Jumat, 03 Maret 2023

PAWUKON




1. Uku Sinta :
Lain dari pada yang itu, ada juga menurut Pawukon, yakni pada Uku Sinta :
a. Coma Ribek :
Coma Pon disebut juga Coma Ribek, hari puja wali Sang Hyang Çri Amrta, tempat bersemayamannya adalah di Lumbung, Pulu, adapun upacara memujanya ialah :
Nyahnyah geti-geti, gringsing, raka pisang mas, disertai denga bunga serba harum.
Pada waktu itu, orang-orang tak diperkenankan menumbuk padi, demikian juga menjual beras, karena kalaupun dilakukan, maka dikutuklah oleh Bhatari Çri, sepatutnya orang memuja Sang Hyang Tri pramana ( bayu, sabda, idep ), serta membatinkan inti sari ajaran Agama ; karenanya pada hari itu, tidak diperkenankan tidur pada siang hari.
b. Sabuh Mas :
Pada Hari Anggara Wage, disebutlah sabuh mas, suatu hari yang disucikan untuk memuja Bhatara Mahadewa, dengan jalan melakukan upacara Agama, terhadap harta benda kakayaan, yaitu :
Manik dan segala manikam ; adapun upakara :
Suci, daksina, peras penyeneng, sesayut yang disebut Amrta sari, canang lenga wangi, burat wangi dan reresik.
Tempat melakukan upacara itu, ialah dibalai piyasan ( dan yang semacam itu). Bagi orang-orang , patutlah melakukan pembersihan diri dan janganlah takabur terhadap kesenangan yang bersifat kebendaan belaka, melainkan ratna mutu manikam yang ada dalam diri pun ( jiwa ), perlu dimuliakan. Demikianlah, setelah selesai menyuguhkan kepada Bhatara-Bhatari bebanten sesayut itu, patutlah diayap untuk diri kita.
c. Pager Wesi :
Pada hari Buda Kliwon ( Sinta ), disebutlah Pager Wesi, saat Sang Hyang Pramesti guru ( Çiwa ) dan diikuti oleh Dewata Nawasanga, yang bertujuan untuk menyelamatkan jiwa segala makhluk hidup yang ditakdirkanNya dialam ini semuanya ; karenanya patutlah para sulinggih memuja cipataan Bhatara Prameswara : Upakara nya, ialah :
Daksina, suci 1, peras panyeneng, sesayut, pancalingga, penek ajuman, serta raka-raka, wangi-wangi, dan perlengkapannya, yang dihaturkan (disuguhkan) di Sanggah kemulan. Adapun bebanten bagi orang-orang ialah :
Sesayut pageh hurip 1, serta prayascita, setelah tengah malam, dilakukan yoga samadi (renungan suci). Dan ada pula sesuguh kepada Panca mahabuta (lima unsur alam) yaitu :
Segehan berwarna, sesuai dengan neptu kelima arah, dan diselenggarakan di natar sanggah, dan disertai dengan segehan agung 1, (sebuah).

