Sabtu, 13 Januari 2024

Tattwa PURUSA-PREDANA Dalam Olahan Lawar Bali.

 



Dalam olahan lawar Bali, terkandung enam rasa yang disebut dengan “sad rasa”. 6 rasa ini keluar dari kekuatan panca tan matra yang telah bersemayam di alam semesta, yaitu ganda tan matra, sparsa tan matra, sabda tan matra, rupa tan matra, dan rasa tan matra.
.
Dari rasa tan matra inilah memunculkan sumber rasa ketuka (pedas), tikta (pahit), kesaya (sepet), madhura (manis), lawana (asin), dan amla (asam).
.
Dari sari-sari sad rasa inilah menjadi kekuatan kehidupan di dunia, kalau berada pada laki-laki menjadilah kekuatan “sukla” (spermatozoa) dan kalau berada pada wanita menjadi kekuatan “swanita” (sel telur), demikian juga pada makhluk lainnya sehingga hal ini memunculkan birahi.
.
Apabila sukla bertemu dengan swanita maka terjadilah kekuatan penciptaan kehidupan, merupakan kekuatan lingga dan yoni, dan bila keduanya menyatu maka akan melahirkan kekuatan-kekuatan yang baru.

.
Sehingga boleh dikatakan, bahwa rasa olahan dalam lontar Dharma Caruban sebagai dharmaning paebatan (ketentuan wajib mengolah makanan) mengandung makna dan sebagai simbol kekuatan purusa (lingga) dan kekuatan prakerti (yoni).
.
Bilamana kedua kekuatan ini menyatu maka akan menciptakan kekuatan pelindung (bhatara).
Sumber: IB. Purwa Sidemen, S.Ag., M.Si, dalam denpasarinstitute.com


Jumat, 12 Januari 2024

Memahami Makna Ongkara









Ongkara=Omkara adalah Simbol Suci dalam Agama Hindu. Di dalam Upanisad ongkara atau omkara disebut Niyasa artinya alat bantu agar konsentrasi kita menuju kepada Hyang Widhi, serta pemuja mendapat vibrasi kesucian Hyang Widhi. Niyasa atau sarana yang lain misalnya banten, pelinggih, kober, dll.
Sebagai simbol suci Niyasa sudah sepantasnya digunakan atau diletakkan pada tempat yang wajar karena disucikan. Pada beberapa kasus di Bali simbol-simbol Hindu pernah digunakan tidak pada tempatnya misal: penggunaan canang sari dengan bola golf diatasnya pada fotosebuah iklan, penggunaan simbol ongkara pada bagian-bagian tubuh yang tidak sepantasnya dll.

Perlakuan pada niyasa-niyasa/Simbol Suci yang tidak wajar mungkin karena faktor ketidaktahuan (awidya) atau memang sengaja (rajasika). Mengapa salah satu niyasa berbentuk ongkara/Omkara, karena gambar itulah yang dilihat dalam jnana para Maha Rsi penerima wahyu Hyang Widhi, yang kemudian diajarkan kepada kita turun temurun.

Ongkara di Bali terdiri dari 5 Jenis: Ongkara Gni, Ongkara Sabdha, Ongkara Mrta, Ongkara Pasah dan Ongkara Adu-muka. Penggunaan berbagai jenis Ongkara ini dalam rerajahan sarana upakara pada upacara Panca Yadnya dimaksudkan untuk mendapat kekuatan magis yang dibutuhkan dalam melancarkan serta mencapai tujuan upacara.
Ongkara Gni

Ongkara Gni
Ongkara Sabdha

Ongkara Sabdha
Ongkara Mrta

Ongkara Mrta
Ongkara Pasah

Ongkara Pasah
Ongkara Adumuka

Ongkara Adumuka
Unsur-unsur Ongkara ada 5 yaitu:Nada,
Windu,
Arda Candra,
Angka telu (versi Bali),
Tarung.
Semuanya melambangkan Panca Mahabutha, unsur-unsur sakti Hyang Widhi, yaitu: Nada = Bayu, angin, bintang; Windu = Teja, api, surya/ matahari; Arda Candra = Apah, air, bulan; Angka telu = Akasa, langit, ether; Tarung = Pertiwi, bumi, tanah.

