialah bila pikiran dipusatkan pada asmita, yaitu anasir rasa aku yang biasanya roh menyamakan dirinya dengan ini, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:22).

Dengan tahapan-tahapan pemusatan pikiran seperti yang disebut di atas maka ia akan mengalami bermacam-macam fenomena alam, objek dengan atau tanpa jasmani yang meninggalkannya satu per satu hingga akhirnya citta meninggalkannya sama sekali dan seseorang mencapai tingkat asamprajnata dalam yoganya. Untuk mencapai tingkat ini orang harus melaksanakan praktik yoga dengan cermat dan dalam waktu yang lama melalui tahap-tahap yang disebut Astāngga yoga.



Berikut ini adalah sistematika Astāngga yoga dalam bentuk diagram.

Baca: Pengertian dan Hakikat Yoga menurut Agama Hindu





Renungan Bhagavad Gita. III.4


"Na karmaṇām anārambhān naiṣkarmyaṁ puruṣo ’ṡnute, na ca saṁnyasanād eva siddhiṁ samadhigacchati”.

Terjemahan:



RELATED:
Veda sebagai Sumber Hukum Hindu
Glosarium Materi Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas V
Pahala Bagi Anak-anak yang Berbhakti Kepada Orang Tua Menurut Perspektif Hindu"Tanpa kerja orang tak akan mencapai kebebasan, demikian juga ia tak akan mencapai kesempurnaan karena menghindari kegiatan kerja”.


Baca: Mengenal dan Manfaat Ajaran Yoga Dalam Agama Hindu


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2019/01/etika-dalam-mempelajari-yoga-menurut.html




Mudana dan Ngurah Dwaja. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti : Buku Siswa / Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. -- Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014.vi, 190 hlm.; 25 cm
Untuk SMA/SMK Kelas XI
Kontributor Naskah : I Nengah Mudana dan I Gusti Ngurah Dwaja.
Penelaah : I Wayan Paramartha. – I Made Sutrisna.
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud
Cetakan Ke-1, 2014

Piodalan Bisa Mengacu dengan Dua Sistem Waktu

 






SISTEM : Piodalan yang digelar umat Hindu di Bali, tergantung sistem waktu yang dipilih. (dok)





DENPASAR, BALI EXPRESS-Piodalan secara etimologi, dapat diartikan sebagai hari lahir atau peringatan kelahiran sebuah pura. Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, Piodalan dapat dilakukan dengan dua sistem kalender. Yakni sistem Pawukon (wuku) dan sistem Sasih.


Untuk sistem wuku, pelaksanaan Piodalan dilaksanakan setiap enam bulan sekali atau 210 hari sekali. Karena sistem pawukon ini ditentukan oleh putaran hari yang terdiri dari tujuh hari, dan putaran wuku yang terdiri dari 30 wuku.





“Dalam konsep Balinya dikenal dengan istilah wewaran, yang terdiri dari putaran hari, putaran wuku dan putaran wewaran lainnya, seperti Tri Wara, Ingkel dan Sapta Wara,” paparnya, kemarin.


Selanjutnya adalah Piodalan yang menggunakan sistem sasih. Piodalan ini tidak akan tergantung pada perputaran wuku seperti Piodalan pada sistem pawukon. Selain itu, rentang waktu dari pelaksanaan Piodalan dengan sistem Sasih ini tidak jatuh setiap enam bulan sekali, tetapi setiap satu tahun sekali.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Untuk proses penghitungannya pun, lanjut Ida Rsi, memiliki perbedaan dengan sistem Pawukon. Pada sistem Sasih, perhitungan piodalan tidak tergantung pada hari, tetapi berpatokan pada sistem pengalihan, karena dalam penghitungan Sasih tersebut berpatokan pada sistem Pananggal dan Panglong.

Adapun yang disebut dengan Pananggal adalah hitungan tanggal 1 atau pananggal ping pisan menuju hari Purnama. Sedangkan Panglong adalah hitungan tanggal 1 atau Panglong pisan menuju Tilem (bulan mati). “Digunakannya tegak odalan menurut Sasih ini biasanya untuk menghindari terjadinya perubahan iklim dan cuaca. Sehingga pelaksanaan Piodalan bisa jatuh pada musim yang menguntungkan,” tambahnya.

Jika menggunakan hitungan Sasih ini, umat Hindu pada zaman dahulu, biasanya menetapkan Piodalan pada saat Purnamaning Sasih (purnama yang jatuh pada sasih atau bulan tertentu). Seperti pada Purnamaning Sasih Kapat (purnama pada sasih atau bulan keempat), Purnamaning Sasih Kalima, Purnamaning Sasih Kadasa, dan Purnamaning Sasih Jyesta.

Penetapan ini dilakukan karena pada sasih-sasih tersebut, pola musim di Bali tidak masuk pada musim penghujan. Sehingga pelaksanaan piodalan tidak terganggu cuaca dan didukung sinar bulan yang terang. Karena bertepatan dengan bulan Purnama.



(bx/gek/rin/JPR)