2. Tumpek Landep :
Juga pada wara Landep, yaitu hari Caniscara Kliwon, adalah puja wali Bhatara Çiwa, dan hari saat beryoganya Sang Hyang Pasupati Adapun untuk pujawali Bhatara Çiwa, ialah :
Tumpeng putih kuning satu pasang, ikannya ayam sebulu, grih terasi merah, pinang dan sirih, dan banten itu dihaturkan di Sanggah.
Adapun yoganya Sang Hyang Pasupati (Hyang Widhi dalam wujud Raja Alam semesta), ialah :
Sesayut jayeng perang, sesayut kusumayudha, suci, daksina peras, canang wangi-wangi, untuk memuja bertuahnya persenjataan.
Demikian juga menurut ajaran, dalam hubungannya dengan manusia ialah hal itu untuk menjadikan tajamnya pikiran ; karena hal yang demikian patut dilaksanakan dengan puja mantra sakti pasupati.
……………………..
3. Wuku Ukir :
Wuku Ukir, yakni pada Redite Umanis, adalah hari untuk melakukan pujaan kepada Bhatara Guru, adapun upakara bebantennya, ialah :
Pengambean, 1, sedah ingapon 25 ( sirih dikapuri ), kwangen 8 buah, bebanten mana semuanya itu dihaturkan si sanggar kemulan, namun dapat juga ditambahkan dengan pelaksanaan upakara sedemikian rupa menurut kemampuan ; demikianlah patutnya orang, dalam memuja Bhatara Guru, yang dipuja di sanggar kemulan.
4. Kulantir :
Uku Kulantir, yakni pada Anggara Keliwon adalah hari unuk memuja Bhatara mahadewa ; dengan Upakara serba berwarna kuning yakni :
Punjung kuning satu pangkon, ikannya ayam putih siungan di betutu, sedah woh (sirih dan pinag), yang berisi kapur, dan bebanten-bebanten itu dihaturkan disanggar.
5. Uku Wariga :
Uku wariga, yakni hari Saniscara keliwon, disebutlah hari Panguduh, suatu hari untuk memuja kepada Sang Hyang sangkara, sebab beliaulah yang menyebabkan menjadinya segala tumbuh-tumbuhan termasuk kayu-kayuan. Adapun upakaranya ialah :
Peras, tulung, sesayut, tumpeng bubur dan tumpeng Agung dengan ikan babi, atau itik diguling. Baik pula disertai dengan raka-raka, penyeneng, tetebus, dan sesayut cakragni. Adapun bebanten tersebut diatas, ialah mendoakan semoga atas rahmat Hyang Widhi maka segala tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh subur bersusun-susun dan dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia dalam menentramkan hati, serta sejahteranya hubungan lahir bathin.
6. Warigadian :
Pada wuku warigadian, yakni pada hari coma pon, ialah hari untuk penghormatan kepada Bhatara Brahma, dengan mempergunakan bebanten sbb :
Sedah woh selengkapnya, dan menurut kemampuan, banten mana dihaturkan di Paibon, serta menghaturkan bunga harum, sebagai biasanya dilakukan.

