Jumat, 12 Agustus 2022

Apakah kaitan Tumpek Landep dan Ukir?

 


Apakah kaitan Tumpek Landep dan Ukir? Berikut ini penjelasannya bagi masyarakat Hindu di Bali.
Hari suci pada wuku Landep, adalah Tumpek Landep yang dirayakan setiap hari Sabtu Kliwon Landep, atau hari ini Sabtu 9 April 2022. Dalam lontar Sundarigama, disebutkan bahwa hari suci ini diyakini sebagai hari suci bagi Bhatara Siwa dan Sang Hyang Pasupati, sebab beliau melakukan yoga semadi.
Untuk itu, umat Hindu disarankan membuat sesajen persembahan di merajan yang ditujukan kepada Bhatara Siwa. Sesajen tersebut, diantaranya adalah tumpeng putih kuning adanan dengan lauk ayam putih, ikan teri, terasi merah, dan sedah woh.
Untuk sesajen yang dihaturkan kepada Sang Hyang Pasupati adalah sasayut pasupati, sasayut jayeng perang, sasayut kusuma yudha, suci, daksina, pras, ajuman, canang wangi, tadah pawitra, reresik. Biasanya dalam prosesi upacara umat Hindu, pada Tumpek Landep ini akan diupacarai semua benda tajam khususnya senjata.

Filosofinya memohonkan ketajaman kepada Sang Hyang Pasupati, dengan merapalkan mantra Dhanurdhara atau ajian ilmu panah. Tujuannya untuk mengasah ketajaman batin dan pikiran umat manusia. Layaknya setajam senjata perang pada zaman dahulu seperti keris dan pedang.
Dijelaskan pula, pada Tumpek Landep ini manusia harus menyadari adanya hakekat kematian sebagai teman dekat dari semua makhluk hidup. Untuk itulah, seharusnya semua berbuat baik sebelum ajal menjemput. Hal ini tersirat dalam kutipan 'rumaketa sanak tuhu ring sanjata tkeng pati'.
Atau mendekatkan sanak saudara pada hakekat senjata dan kematian yang sejati. Setelah Saraswati, Banyupinaruh, Soma Ribek, Sabuh Mas, dan Pagerwesi.
Pada Umanis Ukir, yaitu setiap hari Minggu wuku Ukir diyakini sebagai hari suci Bhatara Guru, sebab beliau melakukan yoga semadi. Sehingga pada Minggu Umanis Ukir, umat Hindu memohon anugerah keselamatan dan kesejahteraan kehadapan Bhatara Guru.
Tribunbali,com


Minggu, 07 Agustus 2022

Siwa sebagai Nawa Sanggha

 



▪️ *Siwa sebagai Nawa Sanggha* :
Om Siwa Iswara ya Namaha di Timur
Om Siwa Maheswara ya Namaha Tenggara
Om Siwa Prajapati ya Namaha di Selatan
Om Siwa Rudraa ya Namaha Barat Daya
Om Siwa Mahadewa ya Namaha di Barat
Om Siwa Sangkara ya Namaha Barat Laut
Om Siwa Pasupate ya Namaha di Utara
Om Siwa Sambhu ya Namaha di Timur Laut
Om Siwa Isyaana ya Namaha di Tengah
▪️ *Siwa sebagai Panca Dewata*
Om Siwa Sadyojata ya Namaha di Timur
Om Siwa Bamadewa ya Namaha di Selatan
Om Siwa Tatpurusa ya Namaha di Barat
Om Siwa Aghora ya Namaha di Utara
Om Siwa Isyaana ya Namaha di Tengah