Unsur-unsur Ongkara
Unsur-unsur Panca Mahabutha di alam raya itu dinamakan Bhuwana Agung. Panca Mahabutha ada juga dalam tubuh manusia:Daging dan tulang adalah unsur Pertiwi
Darah, air seni, air kelenjar (ludah, dll) adalah unsur Apah
Panas badan dan sinar mata adalah unsur Teja
Paru-paru adalah unsur Bayu
Urat syaraf, rambut, kuku, dan 9 buah lobang dalam tubuh: 2 lobang telinga, 2 lobang mata, 2 lobang hidung, 1 lobang mulut, 1 lobang dubur, dan 1 lobang kelamin, adalah unsur Akasa.


Unsur-unsur Panca Mahabutha dalam tubuh manusia disebut sebagai Bhuwana Alit. Dalam kaitan inilah upacara Pitra Yadnya dilakukan ketika manusia meninggal dunia di mana dengan upacara ngaben (ngapen=ngapiin), unsur-unsur Panca Mahabutha dalam tubuh manusia (Bhuwana Alit) dikembalikan/ disatukan ke Panca Mahabutha di alam semesta (Bhuwana Agung).
Kesimpulan: Simbol Ongkara adalah simbol ke Maha Kuasaan Hyang Widhi.
Simbol Ongkara di Bali pertama kali dikembangkan oleh Maha-Rsi: Ida Bhatara Mpu Kuturan sekitar abad ke11 M, ditulis dalam naskah beliau yang bernama “Tutur Kuturan”
Ongkara Untuk Menuju Sat(Yang Tak Berwujud)

Ongkara Simbol Suci
Seperti penjelasan diatas Ongkara merupakan simbol suci untuk mempermudahkan umat manusia untuk menuju Tuhan, SAT(yang tak berwujud) Dari Ongkara muncullah Dwi Aksara yaitu Ang dan Ah. Dwi Aksara juga adalah perlambang Rwabhineda (Dualitas), Ang adalah Purusa (Bapa Akasha) dan Ah adalah Prakerti (Ibu Prtivi).
Pada tahapan berikutnya, dari Dwi Aksara ini muncullah Tri Aksara, yaitu Ang, Ung dan Mang. Dari banyak sumber pustaka, dikatakan bahwa AUM inilah yang mengawali sehingga muncullah OM. (Apakah ini petunjuk bahwa ONG itu lebih dulu/tua daripada OM?)
Pada tahapan berikutnya, dari Tri Aksara muncullah Panca Aksara, yaitu SANG, BANG, TANG, ANG, dan ING. Dari Panca Aksara kemudian muncullah Dasa Aksara, yaitu SANG, BANG, TANG, ANG, ING, NANG, MANG, SING, WANG, dan YANG.
Pada arah mata angin, Dasa Aksara terletak berurutan dari Timur = SANG, Selatan = BANG, Barat = TANG, Utara = ANG, dan tengah-tengah/poros/pusat = ING, kemudian Tenggara = Nang, Barat Daya = Mang, Barat Laut = SING, Timur Laut = WANG dan tengah-tengah/poros/pusat = YANG. Ada dua aksara yang menumpuk di tengah-tengah, yaitu ING dan YANG. (Apakah ini asal muasal YING dan YANG?)
Tapak Dara (+) adalah simbol penyatuan Rwabhineda (Dualitas), (|) dan segitiga yang puncaknya ke atas, mewakili Purusa/Bapa Akasha/Maskulin/Al/El/God/Phallus. Sedangkan (-) dan segitiga yang puncaknya ke bawah mewakili Prakerti/Ibu Prtivi/Feminim/Aloah/Eloah/Goddess/Uterus.
Hanya dengan melampaui Rwabhineda (dualitas), menyatukan/melihat dalam satu kesatuan yang utuh/keuTUHAN, maka pintu gerbang menuju Sat akan ditemukan. KeuTUHAN disini, bukan menjadikan satu, namun merangkum semuanya, menemukan intisari dari semua perbedaan yang ada tanpa menghilangkan atau menghapus perbedaan yang ada. Bukan juga merangkul semuanya dalam satu sistem tertentu, bukan juga untuk satu agama tertentu, tapi temukan dan kumpulkanlah semua serpihan kebenaran yang ada di setiap perbedaan yang membungkusnya. Inilah BHINEKA TUNGGAL IKA TAN HANNA DHARMA MANGRWA.
Sumber : Paduarsana