7. Sungsang :
Uku Sungsang, yakni pada hari Wraspati wage, disebutlah hari Pararebon. Juga disebut hari Sugihan Jawa. Adapun hari tersebut, ialah untuk melaksanakan prayascita ( pensucian ), para Bhatara-Bhatara semuanya, yang disemayamkan di Prahyangan . Maka pada hari itu, dilakukanlah upacara pensucian Bhatara-Bhatara, kemudian dari pada itu dilanjutkan dengan upacara menghaturkan puspa harum. Lain dari pada itu, bagi orang yang membathinkan inti hakekat samadhi (meditasi), maka seyogyanyalah melaksanakan Yoga (renungan suci), sedangkan bagi para wiku (pedanda, Rsi, Empu, dsb), seyogyanya pula melakukan puja stuti, sebab pada hari itu para Bhatara turun kedunia disertai para Dewa pitara, untuk menikmati upacara pesucian, berlangsung sampai pada hari itu galungan. Oleh karena itu orang-ornag hendaknya melaksanakan upacara agama, dengan natab banten sesayut dan banten tutuan, yakni banten yang bersimbul penarik kebahagiaan lahir bathin, demikian patut dilaksanakan.
8. Dungulan :
a. Uku Dungulan, yakni pada hari Redite paing, disebutkan bahwa Sang Hyang Tiga Wisesa turun kedunia, dalam wujud kala, dan disebut Sang Bhuta Galungan, yang ingin memakan san minum didunia ini, oleh karena itu, orang-orang suci, demikian pula para sujana (bijaksana), hendaknya waspada serta mengekang / membatasi dirinya kemudian memusatkan pikirannya kearah kesucian, agar tiada kemasukan oleh sifat-sifat yang membahayakan dari pengaruh-pengaruh Sang Bhuta Galungan, dan hal yang demikian, disebutlah hari penyekeban.
b. Pada hari coma pon, adalah hari untuk melakukan yoga samadhi, dengan memusatkan pikiran untuk menunggalnya dengan para Bhatara-Bhatara. Itulah sebabnya, mengapa pada hari itu disebut :
Penyajaan oleh dunia ( Hindu ).
c. Pada hari Anggara Wage, disebutlah hari penampahan, Pada hari itulah waktunya Sang Bhuta Galungan memangan. Oleh karena itu, patutlah dilakukan penyelenggaraan hidangan oleh desa Adat, dengan korban caru kepada Bhuta –Bhuta, bertempat diperempatan Desa adat, adapun korban yang diberikan kepada Bhuta-Bhuta, bentuknya bermacam-macam, yakni dari bentuk yang sederhana, sedang, dan besar. Dan yang patut memuja, ialah para Sulinggih , unuk memohonkan kepada Hyang . Yang dimaksud Sulinggih, yakni : Pedanda Cwa Budha, karena beliaulah yang mempunyai wewenang dalam hal ini. (termasuk juga dalam golongan Sulinggih, yakni Pemangku).
Lain dari pada itu, segala senjata perang, patutlah semuanya itu diupacarai, dengan upacara pensucian oleh para Sulinggih. Tambahan pula bagi orang-orang kebanyakan ( Umat Hindu bersangkutan ), upacara-upacara tsb, bermanfaat untuk mendapat pahala kekuatan utama dalam perjuangan hidup yang patut disuguhkan di masing-masing pekarangan rumah ialah :