▪️ *Siwa sebagai Panca Aksara*
Na-Ma-Si-Wa-Ya.
Menyebut-nyebut sampai 10 putaran aksamala nama Dewa Siwa, japa "Om Nama Siwa Ya" meditasi dengan membayangkan 8 wujud Dewa Siwa dalam wujud Linggam, akan mencapai pembebasan (moksa).
Oleh karena itu, pada setiap Maha Sivaratri mesti ada Lingga Yoni (Linggam) untuk diabisekam.
Saat Maha Sivaratri, mesti ada:
1. Tantra
2. Yantra
3. Mantra
Pada saat pemujaan sehari-hari bagi penganut Siwaisma mesti juga memuja Keluarga Siwa dengan mengunakan Gayatri Mantram.
1. Dewi Durgha
2. Dewa Siwa
3. Dewa Ganesha
4. Dewa Kartekia
5. Nandi
Di Alam Kematian [Mrityun Loka] yaitu dimensi halus Alam Marcapada.
Atman di alam ini berbadan Lingga Sarira.
Setelah sadar bahwa kita sudah mati, secepatnya mencari jalan untuk menuju Alam-alam Suci, karena tidak banyak waktu agar terhindar dari kemungkinan buruk.
Kemungkinan buruk yang dialami Atman di Alam Kematian [Mrityun Loka] ini, karena kebodohan (Avidya) Sang Atman, artinya Sang Atman tidak memiliki pengetahuan dharma dan tidak memiliki pengetahuan tentang kematian.
Menyebabkan Atman terombang-ambing di Alam Kematian [Mrityun Loka]].

Ada 3 (tiga) kemungkinan buruk yang terjadi pada Sang Atman:
1. Atman menjadi *hantu* dalam *waktu* *lama*
Penyebabnya:
(1). Tidak menyadari bahwa dirinya sudah mati.
(2). Menyadari dirinya mati, tetapi tidak rela mati karena masih memiliki ikatan duniawi yang sangat kuat.
Ada menjadi hantu sampai puluhan bahkan ratusan tahun.
2. Atman ditangkap orang jahat yang memiliki kekuatan supranatural
Karena kebodohan Sang Atman, menyebabkan Atman dengan mudah ditangkap oleh orang jahat yang memiliki kekuatan supranatural.
Di Alam Kematian [Mrtyun Loka] ini, valamnya sangat liar dan bebas. Di alam ini berlaku hukum rimba, siapa kuat itu yang berkuasa.
Atman yang tertangkap ini dijadikan budak atau diperalat untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan niskala (gaib) yang jahat.
3. Atman ditarik masuk ke Alam Bawah untuk dijadikan budak
Bila tidak ada ajaran Dharma, tidak ada ajaran Siva, tidak ada ajaran Tantra-Yantra-Mantra, dan tidak ada ajaran Dharma, atau orang tidak begitu paham ajaran Dharma yang mendalam, maka di tempat itu akan ada banyak hantu atau makhluk-makhluk liar alam bawah.
Atman dipancing dengan suara dari orang-orang yang dicintainya, sehingga Atman bergerak ke arah itu, lalu dijerumuskan ke alam bawah untuk dijadikan budak


PUJA TRI SANDYA, Kewajiban Sehari-hari Umat Hindu








Om Swastiastu
Om Awignamastu

Yadnya adalah korban suci tulus iklash. Adapun pelaksanaan Yadnya menurut waktunya dibagi menjadi dua yaitu 1)Nitya Yadnya(sehari-hari) dan 2)Naimitika Yadnya(waktu tertentu). Salah satu pelaksanaan Yadnya sehari-hari adalah melakukan puja tri sandya, Yang lainnya adalah Yadnya sesa(mesaiban), mebanten canang, Surya swana(khusus sulinggih) dan Jnana Yadnya(berbagi pengetahuan suci). Selain dari puja tri sandya umat sudah sangat maju dan rajin melaksanakan Nitya Yadnya ini.

Sesuai namanya puja tri sandya dilakukan di tiga waktu setiap harinya yaitu pagi, siang dan sore hari. Inilah salah satu kewajiban umat Hindu setiap harinya. Namun, dalam prakteknya hal ini masih sangat jarang dilakukan dengan rutin. Adapun hanya siswa di sekolah sekolah di Bali rutin melakukannya setiap hari itupun saat mulai pelajaran di pagi hari. Yang umumnya lagi hanya media televisi dan radio juga pengeras suara di pura atau balai Banjar yang melantunkan puja tri sandya ini. Hal ini sangat disayangkan.


