Senin, 27 November 2023

TUMPEK LANDEP, BUKAN SEMATA-MATA OTONAN MOTOR

 Tumpek Landep merupakan hari raya yang tidak asing lagi bagi umat Hindu di Bali. Hari raya ini jatuh pada Saniscara Keliwon Wuku Landep. Hari raya ini diperingati setiap 6 bulan sekali atau 210 hari.  Pada hari ini umat Hindu biasanya membuat banten/sesajen yang dihaturkan pada merajan, alat-alat fisik, serta sarana pendukung kegiatan lainnya.

Secara filosofis, Tumpek Landep Berasal dari kata Tumpek dan Landep. Tumpek berasal dari kata tampek yang berarti dekat dan Landep berarti tajam/lancip. Adapun ketajaman yang dimaksud tersebut itu layaknya senjata yang berbentuk lancip/runcing seperti keris, tombak, dan pedang.
Hari Raya Tumpek Landep di Bali sejatinya merupakan rangkaian dari Hari Raya Saraswati yang jatuh pada dua minggu sebelum hari raya ini. Jika pada saat hari raya Saraswati umat Hindu melakukan puji syukur atas turunnya ilmu pengetahuan dimana diimplementasikan dengan mengupacari berbagai sumber-sumber ilmu pengetahuan, seperti buku, lontar, prasasti dan berbagai sumber-sumber sastra dan ilmu pengetahuan lainnya. Sedangkan pada hari raya Tumpek Landep ini lebih mengucapkan puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Pasupati yang telah menganugrahi kecerdasan dan ketajaman pikiran kepada manusia, yang mana dari pikiran-pikiran  tersebut melahirkan suatu ciptaan yang dapat mempermudah kehidupannya untuk mencapai kebahagiaan. Sederhananya, ilmu pengetahuan yang turun dan didapatkan dua minggu sebelumnya maka diasah pada hari Tumpek Landep ini.


Dalam perkembangannya, kini perayaan hari raya Tumpek Landep di Bali tidak hanya mengupacarai benda-benda sakral/pusaka seperti keris dan peralatan persenjataan, melainkan juga benda-benda lain yang membantu umat manusia dalam menjalani kehidupan dan mampu memberikan nilai positif terhadapnya. Adapun benda-benda tersebut yang sering kita lihat diupacarai para hari Tumpek Landep ini antara lain : motor, mobil, komputer, mesin-mesin, dan benda-benda fisik lainnya. Sesungguhnya hal ini tidaklah salah, namun pemahaman orang awam di Bali terkadang sedikit keliru dalam memaknai hari Tumpek Landep ini. Bahkah, mirisnya lagi tak jarang kita jumpai umat yang bersembahyang di depan mobilnya di pinggir jalan seakan-akan menTuhankan mobilnya.
Sesungguhnya, senjata yang paling utama dalam kehidupan ini adalah pikiran, karena pikiranlah yang mengendalikan semuanya yang ada. Semua yang baik dan yang buruk dimulai dari pikiran. Maka dari itu dalam perayaan hari Tumpek Landep ini, hal mendasar dan utama yang semestinya kita harapkan adalah agar senantiasa mampu menajamkan pikiran lewat kecerdasan dan mengendalikan pikiran lewat pengalaman-pengalaman yang ada. Jadi, setiap enam bulan sekali umat diingatkan melakukan evaluasi apakah pikiran sudah selalu dijernihkan atau diasah agar tajam. Sebab, dengan pikiran yang tajam, umat menjadi lebih cerdas, lebih teliti melakukan analisa, serta lebih tepat dalam mengambil keputusan.

Penulis : I Kadek Maryana (Mahasiswa Fak. Pertanian Unud 2011)

Sejarah Pura Agung Besakih

 

Gunung Agung sering juga disebut dengan Giri To Langkir untuk menyatakan keagungannya. Giri artinya gunung, to artinya orang, sedangkan langkir artinya menjulang tinggi. R.Goris seorang ahli sastra membandingkan perkataan to yang berarti orang dengan keluarga bahasa yang terdapat di tempat-tempat lain yang hampir sama ejaannya menunjukkan persamaan asal. Misalnya, orang-orang Bugis, Makasar dan Toraja, mereka menyebutkan orang itu dengan perkataan tou atau tow, orang Sasak di Pulau Lombok mengatakan “TAU”, orang-orang Bima di Pulau Sumbawa mengatakan dou, sedangkan orang-orang Philipina mengatakan tawuw. Perkataan langkir dalam bahasa sanskerta dapat juga diartikan Maha Dewa (Rencana Induk Pembinaan dan Pengembangan Pura Besakih). Di dalam Lontar Sangkul Putih, ada disebutkan : “...Kang umungguh ring tolangkir Bhatara Pasupati Ngaran... “artinya: “... yang bersthana di Gunung Agung adalah Bhatara Pasupati namanya...”
Kata Tolangkir berasal dari kata to (tu) yang berarti terhormat dan langkir artinya melangkahi atau gunung yang dimuliakan atau terhormat tempat linggih (stana) Hyang Pasupati (Dewa) yang paling dimuliakan oleh masyarakat Bali (panitia Pembangunan Pura Pasar Agung Besakih). Gunung Agung itu disebut Giri To Langkir karena besar dan tingginya, sebagai ungkapan lain untuk menerangkan Maha Agung. Letak Pura Besakih di desa yang dianggap suci karena berada di ketinggian, yang disebut Hulundang Basukih yang kemudian menjadi Desa Besakih. Nama Besakih diambil dari Bahasa Sansekerta, wasuki atau dalam bahasa Jawa Kuno basuki yang berarti selamat. Selain itu, nama Pura Besakih didasari pula oleh mithologi Naga Basuki sebagai penyeimbang Gunung Mandara.