Segehan warna, 3. ditaburkan menurut neptu, yakni : putih, 5. hitam, 4. bang, 9. ikannya olahan babi, tetabuhan, disertai segehan Agung, 1. Adapun tempat melakukan caru, ialah di natah pekarangan rumah, di sanggah, dan dimuka pekarangan rumah, yang dihayat pada waktu menjalankan caru itu, ialah Sang Bhuta Galungan. Sedang yang patut dihayapkan oleh anggota keluarga, ialah banten pabyakala, prayascita, dan sesayut, untuk mendapat kesuksesan dalam perjuangan hidup, sekala niskala (lahir-batin).
d. Disebut Buda keliwon galungan, keterangannya, ialah, bahwa untuk memusatkan pikiran yang suci bersih, disertai dengan menghaturkan upacara persembahan kepada para Dewa-Dewa, di Sanggar parhyangan, tempat tidur, pekarangan, lumbung, dapur, dimuka karang perumahan, tugu, tumbal, pangulun Setra, pangulun Desa, pangulun sawah, hutan munduk, lautan, sampai pada perlengkapan rumah, semuanya itu diadakan persajian, dengan suguhan yang dilakukan di sanggar parhyangan, menurut besar kecilnya sbb :
Tumpeng payas, wangi-wangi, sesucen (pembersihan ), itulah yang disuguhkan di Sanggar. Adapun banten dibalai-balai, ialah : tumpeng pengambean, jerimpen, pajegan, sodaan, dan perlengkapannya. Sedangkan ikannya, ilah jejatah babi, serta asap dupa harum. Setelah selesai itu semuanya diupacarakan, maka biarkanlah semalam, banten itu semuanya jejerang, sampai besoknya pagi-pagi.
9. Kuningna :
a. Pada redite wage, disebut pemaridan guru, pada hakekatnya ialah saat kembalinya para Dewata-Dewata semuanya, menuju kahyangan, jelasnya, bahwa para Dewata-Dewata pergi, dengan meninggalkan kesejahteraan panjang umur. Maka upacaranya :
ialah :
Menghaturkan ketipat banjotan, canang raka-raka, wangi-wangi, serta menikmati tirtha pebersihan.
b. Pada coma keliwon, disebutlah Pamacekan Agung. Pada sore harinya, patut melakukan segehan Agung dimuka halaman karang perumahan, dan memakai sambleh ayam semalulung yang disuguhkan kepada sang Bhuta Galungan dan para abdinya agar pergi.
c. Buda paing kuningan ialah hari pemujaan Bhatara Wisnu, maka upacaranya ialah:
Sirih dikapuri, putih, hijau, dan pinang, 26, disertai tumpeng hitam serta runtutannya. Menurut kemampuan, dan dihaturkan kepada Bhatara di paibon, dan disertai pula bunga-bunga harum sebagaimana mestinya.
d. Pada hari saniscara kliwon kuningan, turunlah lagi para Dewata sekalian, serta sang dewa pitara (leluhur) untuk melakukan pensucian, lalu menikmati upacara bebanten, yakni :
Sege dan selanggi, tebog, serta raka-raka selengkapnya, pebersihan, canang wangi-wangi dan runtutannya, dan menggantungkan sawen tamiang dan gegantungan caniga, sampai pada tempat / kandang segala binatang ternak. Janganlah menghaturkan bebanten setelah lewat tengah hari, melainkan seyogyanyalah pada hari masih pagi-pagi, sebab kalau pada tengah hari, Dewa-Dewa telah kembali ke sorga.
Lain dari pada itu, yang patut dipakai mendoakan manusia :
Sesayut prayascita luwih, yaitu segejenar, ikannya itik putih, panyeneng, tetebus, yang gunanya untuk mohon kesucian pikiran, yang suci bersih, dan tidak putus-putusnya melakukan semadhi, juga diletakkan pasegehan di natar, yakni segehan Agung, 1.Don pepe