Sejarah Tari Legong di Bali




Tari Legong dalam khasanah budaya Bali termasuk ke dalam jenis tari klasik karena awal mula perkembangannya bermula dari istana kerajaan di Bali. Tarian ini dahulu hanya dapat dinikmati oleh keluarga bangsawan di lingkungan tempat tinggal mereka yaitu di dalam istana sebagai sebuah tari hiburan. Para penari yang telah didaulat menarikan tarian ini di hadapan seorang raja tentu akan merasakan suatu kesenangan yang luar biasa, karena tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam istana.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Mengenai tentang awal mula diciptakannya tari Legong di Bali adalah melalui proses yang sangat panjang. Menurut Babad Dalem Sukawati, tari Legong tercipta berdasarkan mimpi I Dewa Agung Made Karna, Raja Sukawati yang bertahta tahun 1775-1825 M. Ketika beliau melakukan tapa di Pura YoganAgung desa Ketewel ( wilayah Sukawati ), beliau bermimpi melihat bidadari sedang menari di surga. Mereka menari dengan menggunakan hiasan kepala yang terbuat dari emas.

Ketika beliau sadar dari semedinya, segeralah beliau menitahkan Bendesa Ketewel untuk membuat beberapa topeng yang wajahnya tampak dalam mimpi beliau ketika melakukan semedi di Pura Jogan Agung dan memerintahkan pula agar membuatkan tarian yang mirip dengan mimpinya. Akhirnya Bendesa Ketewel pun mampu menyelesaikan sembilan buah topeng sakral sesuai permintaan I Dewa Agung Made Karna. Pertunjukan tari Sang Hyang Legong pun dapat dipentaskan di Pura Jogan Agung oleh dua orang penari perempuan.

Tak lama setelah tari Sang Hyang Legong tercipta, sebuah grup pertunjukan tari Nandir dari Blahbatuh yang dipimpin I Gusti Ngurah Jelantik melakukan sebuah pementasan yang disaksikan Raja I Dewa Agung Manggis, Raja Gianyar kala itu. Beliau sangat tertarik dengan tarian yang memiliki gaya yang mirip dengan tari Sang Hyang Legong ini, seraya menitahkan dua orang seniman dari Sukawati untuk menata kembali dengan mempergunakan dua orang penari wanita sebagai penarinya. Sejak itulah tercipta tari Legong klasik yang kita saksikan sekarang ini.

-
Bila ditinjau dari akar katanya, Legong berasal dari kata “ leg “ yang berarti luwes atau elastis dan kata “gong” yang berarti gamelan. Kedua akar kata tersebut bila digabungkan akan berarti gerakan yang sangat diikat ( terutama aksentuasinya ) oleh gamelan yang mengiringinya (Dibia, 1999:37).