Dengan keagungan Gunung Agung inilah didirikan stana beliau Hyang Pasupati yang diberi nama Pura Besakih. Pura Besakih merupakan salah satu Pura Sad Kahyangan di Bali. Pura ini terdiri atas 86 buah kelompok pura, yaitu terbagi ke dalam 18 (delapan belas) buah pura umum, 4 buah Pura Catur Lawa, 11 buah Pura Padharman, 6 buah Pura yang bukan Padharman, 29 Pura Dadia, dan 11 buah tidak termasuk kelompok tersebut. Semua kelompok pura ini tidak dibangun sekaligus, tetapi dibangun secara bertahap. Diperkirakan Pura ini dibangun pertama kali oleh Raja Wira Dalem Kesari Warmadewa (th. 913 Masehi), kemudian dilanjutkan oleh Raja Sri Kesari Warmadewa yang berpermaisurikan Sri Gunapriya Dharmapatni (th. 1007 Masehi). Perkembangan pembangunan yang pesat terjadi zaman Dalem Waturenggong, dimana Danghyang Nirartha dan Empu Kuturan amat berperan (Nala, 1996:1). Tata letak bangunan suci (pelinggih) di dalam dan di luar area Pura Agung Besakih.
Diceritakan dalam Lontar Babad Gunung Agung bertahun Çaka 11, pada tahun tersebut terjadi letusan dan perpindahan empat gunung yang dinyatakan dengan sebutan Candra Sangkala yang berbunyi Rudhira Bumi. Rudhira dan Bumi masing-masing berarti angka 1 (satu) sehingga Rudhira Bumi berarti angka 11 (sebelas) atau 89 Masehi. Pada tahun Çaka 13 yang dinyatakan dengan sebutan Candra Sangkala Gni Bhudara: Gni artinya angka tiga dan Bhudara sama dengan satu, jadi Çaka 13 tahun 92 Masehi, terjadi letusan kembali. Letusan itu menimbulkan gempa bumi yang amat hebat disertai hujan lebat tiada henti-hentinya siang dan malam selama 2 (dua) bulan. Sesudah turunnya Hyang Putran Jaya, Hyang Gni Jaya dan Dewi Danuh ke Bali. Di antara ketiganya itu Hyang Putran Jayalah yang paling dimuliakan dengan sebutan Hyang Maha Desa berkahyangan di Pucak Gunung Agung sebagai Çiwa. Sedangkan Hyang Gni Jaya berkahyangan di Puncak Gunung Lempuyang dan Dewi Danuh berkahyangan di Danau Batur yang dipuja sebagai Wisnu.
Di Pura Besakih terdapat pemujaan bagi para Dewa-Dewa yakni; di Pura Kiduling Kreteg tempat memuja Dewa Brahma, di Pura Gelap tempat memuja Dewa Iswara, di Pura Ulun Kulkul tempat memuja Dewa Mahadewa, dan Pura Batumadeg tempat memuja Dewa Wisnu, Pura Penataran Agung letaknya di tengah-tengah karena dianggap paling terkemuka. Disitulah umat Hindu Dharma mengadakan persembahyangan tiap-tiap setahun sekali yang dinamai Karya Bhatara Turun Kabeh yang jatuh pada hari Purnamaning sasih kadasa. Sedangkan tiap sepuluh tahun sekali diselenggarakan Upacara Panca Wali Krama dan yang paling utama dilangsungkan tiap-tiap 100 (seratus) tahun sekali yang disebut Upacara Eka Dasa Rudra.
Lebih lanjut dalam Babad Gunung Agung diceritakan bahwa Gunung Agung meletus kedua kalinya pada tahun Çaka 70 atau tahun 148 Masehi, haru Jumat Keliwon Wuku Tolu bulan Kelima atau Çasih kalima Wara Sukra Kaliwon Tolu menurut kalender Bali. Sementara itu di kawah gunung agung terdapat jenis benda yang disebut Salodaka (belerang). Salodaka ini dipandang mempunyai kekuatan gaib oleh penduduk di Bali dan dipergunakan sebagai sarana upakara-upakara agama Hindu yang bersifat besar.


Kemudian Gunung Agung meletus untuk ketiga kalinya pada tahun Çaka 111 (seratus sebelas) disebut dengan Candra Sangkala “Wak Çasih Wak” yang masing-masing kata berarti angka 1 (satu), atau tahun 189 Masehi. Pada waktu itulah konon Karya Eka Dasa Rudra yang pertama kalinya diselenggarakan di Pura Besakih. Karya-karya Eka Dasa Rudra berikutnya pernah beberapa kali tidak dilaksanakan. Adapun Eka Dasa Rufdra berikutnya diselenggarkan pada tahun 1963 Masehi, atau tepatnya pada tanggal 18 Maret 1963 Purnama Kedasa, hari Sukra Pon Julungwangi Çaka 1885, dimaksudkan sebagai Karya Eka Dasa Rudra itu tidak diselenggarakan. Pada saati itu (1963) terjadi letusan Gunung Agung yang sangat hebat dan menyebabkan Pulau Bali menjadi gelap gulita.
Sumber yang bersifat mythologi tradisional disebut-sebut tokoh yang bernama Sri Wira Dalem Kesari yang nmembuat Merajan Selonding lebih kurang 250 Masehi berlokasi disebelah barat Pura Penataran Agung, yang sekarang tersimpan gambelan Selonding. Beliau dikatakan pernah melakukan perbaikan Pura Besakih. Kata Dalem adalah gelar seorang raja di Bali, dengan demikian yang dimaksud dengan Dalem Kesari kemungkinan sekali adalah Raja Kesari Warmadewa yang memerintah sekitar tahun 917 Masehi. Ini dintunjukkan dari prasasti-prasasti Pura Puseh Penempahan dan Belanjong (sanur). Dari prasasti-prasasti tersebut hanya yang ada di Belanjong, yang memakai angka tahun berbentuk Candra Sangkala Cara Wahni Murti. Cara artinya bintang dan angkanya 5, Wahni artinya api angkanya 3, murti artinya badan dari Dewa Çiwa angkanya 8. Oleh karena itu cara membaca Candra Sangkala dimulai dari belakang, maka akan terdapat angka 835 Çaka, dan kalau dijadikan tahun masehi harus ditambah dengan 78 dan menjadi tahun 913 masehi.
Zaman pemerintahan Sri Udayana, Pura Besakih juga mendapat perhatian besar, hal ini dapat dijumpai di dalam 2 prasasti yaitu prasasti Bradah yang sekarang salinannya ada disimpan di Merajan Selonding dan Prasasti Gedung Sakti di Selat (Karangasem) yang memuat angka tahun Candra Sangkala “Nawa Sangapit Lawang dan Candra Sangkala Lawang Apit Lawang”. Kedua Candra Sangkaal ini sama artinya yaitu: nawa artinya 9, apit artinya 2 dan lawang artinya 9 (simbol 9 lobang tubuh manusia). Candra Sangkala ini menjadi angka tahun 929 Çaka dan menjadi tahun 1007 masehi. Oleh karena tahun 1007 adalah zaman Pemerintahan Udayana Warmadewa maka rupa-rupanya raja mempunyai cukup perhatian terhadap Pura Besakih.
Pada waktu pemerintahan raja-raja keturunan Sri Kresna Kepakisan, Pura Besakih mendapat pengaturan yang lebih khusus, hal ini dapat diketahui dalam raja Purana Besakih (berbentuk lontar), yang menyebutkan jenis pengaci/upacara, nama palinggih, tanah palaba (wakaf), susunan para pangemong, tingkatan-tingkatan upacara semuanya diatur dengan baik. di samping itu adanya 2 buah prasasti yang berangka tahun 1444 M dan 1454 M yang isinya mengenai pengukuhan terhadap otonomi “Desa Hila-hila Hulundang Ing Besuki” yang mana orang luar termasuk pula petugas-petugas Raja tidak boleh memungut pajak di wilayah Pura Besakih dan rakyat Besakih beretugas memelihara Pura Besakih dan palinggih Sasuhunan Kidul (Kasuhunan Kidul). Keadaan yang demikian berlangsung terus sampai jatuhnya Kerajaan Klungkung oleh Belanda tahun 1908.
Pada zaman penjajahan Belanda, pemerintah Belandapun manaruh perhatian terhadap Pura Besakih, terbukti pada tahun 1918-1923 terjadi bencana alam sehingga banyak bangunan-bangunan yang rusak; pemerintah mengadakan restorasi secara besar-besaran. Selanjutnya sesudah Indonesia merdeka, maka pemerintah daerah Bali yang menangani perbaikan-perbaikan dan upacara-upacara di Pura Besakih. Pada tahun 1967 pengawasan dan pemeliharaan terhadap Pura Besakih oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali diserahkan kepada PHDI yang kemudian dimandatkan lagi kepada Yayasan Prawartakan Pura Besakih. Oleh Prawartaka Pura Besakih dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh bencana alam (Rencana Induk Pembinaan dan Pengembangan Pura Besakih).