Beberapa Jenis Permata yang sesuai dengan Hari Kelahiran

 



Radite/Minggu Umanis
Emerald (jamrud, osadi), jade (giok), peridot (ijo gading), chrysoberyl cat’s eye (narigangga, mata kucing)
Radite Pahing
Amethyst (kecubung), ruby (mirah), sapphire (safir, nilam)
Radite Pon
Garnet (rudirarnawa/danau darah)
Radite Wage
Amethyst (kecubung), yellow sapphire (cempaka)
Radite Kliwon
Amethyst (kecubung), yellow sapphire (cempaka), turquoise (pirus, ijo rangreng)
Coma/Senin Umanis
Amethyst (kecubung), yellow sapphire (cempaka)
Coma Pahing
Ruby (mirah), turquoise (pirus, ijo rangreng)

Coma Pon
Moonstone (biduri bulan)
Coma Wage
Jade (giok), chrysoberyl cat’s eye (narigangga, mata kucing)
Coma Kliwon
Garnet (rudirarnawa), sapphire (safir, nilam)
Anggara/Selasa Umanis
Aquamarine (windu segara), moonstone (biduri bulan)
Anggara Pahing
Garnet (rudirarnawa), ruby (mirah)
Anggara Pon
Sapphire (safir, nilam), chrysoberyl cat’s eye (narigangga, mata kucing)
Anggara Wage
Opal (kalimaya), jade (giok)
Anggara kliwon
Moonstone (biduri bulan)
Budha Umanis: Netral
Budha/Rabu Pahing
Sapphire (safir, nilam), opal (kalimaya), ruby (mirah)
Budha Pon
Kristal (kecubung air, manik tirta)
Budha Wage
Purple sapphire (safir ungu, mirah kecubung), moonstone (biduri bulan)
Budha Kliwon
Tuby (mirah), opal (kalimaya)
Wrhaspati/Kamis Umanis
Ruby (mirah), turquoise (pirus, ijo rangreng)
Wrhaspati Pahing
Moonstone (biduri bulan), ruby (mirah), amethyst (kecubung)
Wrhaspati Pon
Ruby (mirah), opal (kalimaya)
Wrhaspati Wage
Garnet (rudirarnawa), ruby (mirah), amethyst (kecubung)
Wrhaspati Kliwon
Moonstone (biduri bulan), sapphire (safir, nilam), opal (kalimaya)
Sukra/Jumat Umanis
Ruby (mirah), moonstone (biduri bulan), amethyst (kecubung)
Sukra Pahing
Ruby (mirah), aquamarine (windu segara)
Sukra Pon
Yellow sapphire (cempaka)
Sukra Wage
Chrysoberyl Cat’s Eye (narigangga, mata kucing)
Sukra Kliwon
Ruby (mirah), sapphire (safir, nilam), amethyst (kecubung)
Saniscara/Sabtu Umanis
Ruby (mirah), sapphire (safir, nilam)
Saniscara Pahing
Ruby (mirah), moonstone (biduri bulan), amethyst (kecubung)
Saniscara Pon
Yellow sapphire (cempaka)
Saniscara Wage
Chrysoberyl Cat’s Eye (narigangga, mata kucing), emerald (jamrud)
Saniscara Kliwon
Ruby (mirah), moonstone (biduri bulan), amethyst (kecubung)
(sumber: buku “Tenung Wariga, Kunci Ramalan Astrologi Bali”, terbitan Bali Aga, disusun oleh I.B. Putra Manik Aryana, S.S, M.Si)

GARUDA PURAANA DARI KEMATIAN HINGGA KREMASI




 Jika seseorang meninggal dunia, maka pertama-tama yang dilakukan oleh keturunannya atau keluarga yang ditinggalkan adalah membersihkan mayat itu lalu membungkusnya dengan pembungkus kain. Keluarga yang ditinggal atau keturunan dari yang meninggal kemudian di urapi dengan pasta cendana lalu melakukan ritual yang disebut sebagai _Ekoddhista._ Ritual ini akan memberikan anak itu hak untuk melakukan upacara kremasi pada sang almarhum. Ritual ini bisa dilakukan di tempat kematian, depan pintu rumah, di lapangan, kuburan, tempat kremasi atau tempat pembakaran mayat itu sendiri.

Keluarga atau anak yang ditinggalkan akan membawa biji wijen, rumput persembahan (ku'sa), mentega murni dan kayu bersamanya menuju ke tanah
Kremasi. _Dan dalam perjalanan menuju tempat kremasi, dilakukan pengucapan berbagai mantra kepada Dewa Yama._
Di 'Sma'saana (tempat kremasi) dilakukan upacara ritual lain. Sebuah panggung untuk pembakaran mayat harus di buat. _Busana yang dikenakan oleh mayat dibagi menjadi dua. Setengahnya dipakaki untuk menutupi mayat dan setengahnya lagi di tinggalkan di 'Sma'saana untuk para preta (makhluk halus).

Pinda ( benda persembahan) di persembahkan kepada almarhum dan mentega murni di percikkan pada mayat itu. Mayat kemudian ditempatkan pada panggung untuk pembakaran dengan _posisi kepala menghadap ke-selatan._
Selanjutnya api dinyalakan dengan iringan mantra yang artinya, _"Wahai Dewa Agni yang agung, bawalah orang ini ke Surga."_ Ketika tubuh mayat setengah telah terbakar, maka berbagai jenis mantra diucapkan dan wijen dan mentega murni dipercikkan pada tempat pembakaran.
Dan pada saat inilah biasanya orang-orang menangis, menyedihkan almarhum. Dan seiring dengan tangisan itu para hantu akan bergembira mendengar ratapan kesedihan itu.
Setelah mayat itu sepenuhnya terbakar, maka keturunannya mempersembahkan benda persembahan kepada almarhum dan kemudian mengelilingi tempat kremasi itu.
Dan sementara mereka melakukan permandian, maka keluarga dan anak almarhum hendaknya senantiasa mengucapkan segala kebaikan yang pernah dilakukan oleh almarhum. Kemudian air diambil dalam cakupan tangan lalu dipersembahkan kepada almarhum. Ini dikenal sebagai ritual tarpana (ucapan syukur) dan tarpana ini biasanya dilakukan sekali, tiga kali atau sepuluh kali. Setelah tarpana selesai, pakaian yang basah hendaknya diganti.