Sebagai sebuah tari klasik, tari Legong sangat mengedepankan unsur artistik yang tinggi, gerakan yang sangat dinamis, simetris dan teratur. Penarinya pun adalah orang-orang yang berasal dari luar istana yang merupakan penari pilihan oleh raja ketika itu. Maka, tidaklah mengherankan jika para penari merasakan kebanggaan yang luar biasa jika menarikan tari Legong di istana. Begitu pula sang pencipta tari. Akan menjadi suatu kehormatan besar apabila dipercaya untuk menciptakan suatu tarian oleh seorang pengusa jaman itu. Walaupun nama mereka tidak pernah disebutkan mencipta suatu tarian kepada khalayak ramai, mereka tidak mempersoalkan itu asalkan didaulat mencipta berdasarkan hati yang tulus dan penuh rasa persembahan kepada sang raja. Ini dapat dilihat dari hampir seluruh tari-tari klasik maupun tari tradisi lain yang berkembang di luar istana seperti tari Legong, Baris, Jauk dan Topeng.

Kini di jaman yang tidak lagi menganut paham feodalisme, keseian Legong telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dari segi kuantitas maupun kualitas. Disebutkan bahwa tari Legong Keraton ( karena berkembang di istana ) keluar dari lingkungan istana pada awal abad ke-19. Para penari wanita yang dahulunya berlatih dan menari Legong di istana kini kembali ke desa masing-masing untuk mengajarkan jenis tarian ini kepada masyarakat. Sebagaimana diketahui, orang Bali adalah orang yang sangat kreatif sehingga gaya tari masing-masing pun sedikit berbeda sesuai dengan kemampuan membawakannya. Oleh karena itu, timbul style-style Palegongan yang tersebar di berbagai daerah seperti di desa Saba, Peliatan, Bedulu, Binoh, Kelandis dan beberapa tempat lainnya. Dari sekian daerah perkembangan tari Legong, hanya desa Saba dan Peliatan yang masih kuat mempertahankan ciri khasnya dan mampu melahirkan jenis-jenis tari Palegongan dengan berbagai nama.

Tari-tari legong yang ada di Bali pada awalnya diiringi oleh gamelan yang disebut Gamelan Pelegongan. Perangkat gamelan ini terdiri dari dua pasang gender rambat, gangsa jongkok, sebuah gong, kemong, kempluk, klenang, sepasang kendang krumpungan, suling, rebab, jublag, jegog, gentorang. Sebagai tambahan, terdapat seorang juru tandak untuk mempertegas karakter maupun sebagai narrator cerita melalui tembang. Namun, seiring populernya gamelan gong kebyar di Bali, akhirnya tari-tari palegongan ini pun bisa diiringi oleh gamelan Gong Kebyar, karena tingkat fleksibilitasnya.

Kiriman: Ida Bagus Gede Surya Peradantha, SSn., Alumni ISI Denpasar
Sumber : isi-dps.ac.id dan cakepane.blogspot.com

Rabu, 10 Januari 2024

YAMARAJA

 