Besarnya perhatian pemerintah Provinsi Bali beserta Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Se-Bali, maka sampai sekarang perbaikan-perbaikan itu tetap dilanjutkan. Di samping perhatian dari lembaga Adat dan lembaga agama melalui paruman-paruman Sulinggih dan Walaka, seminar-seminar keagamaan dan paruman-paruman lainnya, maka tuntunan upacara-upacara yang harus dilaksanakan di Pura Besakih terungkap melalui sasrta dresta-nya, sehingga dilaksanakanlah upacara-upacara besar yang secara periodik dilakukan, antara lain:
1. Upacara Eka Dasa Rudra pada tahun 1979 (Çaka 1900)
2. Upacara Pancawalikrama pada tahun 1989 (Çaka 1910)
3. Upacara Candi Narmada, di Batu Klotok, Pancawalikrama ring Danu (Batur) dan Upacara Tri Bhuana pada tahun 1993,
4. Upacara Eka bhuana pada tahun 1996 di bencingah Pura Besakih sebagai rangkaian dari Uipacara Eka Dasa Rudra.
🙏🙏🙏
Sumber : DR. Dra. Relin D.E. M.Ag. 2012.TEOLOGI HINDU PURA AGUNG BESAKIH DI DESA BESAKIH, KECAMATAN RENDANG KABUPATEN KARANGASEM. INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR.

Siwaratri

 


Dalam Bhagawad Gita XVIII-5 dikatakan Kegiatan melakukan yadnya, dana punia  tapa brata jangan diabaikan melainkan harus dilakukan sebab yadnya, dana punia, dan tapa brata adalah pensuci bagi orang arif bijaksana.
       Selanjutnya brata yang utama adalah Siwaratri, dapat dilihat pada purana:
1. Skanda Purana (bagian Kedara kanda) dari percakapan para Rsi dan Lomasa, bahwa Canda membunuh berbagai mahluk, juga termasuk membunuh  Brahmana, pada akhirnya sadar (bertobat) melalui ajaran Siwaratri.
2. Garuda Purana (bagian acara kanda), Dewa Siwa menjawab pertanyaan saktinya Dewi Parwati, bahwa ajaran Siwaratri yang utama, roh terbebas dari hukuman neraka.


3. Siwa purana ( bagian jnana samhita) percakapan tentang Siwaratri antar para Rsi dan Suta, perihal kekejaman Rurudruha menjadi sadar, setelah menjalankan ajaran Siwaratri.
4. Padma Purana (bagian uttara kanda) menyampaikan percakapan antara Raja Dilipa dengan Rsi Wasista, Siwaratri adalah brata yang utama 
5. Siwaratri kalpa populer di Indonesia, ditulis oleh  Empu Tanakung tentang kisah Lubdaka yg terdiri 20 wirama.
         Perayaan Siwaratri akan memberikan harapan dituntun dari tidak benar menuju jalan yang benar, dari kegelapan  menuju cahayaMU.

Pembicara Ida Pedanda Gde Pidada
Copas Nyomn Sedana

Upacara Eka Dasa Rudra

 