Rabu, 01 Maret 2023

Apakah jiwa dan sukma sejati itu dalam pandangan Tantra?

 



Tantra menyajikan peta yang detail berkenaan dengan jiwa dan sukma sejati. Jiwa adalah roh, sukma, dan atman yang masih diselubungi oleh lapisan pikiran yakni citta atau manah (pikiran), buddhi (kecerdasan akal) dan ahangkara (ego). Demikian pula ia masih diselimuti oleh lapisan atau kosa yang halus, yakni pranamayakosa (lapisan energi), manomayakosa (lapisan memori), wijnanamayakosa (lapisan kebijaksanaan), dan anandamayakosa (lapisan kebahagiaan).
.
Lapisan-lapisan material tersebut masih membungkus jiwa sehingga ia bukan disebut sukma sejati. Ia masih terbungkus memori-memori yang membuatnya terlahir kembali berbekal wasana karma (bekas perbuatan). Kemudian lapisan-lapisan tadi akan menjadi penyebab ia terlahir kembali dalam siklus punarbhawa atau kelahiran kembali. Jiwa pun akan melewati perjalanan yang panjang untuk terlahir kembali mendapatkan wadah tubuh.
.
Sedangkan sukma sejati adalah Atmasunya atau ia yang murni yang sudah terlepas dari selubung material yang kasar dan halus. Ia adalah energi kesadaran murni yang tidak lagi dinodai oleh apapun. Ia adalah sunya atau suwung yang telah menyatu dengan kesadaran murni akasa yang tanpa batas. Ia nirwisesa (tidak berwujud), nirupam (tidak memiliki bentuk apapun), dan serba tidak lainnya.
.
Untuk itu, ajaran tutur kelepasan menyebutkan bahwa seseorang dikatakan mati utama adalah ketika ia bisa melepaskan semua selubung material tersebut sehingga sukma sejatinya yang tiada noda bisa menyatu dengan sunya atau suwung. Selama masih belum bisa menyatu dengan sunya, selama itu pula jiwa akan tetap ada dalam pengembaraannya yang panjang dalam siklus kelahairan kembali. Dan itu sebuah penderitaan yang panjang bagi jiwa.
.
Para yogi Tantra berusaha untuk melepaskan semua selubung tadi dengan cara-cara kuno. Misalnya dalam ajaran Angkus Prana menyebutkan bahwa lapisan-lapisan material yang kasar dan halus yang membungkus sukma sejati diwakilkan oleh aksara. Karena tubuh dan lapisan di dalamnya terbentuk dari aksara, maka untuk melepaskan semua itu aksara harus dilepaskan secara sempurna agar sukma sejati dapat menunggal dengan sunya.
.
Melepaskan ikatan aksara yang menyelubungi sukma sejati tidak mudah. Tetapi itu bisa dilakukan pada saat kita hidup. Dan melakoninya tidak cukup satu kali kehidupan atau kelahiran. Bahkan mungkin berjuta-juta kelahiran. Kembali lagi semua itu atas pilihan dan kehendak kita dalam melakoninya. Setiap jiwa akan terlahir membawa wasana karmanya masing-masing. Wasana karma akan menggerakan kecenderungan setiap jiwa yang terlahir sehingga mereka membawa misi jiwanya tersendiri. Jiwa dikehidupan yang lalu pernah belajar tentang pengetahuan aksara tetapi belum bisa melepaskan sukma sejatinya agar lebur dengan sunya, maka di kehidupan yang sekarang tinggal melanjutkan pengetahuan itu menuju pada kesempurnaan.
.
Jadi setiap jiwa membawa bekal dalam setiap kelahirannya. Bekal yang kemudian harus ditinggalkan agar terbebas dari tumpangan-tumpangan apapun. Tujuan kelahiran dalam Tantra adalah belajar melepaskan segala tumpangan pada jiwa sehingga kembali pada kemurniannya. Dan itu bisa dimulai dari hal yang sederhana, yakni belajar mengarahkan batin pada zona keikhlasan.