BILA SUDAH MENERIMA 4 WA DARI YAMARAJA, TANDA MENUNGGU JEMPUTAN LANGSUNG DARI YAMARAJA

Seorang pria bernama Amrita, yang hidup di bumi, berpikir bahwa satu-satunya hal yang paling dia takuti adalah kematian.
Untuk menghindari kematian, Amrita mempraktikkan pertapaan dan memusatkan pikirannya pada Dewa Yama, Penguasa Kematian.
Dewa Yama senang dan memberikan visi kepada Amrita.
Dewa Yama berkata: “KehadiranKu hanya tersedia bagi mereka yang akan meninggal atau sudah meninggal. Namun aku memberimu visiku saat kamu masih hidup, senang dengan penebusan dosamu”.
Amrita berkata: “Saya meminta bantuan Anda. Jika kematian tidak dapat dihindari, saya mohon jika saya akan meninggal, maka paling tidak kirimkanlah surat kepada saya sebelum kematian agar saya dapat memenuhi kebutuhan keluarga saya sebelum keberangkatan dan juga mempersiapkan diri untuk kehidupan berikutnya dengan sadhana yang benar dan pemujaan kepada Tuhan ”
Dewa Yama berkata, “Tentu, saya pasti akan melakukan ini. Tapi segera setelah Anda menerima pesannya, silakan mulai melakukan persiapan.”, dan dia menghilang.
Bertahun-tahun berlalu setelah ini. Rambut Amrita perlahan-lahan mulai memutih, namun ia menjalani kehidupan yang penuh dengan aktivitas berdosa tanpa memikirkan rasa takut akan kematian.
Dia senang karena sejauh ini belum ada surat dari Penguasa Kematian yang datang. Beberapa Waisnawa mendekatinya dan menasihatinya untuk melakukan bhakti. Dia tidak mengindahkan instruksi mereka karena dia pikir masih banyak waktu yang tersisa.
Beberapa tahun lagi berlalu. Pada saat ini Amrita telah kehilangan sebagian besar giginya dan para pengikutnya datang lagi untuk memperingatkan dia tentang kematiannya yang akan segera terjadi . Tetap saja ia tidak ambil pusing karena belum ada surat yang datang dari temannya Yama.
Seiring berlalunya waktu, penglihatan Amrita menjadi semakin redup. Namun ia melanjutkan kehidupan sensualnya berterima kasih kepada temannya Yamaraj karena tidak mengirimkan surat apapun sejauh ini.
Beberapa tahun lagi berlalu.
Amrita sekarang sudah sangat tua dan dengan punggung membungkuk ke depan, dia tidak bisa berjalan tanpa dukungan tongkat. Kulitnya keriput . Suatu hari dia menderita stroke dan menjadi lumpuh. Kata orang, kondisinya sangat kritis.
Namun Amrita masih dalam suasana hati yang bahagia, karena dia tidak menerima surat apapun dari Yamaraj.
Kemudian takdir hidupnya tiba dan Dewa Yama, dewa kematian, memasuki ruangan.
Amrita terkejut dan pikirannya diliputi rasa takut.