Upacara Eka Dasa Rudra, sebagaimana tersurat dalam tuntunan sastra, adalah upacara Tawur yang dilaksanakan setiap 100 tahun sekali manakala angka satuan dan puluhan tahun Saka mencapai angka 0, disebut pula rah windu tenggek windu.
Di Pura Agung Besakih, sejauh catatan yang ada, Tawur Agung Eka Dasa Rudra pernah dilaksanakan tahun 1963, tepatnya pada Sukra Pon Julungwangi tanggal 9 Maret 1963. Upacara Eka Dasa Rudra 1963 yang disebut sebagai Eka Dasa Rudra paneregteg dilaksanakan karena hingga saat itu tidak diperoleh bukti catatan tentang pelaksanaan Eka Dasa Rudra pada masa-masa sebelumnya.
Tahun 1979, pada Buda Paing Wariga tanggal 28 Maret 1979, kembali diselenggarakan upacara Tawur Agung Eka Dasa Rudra. Upacara Tawur Eka Dasa Rudra 1979 ini sesuai dengan perhitungan perputaran tahun Saka saat satuan dan puluhan mencapai angka nol, yaitu pada tahun Saka 1900.
Rangkaian (dudonan) prosesi Tawur Agung Eka Dasa Rudra dilaksanakan dengan berpedoman pada sumber sastra yang ada disertai berbagai kajian para Sulinggih terhadap tata laksana yadnya Tawur. Pelaksanaan upacara diawali dengan Matur Piuning, Nuwasen Karya, Nuwur Tirtha, Melasti hingga puncak Karya Agung. Dengan waktu pelaksanaan yang berhimpitan dengan Sasih Kadasa (puncak Tawur Eka Dasa Rudra dilaksanakan pada Tilem Kasanga), pelaksanaan Eka Dasa Rudra 1979 dilanjutkan dengan upacara tahunan Bhatara Turun Kabeh pada Purnama Kadasa.
Setelah pelaksanaan upacara Tawur Agung Eka Dasa Rudra 1979, sebagaimana dengan tahun-tahun sebelumnya, di Pura Agung Besakih secara tetap diselenggarakan upacara tahunan yaitu Tawur Tabuh Gentuh pada Tilem Kasanga dan Bhatara Turun Kabeh pada Purnama Kadasa dan setiap sepuluh tahun dilaksankan Karya Agung Panca Bali Krama (tahun 1989 dan 1999).
--- Ditulis oleh Made Widnyana Sudibya 22 DESEMBER 2008 ---
------------------------------------------------
Perayaan Eka Dasa Rudra terdiri atas berbagai macam upacara dan ritual, di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Pamalik Sumpah. Tujuan upacara ini adalah supaya manusia tidak ingkar janji kepada alam dan leluhur dengan cara melaksanakan upacara korban di tujuh gunung.
b. Madu Parka. Upacara ini merepresentasikan permohonan manusia kepada Sang Pencipta supaya diberikan kehidupan yang manis dan sejahtera.
c. Ngingsah. Memiliki arti “membersihkan beras yang akan dimasak”. Beras ini nantinya akan dijadikan bahan makanan untuk para pelaku kegiatan Eka Dasa Rudra.
d. Pekelem. Tujuan upacara ini adalah untuk menanamkan rasa rela berkorban untuk alam ini dan memelihara keseimbangannya.
e. Mapepada. Ritual ini merupakan aksi arak-arakan sarana upacara menuju laut atau danau.
f. Taur Eka Dasa Rudra. Memiliki arti “korban suci untuk sebelas Dewata Agung (Rudra) yang menguasai seluruh mata angin”. Upacara ini memiliki maksud supaya kehidupan manusia senantiasa serasi dengan alam sehingga manusia selalu mendapat kehidupan yang layak dengan selalu memelihara lingkungan.


g. Mapedanan. Tujuan upacara ini adalah untuk menanamkan rasa syukur kepada Sang Pencipta alam semesta.
h. Mapeselang. Ritual ini berbeda dengan ritual yang lainnya karena bertujuan untuk istirahat dari segala prosesi ritual, diisi dengan berbagai hiburan supaya para peserta tidak merasa jenuh, antara lain berbagai jenis tarian atau pertunjukan wayang.
i. Bhatara Turun Kabeh. Memiliki arti “para Dewata sebagai sinar suci Tuhan hadir dalam upacara”.
j. Megat Sot. Tujuan upacara ini adalah sebagai pengingat manusia supaya mampu memutus ikatan keduniawian karena ikatan keduniawian akan membawa sengsara.
k. Panyimpenan. Upacara ini betujuan untuk mengingatkan manusia bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini akan senantiasa kembali ke sumber asalnya.
(Sumber : Talisha Alvini, Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 )
Foto-foto Eka Dasa Rudra diambil (scan) dari Buku "Album Eka Dasa Rudra" yang diterbitkan oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia. Foto-foto tersebut merupakan sumbangan dari berbagai pihak yang turut mengabadikan Karya Agung Eka Dasa Rudra 1979. Terbanyak dari penyumbang foto-foto tersebut adalah fotografer John Wiranatha (alm), Fred B. Eiseman Jr., Gusti Ngurah Oka Supartha (alm).

Nangluk Merana dan Panglepeh Sasih Jadi Ritual Penangkal Bala

 


Warga Desa Adat Kuta menggelar upacara Nangluk Merana dan Panglepeh Sasih berbarengan, yang dipusatkan di Pura Penataran Dalem Khayangan, Kuta, Badung, Senin (11/12) lalu. Apa sejatinya tujuan khusus dua upacara ini?

Sebuah upacara yang dilaksanakan setiap setahun sekali, tentu memiliki makna dan fungsi khusus, di samping sebagai wujud bhakti pada Bhuwana Alit dan Bhuwana Agung.

Seperti yang jelaskan Bendesa Adat Kuta, I Wayan Swarsa, terkait upacara Nangluk Merana dan Panglepeh Sasih yang digelar masyarakat Kuta di Pura Penataran Dalem Khayangan, Kuta, Badung, Senin (11/12) lalu

Dikatakan Swarsa, dalam sehari terdapat dua upacara. Yang pertama upacara Nangluk Merana dipusatkan pada Pura Segara, yang kemudian dilaksanakan pada masing-masing catus pata. “Ketika rentetan di catus pata selesai, maka akan menuju ke sini yaitu di jeroan pura. Untuk melaksanakan upacara ke dua, yaitu Panglepeh Sasih,” jelas pria yang telah lima tahun menjadi bendesa tersebut.

Swarsa mengatakan, semua prosesi tersebut diselanggarakan secara sederhana. Sebab hanya mengahaturkan banten seadanya, dan tidak terlalu besar. Selain itu, dalam pelaksanaannya masing-masing pelawatan (sasuhunan) diamong oleh krama banjar yang ada di lingkungan pura masing-masing. Yang terdiri atas tujuh pelawatan dengan banjar yang jumlahnya 14 banjar.

Pada catus pata, lanjutnya, sudah dilaksanakan setelah menghaturkan Nangluk Merana di Pura Segara. Setelah itu, dilaksanakan dengan serentak, hanya menuju Pura Penataran Dalem Khayangan, yang kemudian waktunya diatur bergiliran.

Tujuh palawatan tersebut juga diamong oleh seluruh banjar yang ada. Pada pangamong yang pertama, Banjar Plasa mendapat ngamong satu palawatan. Selanjutnya ada juga palawatan yang diamong oleh Banjar Temacun dengan Banjar Pemamoran. Palawatan ketiga diamong oleh Banjar Pande Mas Kuta. Swarsa menjelaskan, palawatan berupa Barong Singa yang berada di Puri Satria Kuta, diamong oleh Banjar Pengabetan dengan Banjar Pering.

Selanjutnya ada juga sasuhunan berupa Barong Selem yang diamong oleh Banjar Tegal.