Sudah saatnya kita menggemakan dengan melakukan puja tri sandya rutin sesuai waktunya. Hal ini karena puja tri sandya tidak saja sederhana namun juga mudah dilakukan karena tidak memerlukan sarana(dengan sarana lebih baik). Apalagi banyak manfaat yang kita dapatkan dari melakukan kewajiban ini setiap harinya. Selain memohon keselamatan, melakukan ini juga mengajak kita untuk introspeksi atas segala perbuatan kita sehari-hari. Contohnya bait ke enam, dimana kita mengingat dosa pikiran, perkataan, dan perbuatan kita serta memohon ampunannya. Harapannya setiap hari itu kita terhindar dari menambah dosa.

SUDAHKAH SEMETON PUJA TRI SANDYA HARI INI ?

Semoga dapat menjadi renungan. Rahayu.

Om Santih Santih Santih Om –sumber


Sabtu, 06 Agustus 2022

Siwa Nataraja Tarian Kosmis Dewa Siwa

 


Dewa Siwa yang diberi gelar Mahadewa sebagai dewa tertinggi tidak hanya dikenal sebagai Dewa yang memiliki tugas prelina (dalam Tri Murti), tetapi juga sebagai dewa tarian kosmis yang dibergelar Siwa Nataraja.

Secara harafiah, Siwa Nataraja sendiri berarti Siwa sebagai raja, Nata artinya raja. Siwa Natha raja yang menggambaran tarian kosmis merupakan bentuk kesadaran Siwa dalam aspek kesenian spiritual yang di dalamnya terdapat unsur Sattwam, Siwam dan Sundaram.

Sattwam merupakan kebenaran, dimana menujukan kesenian sebagai bentuk pengejewantahan kebenaran yang diwujudkan dalam sebuah tarian. Siwam berarti kesucian yang merupakan wujud kosmis sebagai kekuatan Siwa Mahasuci, dan Sundaram berarti keindahan dimana Siwa Nataraja yang memiliki unsur sattwam, siwam sehingga memunculkan keindahan kosmis.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Siwa Nataraja dalam aspek ini dalam kegiatan berkesenian khususnya tari juga dijadikan sebagai pedoman dalam mewujudkan sattwam, siwam, sundaram itu. Siwa Natharaja dipuja dan dihormati sebagai dewa tarian.

Siwa Nataraja dalam berkesenian di Bali juga disimbolkan dalam bentuk lambang Pesta Kesenian Bali yang digelar dalam pergelaran kesenian sebulan penuh oleh Pemerintah Provinsi Bali. Ini menujukan Siwa Nataraja sebagai bentuk kesenian tertinggi yang dipuja dan dihormati dalam berkesenian. (SB-Skb) –sumber


Senin, 01 Agustus 2022

Rahina Tumpek Landep

 



Hari Raya Tumpek Landep jatuh pada Sabtu, Saniscara Kliwon Wuku Landep, atau 14 hari setelah Hari Raya Saraswati. Hari raya ini dilaksanakan setiap 210 hari. Saat itu umat Hindu di Bali memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai Dewa Siwa atau Sang Hyang Siwa Pasupati di hari raya ini.
Menurut Dosen Program Studi Agama Hindu di Universitas Hindu Indonesia (Unhi), I Kadek Satria SAG MPdH, tumpek adalah akhir dari panca wara yaitu kliwon. Sedangkan saniscara adalah akhir dari sapta wara. Akhir inilah yang disebut sebagai puncak. Puncak yang dimaksud adalah kondisi di mana umat harus mengingat begitu sampai pada perjalanan akhirnya. Umat harus mengingat bagaimana perjuangannya hingga mencapai puncak, dan pasti menggunakan banyak piranti untuk mencapainya. Pada titik itulah umat merunduk untuk memuja Sang Penguasa Ketajaman yaitu Sang Hyang Siwa Pasupati.