Yamaraj berkata, “Temanku, ayolah, kamu telah sangat menderita.
Hari ini aku datang untuk membawamu bersamaku.”
Amrita gemetar ketakutan dan berkata, “Temanku, kamu telah mengkhianatiku dengan melanggar anugerahmu. Anda belum mengirimi saya surat apa pun seperti yang Anda janjikan. Sekarang tiba-tiba kamu membawaku dari dunia ini. Kamu Penipu".
Dewa Yama berkata, “ Amrita! Anda menghabiskan seluruh hidup Anda dalam pemanjaan indra tanpa minat pada kehidupan spiritual. Lalu bagaimana kamu bisa mengetahui surat-surat yang kukirimkan kepadamu? Bukan hanya satu, tapi empat surat yang kukirimkan padamu. Tapi kamu mengabaikan semuanya.”
Amrita sangat bingung: “Empat surat yang kamu kirim? Tapi tidak ada satupun surat yang sampai padaku. Mungkin saja tukang pos/kurir lupa mengantarkannya.”.
Dewa Yama berkata, “Temanku, apakah menurutmu aku akan mengambil kertas dan pena dan menulis surat kepadamu?
Tidak, Dengan tubuhmu seperti kertas, dengan pena perubahan tubuh Aku menulis surat-suratku dan waktu adalah pembawa pesan yang menyampaikan surat-surat itu.
1) Bertahun-tahun yang lalu, rambut Anda beruban. Itu adalah surat pertamaku. Anda mengabaikannya.
2) Gigi tanggal adalah surat kedua saya.
3) Surat ketiga saya dikirimkan kepada Anda ketika penglihatan Anda gagal.
4) Pesan keempat adalah ketika tubuh Anda menjadi lumpuh.
Anda dengan nyaman mengabaikan semua surat ini. Sekarang saya datang bukan sebagai temanmu tetapi sebagai pemberi Hukum Tuhan.”, dan Yamaraj mengikatkan tali di leher Amrita dan menariknya dengan kuat.
Orang-orang di sekitar Amrita berkata, “Amrita sekarang sudah mati”.
Pesan moral dalam cerita:
Jadi ketika tubuh masih muda dan sehat dan ketika kita tidak mendapat surat apapun dari Yamaraj, kita harus memulai persiapan kita untuk menghadapi pukulan mematikannya.
Jika kita sama sekali mengabaikan surat-suratnya, maka kita berada di bawah kendalinya.
Orang yang berbeda takut terhadap hal yang berbeda dalam hidup dan objek ketakutan seseorang bukanlah objek ketakutan orang lain.
Namun secara umum, ketakutan akan kematian adalah hal yang umum terjadi pada semua orang. Beberapa orang mungkin menyombongkan diri bahwa mereka tidak takut mati.
Namun ketika mereka terkena penyakit mematikan yang melumpuhkan mereka atau dalam bahaya, ketakutan akan kematian akan terlihat jelas di mata mereka.
Tidak ada solusi material terhadap serangan Yamaraj dan hukumannya setelah kematian.
Meskipun kematian sangat berat dan tidak dapat dikalahkan, Sripada Sankaracharya, salah satu acharya agung dalam tradisi Vedantik, memberikan solusi yang sangat sederhana untuk menghindari wawancara dengan Yamaraj.
Dalam karyanya yang terkenal “Bhaja Govindam” muncul sloka berikut.
bhagavad gita kinchit adeeta / ganga jala lava kanika peetaa
sakrdapyena muraari samarca / kriyate tasya yamena sasarcaa
“Jika seseorang sedikit membaca Bhagavad Gita, mengambil sedikit setetes air Gangga dan melakukan pemujaan kepada Murari (Sri Krishna) minimal sekali dalam hidupnya, maka dia tidak harus menghadapi wawancara dengan Yamaraj.”
Dalam Bhagavata Purana (6.3.29), Yamaraj sendiri mengidentifikasi siapa saja calon hukumannya.
jihvaa na vakti bhagavad-guna-naamadheyam
cetas ca na smarati tac-caranaaravindam
krishnaya no namati yac-chira ekadapi
taan aanayadhvam asato 'krita-vishnu-krityaan
“Hamba-hambaku yang terkasih, tolong bawakan kepadaku hanya orang-orang berdosa yang tidak menggunakan lidah mereka untuk melantunkan nama suci dan sifat-sifat dari Krishna, yang hatinya tidak mengingat kaki padma Krishna satu kali pun, dan kepalanya tidak sujud sedikit pun di hadapan Sri Krishna. Kirimkan kepadaku orang-orang yang tidak melaksanakan kewajibannya terhadap Wisnu, yang merupakan satu-satunya kewajiban dalam kehidupan manusia. Tolong bawakan aku semua orang bodoh dan bajingan itu.”
Bila belum dapat surat ke 4 atau wa ke 4 masih ada waktu leha leha atau santai, kurir yamaraja masih jauh atau masih siap-siap.

kisah Maharsi Wiswamitra

 

Semesta tempat kita hidup ini mengandung semua unsur: gelap, terang, baik, buruk, frekwensi tinggi, frekwensi rendah, bhur, bwah, swah. Dengan yang mana kita terkoneksi, tergantung dari bagaimana kita, di frekwensi mana kita berada.

Manawadharmasastra V.109 mengajarkan “Adbhirgatrani suddhyanti, manah satyena suddhyanti, widya tapobhyam bratatma, buddhirjnana suddyati” (tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kejujuran, atman disucikan dengan tapa brata, budhi disucikan dengan kebijaksanaan).
Seorang maharsi bisa jatuh bangun dalam usahanya mencapai kesempurnaan tapa brata, sebagaimana kisah Maharsi Wiswamitra.