Palawatan yang dinamai Ratu Ayu dari Pura Lamun, diamong oleh Banjar Segara. Sedangkan palawatan ketujuh berupa Barong Landung diamong oleh Banjar Segara. Setelah berkumpul, semua palawatan akan dilinggihkan, juga dihaturkan sesajen, dan krama semua akan diberi pica berupa tirta.

“Tradisi ini sudah berlangsung dari turun – temurun. Saya hanya menjalanakan ritual dan bhakti. Terlebih juga dengan gejolak Gunung Agung, agar diberikan jalan yang terbaik. Sehingga situasi jagat Bali menjadi normal,”terang Swarsa kepada Bali Express (Jawa Pos Group) di jeroan Pura Penataran Dalem Khayangan, Kuta, Badung, Senin (11/12) lalu.

Krama yang ikut prosesi upacara ini berasal dari warga dari 2268 kepala keluarga yang ada.

Swarsa juga menerangkan prosesi hanya berlangsung sehari. Jalur menuju Kuta diberlakukan sistem buka tutup, dan setelah berakhir upacara sore hari, jalur masuk Kuta sudah dibuka kembali seperti biasanya.

Ditemui pada tempat yang sama, Pemangku Pura Penataran Dalem Khayangan, Jro Mangku I Wayan Durna mengungkapkan, semua krama diberikan tirta, seusai melaksanakan prosesi upacara Nangkuk Merana dan Panglepeh Sasih tersebut. Di mana yang ia yakini sebagai tirta menolak segala bala. “Kalau sudah selesai upacara, krama semua akan diberikan pica berupa tirta. Yang dihaturkan pada kerabat keluarganya yang datang ke pura. Kalau semua krama datang ke pura kan juga tidak memungkinkan tempatnya, maka diberikan juga krama yang masih ada di rumah,” jelas Jro Mangku I Wayan Durna.

Khusus untuk di rumah warga, pada angkul-angkul dihaturkan juga sebuah sesajen, terdiri atas sanggah cucuk dan sebuah pajati, yang tujuannya untuk menetralisir mala pada pekarangan. Sebab, dalam satu hari itu di catus pata dilaksankaan nangluk merana. Jadi, pada catus pata pekarangan juga dipandang perlu diupacarai , yakni pada tengah-tengah halaman rumah,” urainya.

Ditanya pantangan dalam mengikuti tradisi tersebut, ia menjelaskan hanya yang cuntaka saja tidak diperbolehkan. Supaya tidak membuat leteh (kotor), terlebih juga sasuhunan yang ada ngider bhuana, keliling desa.

Seperti biasa, bila sasuhunan yang ada tedun, ada bebepara warga yang kesurupan. Baik itu berawal dari prosesi upacara pada catus pata, atau ketika sudah sampai di jaba pura. “Ada karena ngiring menjadi dasaran, atau kaencepang rencangan (dimasuki oleh penjaga pura) dari salah satu sasuhunan yang sedang melancaran saat itu,” imbuhnya.

Untuk menangani yang kesurupan tersebut, cukup diperciki dengan tirta. Maka mereka yang mengalami kesurupan akan kembali lagi sadar seperti biasa. Saat kesurupan, mereka akan berlari, bahkan ada juga yang teriak-teriak sambil menari, sebelum mendekati palawatan yang ada di depannya. Demi keamanan, yang kerauhan akan diawasi oleh kerabatnya dan pecalang yang sedang ngayah di sana.

Nah, jika penasaran akan tradisi Nangluk Merana dan Panglepeh Sasih di Desa Adat Kuta, harus bersabar karena dilaksanakan setahun sekali, yakni pada Kajeng Kliwon bertepatan dengan sasih kaenem yang jatuh pada bulan Desember. Tempatnya digelar di masing-masing perempatan jalan, dan upacara inti di Pura Dalem Desa Adat Kuta.

(bx/ade/bay/rin/yes/JPR) –sumber


Minggu, 26 November 2023

Tujuan dan Manfaat Ajaran Dasa Nyama Bratha (Brata) dalam Pembentukan Kepribadian dan Budi Pekerti yang Luhur



Berbahagia atau hidup selalu dalam kebahagiaan sangat didambakan oleh umat sedharma “manusia” yang masih diberikan kesempatan untuk hidup di dunia sampai saat ini. Suasana hati yang berbahagia dapat dilambangkan dengan: seperti saat bertemunya orang tua dengan anak-anak dan cucunya; merasakan tidak kekurangan segala sesuatu ‘uang’ karena nilai kebahagiaan itu tidak dapat diukur dengan banyak atau sedikitnya seseorang memiliki uang; hidup yang berfaedah serta bermanfaat bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara; selalu merasa memiliki (tenaga yang sehat, kekayaan, kerajinan, kecemerlangan dan kejernihan hati). Atas petunjuk dan tuntunan dari Sang Hyang Surya/Tuhan Yang Mahaesa, bagaimana umat dapat mencapai tujuan dan memanfaatkan ajaran Dasa Nyama Bratha untuk mewujudkan kesempurnaan batin dalam hidup ini?






Image; folkbadung
Dasa Nyama Bratha adalah ajaran yang dapat dipergunakan sebagai pegangan bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan batin melalui pengamatan hidup di dunia ini. Pegangan untuk mewujudkan kesempuraan batin yang dimaksud adalah berupa pelaksanaan dharma guna mencapai tingkatan kebahagiaan yang kekal abadi yang disebut moksa. Selama manusia hidup pengamalan ajaran Dasa Nyama Brata di dunia inilah tempatnya. Sebab dari perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari itulah dapat diketahui tingkatan keluhuran mental manusia itu sendiri. Oleh karena itu orang dapat dinilai memiliki mental baik dan sehat dapat diperhatikan dari cara seseorang berperilaku.

Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa tujuan dari pada ajaran Dasa Nyama Bratha adalah untuk mewujudkan kesempurnaan batin (bahagia - abadi - moksa) melalui pengamatan dan pengamalan hidup di dunia ini dengan melaksanakan dharma serta berkepribadian luhur. Manfaat dari ajaran Dasa Nyama Bratha adalah sebagai media pembelajaran, pendidikan, pendalaman, pengamalan ajaran Agama Hindu dalam mewujudkan umat sedharma yang berkepribadian luhur berlandaskan pelaksanaan dharma guna mencapai tingkat kebahagiaan batin yang kekal abadi yang disebut moksa. Berikut ini adalah pelaksanaan dharma berdasarkan ajaran dasa nyama bratha yang bermanfaat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” adalah dengan melaksanakan:



1. Dana berarti pemberian-pemberian makanan dan minuman, dan lain-lainnya


Dana Artinya suka berderma (bersedekah) berupa makan dan minum dan bentuk pemberian lain yang sejenis dengan itu. Memberikan dana kepada orang lain berarti orang telah dapat meringankan beban penderitaan orang lain. Membantu seseorang yang sedang dan sangat memerlukan untuk menyambung hidupnya adalah perbuatan yang mulia, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 314).