SÊDULUR PAPAT KALIMA PANCÊR

 



Dalam jeda antara napas masuk dan napas keluar, Anda bisa menemukan suwung yang menjadi “ruang sunyi” pertemuan aksara Ang dan aksara Ah. Itulah sanggama sejati antara Sanghyang Ibu Pertiwi dan Sanghyang Bapa Akasa dalam diri Anda. Suwung dalam jeda napas itu dapat Anda rasakan ketika Anda benar-benar mengalami meditasi yang mendalam.
SÊDULUR PAPAT KALIMA PANCÊR
Leluhur Nusantara memahami jagat raya tercipta melalui sanggama energi Bapa Akasa dan Ibu Pêrtiwi. Dari sanggama itu terlahirlah pancamahabhuta (lima elemen alam): tanah, air, api, udara, akasa. Manusia pun tercipta melalui sanggama energi Bapa Akasa dan Ibu Pêrtiwi yang menyusup ke dalam sperma bapa dan ovum ibu.

Dari sanggama itu terlahirlah kita dan empat saudara kita, yang dikenal dengan Sêdulur Papat Kalima Pancêr, yaitu Kakang Kawah (ketuban) penguasa elemen tanah, Gêtih (darah) penguasa elemen air, Adhi Ari-Ari (plasenta) penguasa elemen api, Pusêr (tali pusar) penguasa elemen udara, dan Pancêr (diri kita) penguasa elemen akasa. Sêdulur Papatlah yang membentuk tubuh kita; tanpa mereka kita tak akan pernah terlahir ke dunia. Melalui mereka pulalah kita bisa mengalami kematian sempurna hingga manunggal dengan Sangkan Paraning Dumadi (Tuhan).
Didasarkan pada 44 lontar warisan leluhur Jawa dan Bali, buku ini membahas:
• Proses kejadian Sêdulur Papat dan sang jabang bayi.
• Transformasi Sêdulur Papat Kalima Pancêr: Pancabhuta, Pancaratu, Pancadewata.
• Kawisesan Sêdulur Papat: Sêgara tanpa Têpi, Tapaking Kuntul Anglayang, Galihing Kangkung, Isining Buluh Bumbang, Lontar tanpa Tulis.
• Ilmu kematian dan mati sajêroning urip (mati di dalam hidup).
• Meditasi Kanda Pat untuk mengakses kekuatan Sêdulur Papat.
• Ritual untuk terhubung dengan Sêdulur Papat.
• Perlindungan dan penyembuhan dengan energi Sêdulur Papat.
.
Penulis: @ketut.sandika
14x21 cm | Hard Cover | 340 hlm. (8 hlm. full color)
Harga : Rp135.000 (dari Rp150.000) plus TANDA TANGAN PENULIS
FORMAT PEMESANAN: Tulis nama, alamat lengkap, dan nomor HP, lalu kirim melalui WA di Nomor: wa.me/6285337588732

Maketekan, Tradisi Sensus Penduduk Sakral di Desa Adat Patas

 

MAKETEKAN : Prosesi Maketekan krama Desa Adat Patas, Kecamatan Tegallalang, Gianyar saat Sasih Kanem. (Ist)

Maketekan, sebuah tradisi yang dilestarikan Desa Adat Patas, Kecamatan Tegallalang, Gianyar untuk sensus penduduk secara sakral. Prosesinya menggunakan banten, yang dilaksanakan di Pura Dalem Desa Adat Patas.