Rsi Wiswamitra dulunya adalah seorang raja, bernama Kausika. Suatu saat raja Kausika mampir ke ashram Maharsi Vasista. Disana dia menerima jamuan mewah dan karenanya dia merasa heran, darimana Rsi Vasista memperoleh makanan mewah ini, di ashram yang berada di tengah hutan belantara? Rsi Vasista memberitahu tamunya bahwa ashram memiliki seekor sapi anugerah dewata yang mampu memberikan apapun kebutuhan ashram. Raja Kausika tergoda untuk memiliki sapi itu, sehingga timbullah pertempuran karena sapi tidak bersedia dibawa ke kerajaan. Sapi itu menciptakan pasukan dimana dangan itu raja Kausika dikalahkan. Raja Kausika merasa terpukul dan meletakkan jabatan, kemudian menjadi pertapa dengan satu tujuan: mengalahkan Rsi Vasista. Dengan tapanya yang keras, ia memperoleh Brahmastra kemudian menyerang Rsi Vasista. Namun, Rsi Vasista tetap bukan tandingannya. Energi Brahmasta luluh diserap kekuatan Rsi Vasista. Raja Kausika kembali mepakukan tapa yang lebih berat, untuk memperoleh kekuatan yang lebih dahsyat. Dewa Indra lalu mencoba keteguhan tapa Kausika dengan mengirim bidadari Menaka, dan ternyata Kausika tergoda. Mereka menikah dan dari pernikahan itu lahir Sakuntala, yg kelak dipinang Raja Dusmanta, leluhur bangsa Bharata.

Kausika menyesali kegagalannya, lalu kembali bertapa dengan tekad yg lebih keras. Maka ketika Dewa Indra kembali mengirim bidadari Rhamba, Kausika tidak lagi tergoda. Ia marah atas sikap Rhamba yang menggoda tapanya, lalu mengutuknya. Namun ia segera menyadari, bahwa ia tetap gagal. Kali ini ia gagal mengendalikan amarah yg berujung kutukan. Maka ia kembali bertapa dengan tekad yg lebih kuat lagi, kali ini ia menutup seluruh indria termasuk mulutnya. Dan di ujung tapanya, Rsi Vasista datang memeluknya dan menganugerahkan gelar Brahmarsi dan Kausika berganti nama menjadi Wiswamitra. Kemarahan, dendam dan rasa persaingannya luluh, ia kini sempurna disucikan tapanya.


Demikianlah kekuatan dan di disi lain godaan tapa brata. Dan kita harus menyadari, tiap hari dalam hidup kita adalah “pertapaan”, apapun profesi kita dan dimanapun kita hidup. Dan itu adalah proses terus menerus dari satu tangga ke tangga yang lain.

Untuk memperkuat pembersihan diri, kita juga tiap hari berdoa “om pranamya bhaskara dewam, sarwa klesa winasanam”.
Kita memohon agar Dia yang maha cemerlang menghancurkan klesa atau kekotoran bathin kita.
Menurut Yoga Sutra Patanjali, ada 5 klesa yaitu: 1). Awidya, ketidaktahuan. Seperti cermin tertutup debu, demikianlah ketidaktahuan menutupi kita sehingga kita lupa akan hakikat sang diri. 2). Asmita, atau ahamkara, ego. Inilah banyak sumber masalah dunia. Merasa berjasa, merasa besar, merasa istimewa. “Aku” seolah2 menjadi pusat semesta, padahal galaksi bima sakti saja hanya setitik debu dalam semesta. 3). Raga, keterikatan akan hal2 duniawi. Mobil mewah, rumah mewah, pasangan glowing dan banyak hal2 duniawi lainnya yang tak bertepi. 4). Dvesa, penolakan bahkan kemarahan atas hal2 yang tidak diinginkan.
Padahal dunia diisi milyaran mahluk yg tidak bisa kita atur. Belajar menerima hal2 yg tdk kita inginkan adalah salah satu kunci bersihnya hati. 5). Abhinivesah, ingin hidup dan takut mati. Ini alami, tapi bukankah satu2nya yg pasti bagi yg hidup adalah mati? Maka tak usah takutkan kematian, tapi takutlah bila hidup memunggungi kebenaran.