Dalam hidup dan kehidupan ini seseorang harus saling bantu membantu karena setiap orang mempunyai kelemahan-kelemahan sendiri yang harus dibantu oleh orang lain. Apalagi kalau kita renungkan bahwa sebagian besar kebutuhan hidup ini kita didapati dari orang lain, seperti perabot rumah tangga, barang-barang dari besi, makan, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Dalam hidup bersama ini orang tidak dibenarkan mementingkan diri sendiri dengan menginjak- injak, menindas yang lain. Memberikan dana puniya dengan sesama adalah merupakan kewajiban hidup sebagai manusia. Kitab suci veda menjelaskan sebagai berikut;


"Na màtà na pità kiñcit kasyacit pratipadate,
dàna pathyodano jantuh swakarmaphalamacnute.
Ika tang dàna, tan bapa, tan ibu, umukti phalanika, anghing ika wwang gumawayaken ikang dànapunya, ya juga umukti phalanikang danapunya".

Terjemahan:


"Itulah hakikat suatu dana, bukan si bapa, bukan si ibu yang menikmati pahalanya, melainkan hanya orang yang melakukan kebajikan berdana puniya itu, dia saja yang akan menikmati pahala dari berbuat dana punia itu", (Sarasamuscaya, 169).


Manfaat dari ajaran Dana (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat suka berderma (bersedekah) berupa makan dan minum dan bentuk pemberian lain yang sejenis dengan itu.



2. Ijya berarti pujaan kepada Deva, kepada leluhur, dan lain-lainnya


Ijya artinya pemujaan kepada para Deva, leluhur dan pemujaan lainnya yang sejenis dengan itu. Di samping pemujaan kepada Tuhan, maka pemujaan kepada para Deva dan leluhur pun hendaknya dilakukan oleh seseorang yang berkecimpung dalam hidup suci. Kita percaya dan yakin bahwa Deva itu manifestasi Tuhan, dan melalui bantuan manifestasi Tuhan itulah maka manusia adalah memohon dan menikmati berkahnya. Pemujaan itu pula dilakukan oleh para leluhur untuk memohon doa restu-Nya agar sehat dan sejahtera di dunia. Kitab suci veda menjelaskan sebagai berikut;


"Mayi sarvàói karmàói saònyasyàdhyàtma-cetasà, niràúir nirmamo bhùtvà yudhyasva vigatajvaraá," (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 315).


Terjemahan:


"Pasrahkan semua kegiatan kerjamu itu kepada-Ku, dengan pikiran terpusat pada sang àtma, bebas dari nafsu keinginan dan ke-akuan, berperanglah, enyahkanlah rasa gentarmu itu", (Bhagavadgita. III. 30).


Sebagai pemuja yang baik adalah tulus, lepas, menyerahkan sepenuhnya kehadapan-Nya beserta prabhawa. Yakinlah bahwa beliau Sang Pencipta Mahatahu, pemurah dan penyayang kepada ciptaan-Nya.


Manfaat dari ajaran Ijya (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur untuk mewujudkan kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat pemuja Tuhan Yang Maha Esa, para Deva, para leluhur, dan pemujaan lainnya yang sejenis dengan itu.


3. Tapa berarti pengekangan hawa nafsu jasmani


Tapa berasal dari kata “tap” artinya mengekang, mengendalikan hawa nafsu agar memperoleh hidup suci. Tapa merupakan salah satu keimanan dalam ajaran Agama Hindu, sebab dengan tapa itu umat Hindu dapat meyakini suatu cita-cita atau tujuan dapat tercapai melalui pelaksanaan tapa itu. Misalnya melalui pengekangan nafsu jasmaniah seseorang dapat mengurangi porsi makanan yang dimakan setiap hari. Cara ini bertujuan untuk mengendorkan gejolak emosi seseorang dapat berpikir dengan tenang.


"Widyām mānāwamānābhyāmātmānam tu pramādatah.
Nihan tang kayatnākena ikang tapa raksan, makasādhana kapa-demaning krodha ika, kuneng hyang çrī, pademning īrsyā pangraksa
ri sira, kuneng sang hyang aji, pademning ahangkāra mwang awa-mana pangraksa ri sira, yapwan karaksanyawakta, si tan pramada sadhana irika", (Sarasamuccaya 103)


Terjemahan:


"Inilah hendaknya engkau perhatikan, pegang teguh tapa dengan jalan memunahkan nafsu amarah itu, adapun Devi Sri (kebahagiaan tertinggi) melalui pengendalian kedengkian (sebagai) penyelamat-Nya, adapun ilmu dharma sastra pemunah keakuan dan lenyapnya kecongkakan yang ada pada dirinya, karena itu supaya engkau menjaga dirimu, orang yang tidak lalai merupakan jalan baginya di situ," (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 316).

Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan

Manfaat dari ajaran Tapa (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat pengekangan atau memunahkan nafsu amarah.


4. Dhyana berarti merenung memuja Tuhan


Dhyana artinya tekun merenung dan memusatkan pikiran kepada Tuhan sebagai usaha tercapainya kesatuan antara pikiran dengan Tuhan. Usaha tersebut bertujuan untuk tercapainya kondisi mantap dalam konsentrasi sebagai dasar memperoleh kesucian batin. Kondisi ini akan diperoleh secara bertahap, melalui dari tingkatan pemusatan dengan waktu yang singkat sampai dengan tenggang waktu cukup lama. Akhirnya karena sudah terbiasa, maka makin hari makin mencapai tingkat konsentrasi yang makin lama dan mantap, lalu mencapai tingkat semadhi.


Namun demikian menyadari akan kekurangsempurnaan manusia ketika seseorang didorong oleh insting mengarahkan pikiran kepada benda- benda menyenangkan tanpa didasari pengertian kesadaran, atau ketika jiwa pada akhirnya menjadi kasar karena selalu melekat pada motivasi yang mementingkan diri sendiri, apakah ketika itu berpikir menyakiti orang lain atau tidak, maka ketika itupun jiwa kita telah rusak.