Jadi Tumpek Landep inilah dijadikan sebagai momen umat Hindu untuk memohon ketajaman tersebut, agar berguna dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.
Mempersembahkan Banten Pasupati yang harus dirangkai (Ditanding). dan kunci utama yang sesungguhnya adalah pemujaan kepada Sang Hyang Siwa Pasupati di Sanggah Kemulan. Kenapa?
Karena Sang Hyang Siwa bersifat purusha dan pradhan. Inilah cikal bakal dari kemulan dan taksu. Purusha kita puja pada kemulan, dan Pradhana kita puja pada taksu yang memberikan kita penguatan atas kehidupan ini.
"Setelah melakukan pemujaan, sebaiknya umat nunas (Mengambil) lungsuran atau sarin amertha yang kita mohonkan sebagai penguat jasmani dan rohani." ungkapnya
Namun hampir seluruh umat Hindu di Bali membuatkan upacara untuk kendaraan bermotor. Kadek Satria mengungkapkan, bahwa hal tersebut kurang tepat. Sebab menurutnya, kendaraan bermotor dapat diartikan sebagai simbol kemakmuran. Sehingga sebaiknya dibuatkan upacara pada saat Tumpek Kuningan atau Hari Raya Kuningan.


Matebus Belingan

 


Matebus Belingan menjadi salah satu ritual di Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng untuk mengawali siklus hidup bayi yang masih dalam kandungan. Upacara ini dilaksanakan saat kehamilan memasuki usia bulan kelima dan ketujuh.
Kelian Adat Sembiran I Nengah Arijaya mengatakan, memang tidak ada catatan pasti tentang upacara Matebus Belingan (ritual untuk orang hamil). Namun, seingatnya, tradisi ini menjadi ritual yang harus dilaksanakan secara turun-temurun. Bahkan, sering dianalogikan seperti ritual Magedong-gedongan di Bali pada umumnya.
Diyakini si anak yang belum lahir telah memiliki jiwa, karena kurang lebih pada bulan ketiga kehamilan, jiwa dari seorang leluhur dadya orang tua telah menemukan tempat tinggal di dalam tubuh sang anak.
“Meskipun si anak yang masih berada dalam kandungan sang ibu dan ibunya lewat upacara ini bisa berperan positif bagi perkembangan sang anak,” paparnya.

Ia menambahkan, lewat ritual Matebus Belingan dapat dimaknai sebagai prosesi menyucikan kehamilan. Ritual ini ditandai dengan melilitkan benang kapas putih pada pergelangan-pergelangan tangan si Ibu. Sehingga diharapkan sang ibu akan dibersihkan dari ketidaksucian supaya sang anak dilahirkan dalam keadaan selamat.
“Upacara ini diharapkan dapat memberikan perkembangan secara normal tanpa cacat, sehingga bayi yang lahir memiliki perawakan yang gagah, sempurna secara fisik dan menyenangkan tanpa kekurangan apapun,” sebutnya.
Salah satu keunikan dari ritual ini adalah yang memimpin upacara ini adalah salah seorang wanita yang sudah dituakan. Baik yang sudah menikah, maupun dalam kondisi janda. Meskipun, si wanita tersebut tidak berasal dari lingkaran keluarga yang hamil.
Matebus Belingan dilangsungkan di empat tempat berbeda. Seperti di Pura Peken, Pura Janggotan, Pura Puseh Duur dan di Padang.


Cokorda Geg, Airlangga, dan Bharadah

 