Pada akhirnya, bagaimanapun, kita harus membawa ajaran2 dan pengetahuan spiritual itu dalam hidup keseharian kita. Melatih diri agar semakin hari semakin dekat dengan tuntunan kebenaran, tidak hanya karena kebenaran itu bersumber dari kitab suci, tetapi juga karena ajarannya etis dan logis.

Untuk ini tidak ada cara instan. Latihan dan disiplin adalah satu2nya cara. Seperti kita minum kopi pahit, awalnya sangat tidak enak. Enaknya kopi adalah pada pahit yang bercampur manis. Tapi dengan latihan minum kopi pahit setiap hari, dalam 6 bulan kita akan mulai merasakan nikmatnya kopi pahit. Kita mulai merasakan sensasinya, bahkan tiba2 ada rasa manis muncul. Bila kita bisa melatih indria lahiriah kita, dengan cara yang sama kita juga bisa melatih dimensi batiniah kita. Mengendalikan amarah, meluruhkan klesa sebagaimana doa Panca Sembah bait ke 2 itu, sama mungkinnya dengan penerimaan lidah pada kopi pahit. Yang kita perlukan adalah pengetahuan dan komitmen. Dan, itu adalah sebaik2nya ajaran agama: yaitu ajaran yang meningkatkan kualitas hidup kita dan mewujud dalam tri kaya parisudha kita. 

GAMA TELU




 Di Nusantara ada ajaranya GAMA TELU yaitu :

1. AGAMA
2. IGAMA
3. UGAMA
Yang mampu membebaskan Sang Roh dari Kemelekatan Jagat Alit ( Tri Sarira ) dan Melepaskan Sang Roh dari kemelekatan Jagat Agung ( Tri buana ) dan menjadikan Sang Roh Kudus yang berwujud Nur yaitu Cahaya ( dewa ) sehingga bisa kembali ke asal yaitu Pusat Cahaya ( Dewa Siwa - Siwa Raditya - Matahari ).
Karena kita di ajarkan untuk menerima kenyataan apa adanya ( Ana - Agama ) menjalani Hidup dengan Logika Ilmiah ( Idep - Igama ) sehingga muncul Rasa dalam bentuk Kesadaran akan Diri Sejati ( Urip - Ugama )


9 Pelinggih




Pelinggih di Mrajan Kawitan yang jumlahnya ada 9 Pelinggih kita urai satu persatu termasuk sumber sastra Kitab Suci nya antara lain sbb:

Pelinggih Rong Tiga adalah untuk memuja leluhur yang disebut sebagai Bethara Eyang dari seluruh garis keturunan nya. Sumber sastra nya disabdakan dalam: Regveda.
Kedua Pelinggih Taksu (rong satu atau dalam bentuk tugu). Taksu dimaknai kekuatan, kekuatan dari pemuja nya apapun profesinya bertujuan untuk memohon segala keperluan sesuai profesinya Sejatinya yg dilinggihkan di Pelinggih Taksu adalah Sarasvati karena Sarasvati sakti dari Brahma mempunyai kemampuan untuk memenuhi segala permohonan (Atharvaveda XXVIII, 1, 41). Yang dilinggihkan Sarasvati tetapi di abhiseka sebagai Hyang Taksu.
Ketiga Pelinggih Surya yang tempat ditengah antara Rong Tiga dan Taksu bentuk Pelinggih nya Padmasana ada simbol acintya nya tetapi di bebataran paling bawah tidak ada simbol naga taksaka dan antaboga serta bedawang nala. Surya adalah Dewa dari segala Dewa (Regveda I, 50, 10).
Kesimpulan nya: kalau membangun Mrajan untuk satu keluarga sesuai yg dianjurkan dalam Lontar Bhama Kerti atau Purwa Bhumi Kemulan maka Pelinggih cukup tiga atau Tri Lingga, inilah kebenaran yang mutlak itu berarti Pelinggih yang lainnya semata mata mengikuti adat kebiasaan di Desa/lingkungan yang dianggap benar.