Keadaan yang menyebabkan terjadinya kerusakan jiwa ini tidak lain dari kekotoran dan kekeruhan pikiran. Sama seperti pakaian dan rumah yang akan menjadi kotor dalam sekejap ketika bertiup angin kencang. Orang harus selalu waspada terhadap badai nafsu yang melanda dan berusahalah untuk menekan ego yang ada dalam diri. Karena suatu keadaan pikiran akan sangat tercermin melalui perkataan dan perbuatan, jadi dengan selalu berbuat dan berkata yang jujur sudah tentu mencerminkan pikiran yang bersih. Kitab suci veda menjelaskan sebagai berikut;


“Teûu samyag warttamāno gacchatya mara lokatām, yathā samkalpitāýúceha sarvān kāmān samaúnute”.


Terjemahan:


"Ketahuilah bahwa ia yang selalu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah diatur dengan cara yang benar, mencapai tingkat kebebasan yang sempurna kelak dan memperoleh semua keinginan yang ia mungkin inginkan", (Manawa Dharmasastra, II.5), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 317).


Sesungguhnya semua yang kita lakukan dalam pengabdian hidup ini telah ada yang menentukan ‘Sang Hyang Widhi Wasa’. Kewajiban kita adalah hanya berbuat/melaksanakannya apa yang patut dilaksanakan, akan semuanya itu adalah sudah menjadi kehendaknya. Beliau tidak akan pernah melupakan apa yang dilakukan oleh umat-Nya. Oleh karena itu pujalah Tuhan sesuai petunjuk yang telah ada.


Manfaat dari ajaran Dhyana (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat suka merenung untuk memuja Deva Siwa sebagai wujud keyakinan kita semua.



5. Swadhyaya berarti mempelajari Veda


Swadhyaya artinya yakin mempelajari kitab suci Veda. Mempelajari kitab suci kerohanian bagi mereka yang berkecimpung dalam hidup suci adalah kewajiban. Di dalam kitab kerohanian terdapat tuntunan atau petunjuk bagi mereka yang sedang akan menjalani hidup suci. Dalam berbagai jenis kitab Veda terdapat penuntun untuk menempuh kehidupan suci. Kitab yang dimaksud menjelaskan sebagai berikut:


"Na karmanàm anàrambhàn Naishkarmyam purusho’snute, Na cha samnyasanàd ewa Siddhim samadhigachchhati".


Terjemahan:


"Orang tidak akan mencapai kebebasan karena diam tiada bekerja juga ia takkan mencapai kesempurnaan karena menghindari kegiatan kerja", (Bhagawadgita. III. 4)


Dalam sloka selanjutnya disebutkan:


"Yajñàrthàt karmano ‘nyatra Loko ‘yam karma bandhnah, Tadartham karma kaunteya Mukta saògah samàçhara".


Terjemahan:


"Kecuali tujuan berbhakti dunia ini dibelenggu oleh hukum kerja karenanya, bekerjalah demi bhakti tanpa kepentingan pribadi, oh Kunti Putra", (Bhagawadgita. III. 9), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 318).


"Båhaspate pratamaý vàco agraý yat prairata nàmadheyaý dadhànaá, yad eûàý sreûtaý yad aripram àsit prenà tad eûàý nihitaý guvàviá. saktum iva titaunà punanto yatra ghirà manasà vàcam akrata,
atrà sakhàyaá sàkhayàni janàte bhadraiûaý lakûmiá nihitàdhi vàci".


Terjemahan:


"Sabda pertama dan yang utama, ya Brihaspati, yang disampaikan kepada orang-orang suci, menyebut nama-Nya sabda yang mulia, tiada cahaya yang diungkapkan dengan cinta kasih mengungkapkan yang maha suci dan gaib. Dan mereka mengucapkan sabda itu, tersaring dalam batin, seperti mereka mengayak tepung dengan ayakan, disitulah terjadi ikatan persahabatan, dalam sabda itulah terkandung keindahan", (Ågveda X. 71. 1. 2).


Demikianlah sabda Tuhan Yang Maha Esa, yang patut kita camkan bersama untuk memelajari, memedomani, mendalami, dan menerapkan ajaran- Nya yang mulia ini. Manfaat dari ajaran Swadhyaya (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat suka mempelajari Veda dan kita yang sejenis dengan itu.

Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan

6. Upasthanigraha berarti pengekangan nafsu kelamin


Upasthanigraha berarti pengekangan upastha (alat kelamin) dari nafsu birahi. Upaya untuk mendapatkan kesucian jiwa bagi umat sedharma yang ingin menjalani hidup suci, maka pengekangan jiwa atas nafsu birahi hendaknya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Seseorang yang selalu mengumbar hawa nafsunya adalah sebagai akibat dari yang bersangkutan telah tahu dan merasakan nikmatnya birahi itu, sehingga selalu dipenuhi keinginan seksual- nya dengan berbagai cara yang akhirnya sampai menjadi pemerkosaan. Memperkosa sering disebut berzinah, termasuk sikap-mental yang tidak terpuji. Berzinah merupakan perbuatan yang sangat hina dan terkutuk. Perbuatan ini harus dikendalikan karena bisa menimbulkan kemerosotan moral. Berzinah artinya sikap suka memperkosa wanita atau istri orang lain. Adapun yang termasuk perbuatan berzinah (paradara) antara lain :


a. Mengadakan hubungan kelamin dengan istri/suami orang lain.
b. Mengadakan hubungan kelamin (seksual) antara pria dengan wanita dengan cara-cara yang tidak sah.
c. Mengadakan hubungan kelamin dengan paksa, artinya tidak atas dasar cinta (memperkosa).
d. Mengadakan hubungan kelamin yang dilarang oleh agama, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 319).


Larangan melakukan zinah itu adalah sangat wajar, karena kalau itu dibiarkan maka kemerosotan moral akan semakin merajalela dan memuncak. Semakin banyak kasus pelacuran terjadi maka kehidupan kita sebagai manusia yang menjunjung tinggi budaya dan agama akan menjadi hancur. Dengan berbuat seperti itu menandakan sebagai jiwa manusia yang tetap terikat oleh duniawi. Oleh sebab itu yang bersangkutan harus cepat-cepat mengendalikan nafsu birahi agar segera memperoleh kehidupan suci. Kehidupan yang suci sebagaimana tertulis dalam kitab suci veda yang menyatakan sebagai berikut ;


"Tadvajjàticatairjivah ûuddhyate’lpenà karmanà, yatnena mahatà càpi kyekajatàu viçuddhyate.
Mangkana tang hurip, an ûinocan pinakaûuddhi, kinlabakëràgàdi malanya, yan alpayatna ngwang, alawas ya tan çuddhya, yapwan tibrayatna ngwang, kumlabakë malanya, enggal ûuddhinya".