Tokoh Adat Patas Wayan Nesa mengatakan tradisi Maketekan rutin digelar setiap Tilem Sasih Kaenem dengan melibatkan seluruh krama desa. Mereka wajib melewati beberapa rentetan acara yang sakral. Proses Maketekan ini menggunakan sarana berupa uang kepeng (pis bolong). Sarana inilah yang nantinya digunakan sebagai simbol dari jumlah warga yang dihitung di areal Pura Dalem. Uang kepeng yang disetorkan dipercaya sebagai jimat keselamatan anggota keluarganya.

Selain uang kepeng, ada sejumlah sarana upakara yang digunakan. Dalam tradisi ini upakara yang digunakan ada yang berbentuk bantenan seperti peras, pangambean, dan yang lainnya. Persembahan seperti guling serta simbol seperti uang kepeng, ayam dan juga tumpeng.


Ada beberapa runtutan prosesi yang dilaksanakan saat Maketekan. Seperti tahapan matur piuning dengan menggunakan sarana canang santun. Matur piuning untuk memohon petunjuk, pesaksian kehadapan Tuhan serta memohon keselamatan dan kelancaran tradisi Maketekan.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


Kemudian dilaksanakan dengan macocongan atau Aci Keburan Ayam yang dilaksanakan di areal lain, mengingat tempat yang kurang memadai. “Macocongan dilaksanakan pertama di Penataran Pura Dalem, setelah itu baru berlanjut di tempat yang sudah ditentukan,” jelasnya, belum lama ini.


Saat Macocongan digelar, setiap krama lanang (laki-laki) akan membawa ayam untuk kepentingan tajen (sabung ayam). Namun sebelum Macocongan dilaksanakan, diawali dengan kegiatan nunas ica serta menghaturkan banten sebagai wujud permohonan agar diberi kelancaran dalam kegiatan macocongan. “Kalau laki-laki yang tidak memiliki ayam, bisa membayar dengan uang Rp 1000, walau begitu tidak pernah kegiatan Macocongan ini tidak dilaksanakan karena bagaimanapun antusiasme warga Desa Pakraman Patas sangat bagus di dalam pelaksanaan Macocongan ini,” imbuhnya.

Macocongan ini biasanya dilaksanakan selama tiga sampai tujuh hari. Durasi ini tergantung dengan banyaknya warga yang membawa ayam untuk kegiatan ini.


Dijelaskan Nesa, Macocongan memiliki arti persembahan krama Desa Adat Patas ke hadapan sasuunan yang berstana di Pura Dalem Patas. Tujuannya untuk memohon agar selalu dilimpahkan kesehatan, kesejahteraan dan juga kelancaran dalam melaksanakan swadharma kehidupan.

Tahapan selanjutnya adalah mapanauran yang artinya membayar. Mapanauran dalam tradisi Maketekan dilaksanakan sebagai pembayaran utang kepada leluhur yang menggunakan sarana guling kucit (sarin ketimun). Panauran ini dihaturkan di Pura Dalem yang dipimpin langsung oleh Jro Mangku Dalem. Setelah Mapenauran, guling dibagi rata untuk seluruh warga sebagai paica dari sasuunan yang ada di Pura Dalem.

Kemudian ada yang namanya Nangluk. Upacara nangluk ini dilaksanakan di perempatan desa. Sarana yang digunakan ialah caru panca sata yang dilengkapi dengan kelabang/klangsah yang terbuat dari daun kelapa tua yang dipasang melintang di tempat upacara.

Upacara ini dipercayai sebagai permohonan agar dijauhkan dari mara bahaya dan juga dari grubug gering agung. “Pada saat upacara ini warga akan diberikan paica dalam bentuk benang tri datu yang sudah dipasupati dan sudah melewati rangkaian upacara,” sebutnya.