Cokorda Gede Oka Geg, raja terakhir Kerajaan Klungkung. Begitu perang puputan usai ( 1908), ia beserta keluarga dibuang ke Lombok. Belanda lalu mengambilnya kembali untuk disekolahkan ke Jawa. Pada tanggal 1 -7-1929, oleh Gouverneur General van Nederland Indie ia diangkat menjadi Zelf bestuur der Landschap Klungkung dengan Ambts titel Dewa Agung.
Di samping sebagai raja, beliau dikenal sebagai seniman serba bisa. Penari gambuh yang andal. Ada sejumlah seniman di Klungkung dan Gianyar pernah ikut menari dengan sang raja. Sebut misalnya, Dadong Lemon, penari arja terkenal dari Tegal Linggah, Desa Bedulu, Gianyar. Mengaku dalam wawancara saya pernah menari dengan sang raja.
Ada banyak catatan sejarah tentang raja ini, baik dari sumber-sumber Belanda maupun sumber-sumber lokal. Saya tak hendak bercerita soal ini, maklum saya bukan orang sejarah. Tentang raja ini berserakan kabar lisan yang masih bisa kita simak, alih-alih bagaimana kebijakan raja menghadapi pandemi. Tentu cara sang raja tidak boleh dianggap ilmiah, dan tak lucu dipertentangkan dengan capain-capain sains hari ini.
Suatu hari di Geria Banjarangkan, saya mewawancari Ida Pedanda Putra Telaga, mantan Ketua Umum Parisada Indonesia, tahunnya saya lupa. Menurut Ida Pedanda, raja ini seperti dikaruniai banyak keajaiban. Saat karya Eka Dasa Rudra di Besakih, tahun 1963. Raja tengah muspa di Penataran Agung, tiba-tiba Gunung Agung mau meletus. Saat itu sang raja hanya bisa memohon pendek pada Bhatara Gunung Agung, "Mbok tiang kari muspa, sampunang mamargi mriki ( Mbok saya masih sembahyang, jangan lewat ke sini). Itu kata-kata raja yang didengar pengiringnya.

Apa yang terjadi kemudian? Letusan Gunung Agung memang tidak melewati Pura Besakih, dan raja tetap suntuk memuja di kaki Gunung Agung yang saat itu tengah memuntahkan lahar. Ini kabar lisan yang pernah saya dengar dari tetua di Klungkung. Termasuk kabar dari kakek dan ayah saya. Entah ini benar atau kabar burung, saya tidak tahu.
Kaba burung paling menarik, saat raja menuntaskan pademi kolera di sebelah timur Desa Satra. Sudah beberapa hari kematian menjemput masyarakat desa di sana. Tetua desa lalu menghadap raja di Puri Klungkung. Bendesa ini nyaris kena marah, karena terlambat melaporkan keadaan. Tindakan emergensi begitu cepat dilakukan sang raja. Jro Bendesa disuruh pulang duluan.
Tepat bajeg surya, sang raja sudah berdiri di depan Pura Prajapati desa bersangkutan, diiring seorang abdi sembari membawa pacanangan (tempat sirih). Lagi-lagi sang raja hanya memohon pendek di hadapan Palinggih Prajapati. "Mbok usanang pamitanga wadwan titiang, benjang i mbok jagi sungsut, ten wenten malih sane ngaturang canang tuh (Mbok hentikan, jangan lagi diambil rakyat saya, supaya besok mbok tidak bersedih, tidak ada lagi yang bisa menghaturkan canang kering)." Itulah permohonan pendek sang raja saat itu, entah itu jalan klenik atau jalan ilmiah, lagi-lagi saya tidak tahu. Grubug akhirnya menghilang.
Jalan selalu ada sesuai zamannya. Kita tahu konsep raja ala Jawa dan Bali adalah raja bagi semesta. Pengedali energi, raja bagi penguasa gaib, pengendali buta-buti, gamang, dan memedi. Siapa saja membaca sedikit karya-karya sejarah Prof C.C Berg, Soemarsaid Moertono, Slamet Muljana, akan memperoleh pandangan bagaimana kekuaatan mistis itu selalu melekat pada sang raja.
Selalu ada jalan memang, Kerajaan Airlangga misalnya; diselamatkan kesaktian Mpu Bharadah -- manakala kerajaan itu kolap termakan sihir Calonarang. Kita memang sedang menunggu keajaiban itu, seperti Airlangga menunggu Bharadah, pendiri "Universitas" Lemah Tulis itu.
Yang pasti Tuhan selalu hadir di tangan-tangan orang baik, di tangan pemimpin yang tetap merawat rasa olas asih. Di tangan dokter cerdas yang paham menuntaskan penyakit, di tangan politikus yang peduli pada penderitaan rakyat, di tangan terpelajar yang memberi arahan yang benar. Rahayu.
Ditulis oleh : Wayan Westa