Terjemahan:


"Demikian jiwa itu, yang dibersihkan agar menjadi suci, dikendalikan nafsu birahi itu dan segala nodanya, jika kurang giat dan pandai melaksanakannya, lemahlah jiwa itu tidak menjadi suci, beratus-ratus kelahiran lamanya, sebelum jiwa itu menjadi suci, jika ia pandai dan sangat giat melenyapkan nodanya, cepatlah suci jiwa itu", (Sarasamuçchaya, 406).


Makna sloka suci patut dipedomani oleh setiap umat sedharma yang mengupayakan kesucian moralnya untuk mempercepat usahanya dapat mewujudkan kesempurnaan batin yang dicita-citakannya.


Manfaat dari ajaran Upasthanigraha (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat pengendalian atau pengekangan nafsu birahi yang ada pada pribadinya.


7. Bratha berarti pengekangan nafsu terhadap makanan


Bratha adalah pengekangan nafsu dalam mengonsumsi makanan dan minuman. Seseorang atau umat sedharma yang bercita-cita untuk mencapai kesucian jiwa hendaknya mampu membatasi diri untuk mengonsumsi makanan dan minuman dari segi jumlah maupun mutunya. Seperti membatasi makanan yang berlebihan, membatasi makanan yang mengandung bahan kimia, makan pedas, makan yang terlalu manis dan sebagainya. Mengonsumsi makanan yang berlebihan sangat memengaruhi perkembangan jasmani dan rohani yang mengonsumsinya, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 320).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

"Yathà yathà prakstànam ksetrànàm sasyasampadah, Sàkhà phalabhàrena namrah sadhustathàtathà.
Paramàrthanya, upasama ta pwa sang sàdhu ngaranira, Tumukul dening kweh gunanira, mwang wruhnira, kadyangga ning pari,tumungkul dening wwahnya,
mwang pang ning kayu, tumungkul de ning tob ning phalanya", (Sarasamuscaya, 308).


Terjemahan:


"Kesimpulannya, sabar dan tenang pembawaan sang sadhu, merunduk karena banyak kebajikan dan ilmunya, sebagai halnya padi runduk karena beratnya buahnya dan dahan pohon kayu itu runduk, disebabkan karena lebat buahnya".


Manfaat dari ajaran Brata (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat suka melakukan pengekangan nafsu terhadap makanan.

Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan

8. Upawasa berarti pengekangan diri


Upawasa adalah berpuasa. Cara ini banyak ragamnya, ada puasa makan minum, puasa tidak tidur, puasa melihat, puasa tidak bicara, tidak bepergian, tidak bekerja dan sebagainya. Khusus untuk umat Hindu jenis puasa ini pelaksanaannya dirangkaikan dengan pelaksanaan hari raya, seperti Nyepi, Siwaratri. Misalnya dalam pelaksanaan upawasa nyepi, umat Hindu berkumpul pada suatu tempat yang suci yang telah disepakati dengan harapan puasanya menjadi lebih mantap dan khusuk. Adapun jenis puasa pada hari nyepi umumnya:


a). Puasa makan dan minum
b). Tidak bekerja
c). Tidak tidur (melek)
d). Tidak bepergian, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 321).


Tujuan pokok keempat puasa ini dimaksudkan untuk mendukung keberhasilan meditasi (semadhi) yang merupakan acara pokok dari perayaan hari nyepi.


Bratha penyepian telah dirumuskan menjadi Catur Bratha Penyepian, yang terdiri dari;


a). Amati geni yakni tidak menyalakan api termasuk memasak, itu berarti melakukan upawasa (puasa).
b). Amati karya yakni tidak bekerja, menyepikan indria.
c). Amati lelungan berarti tidak bepergian termasuk tidak keluar rumah.
d). Amati lelanguan berarti tidak menghibur diri.


Pada prinsipnya, saat nyepi panca indria umat sedharma hendaknya diredakan dengan kekuatan manah dan budhi. Dengan meredakan nafsu indria itu umat sedharma dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup ini semakin meningkat. Melaksanakan pengendalian diri pada saat nyepi adalah merupakan kewajiban bagi umat sedharma. Kitab Sarasamuscaya menjelaskan sebagai berikut;


"Àryavåttamidaý vrttamiti vijñàya sàsvatam, santah Paràrthaý, kurvànà nàveksante pratikriyàm.
Tatan pakanimittha hyunira ring pratyupakàra sang sajjana ar gawayaken ikang kaparàrthan, kunang wiwekanira, prawrtti sang sadhu ta pwa iki, maryada sang mahapurusa, mangkana juga wiwekanira, tan prakoseka ring phala".


Terjemahan:


"Bukan karena keinginanannya akan pembalasannya, sang utama budi mengusahakan kesejahteraan orang lain, melainkan karena hal itu telah merupakan keyakinannya. Pembawaan sang sadhu memang demikian. Itulah ciri orang yang berjiwa besar. Demikianlah keyakinan beliau, tidak memandang akan buah hasilnya" (Sarasamuscaya, 313).


"Caritraniyatà ràjan ye krsàh krsavrttayaá, Arthinascopacchanti tesudattam mahà phalam.
Lwirning yukti ikang wehana dana wwang suddhàcara, wwang daridra, tan panemu ahara, wwang mara angegong harep kuneng, ikang dana ring wwang mangkana agong phalanika", (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 322).


Terjemahan


"Orang yang diberikan dana, ialah orang yang berkelakuan baik, orang miskin, yang tidak memperoleh makanan, orang-orang yang benar mengharapkan bantuan, pemberian dana kepada orang yang demikian besar pahalanya", (Sarasamuscaya,187).

Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan

Manfaat dari ajaran Upawasa (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat suka melakukan pengekangan diri.


9. Mona berarti tidak bersuara


Mona artinya tidak berkata, membatasi bersuara. Dalam kehidupan sehari – hari mona tidak diartikan tidak berkata-kata sama sekali, melainkan adalah kata-kata itu harus dibatasi dalam batasan-batasan kewajaran. Misalnya dianggap wajar bila berkata baik dan benar, berkata menyenangkan orang lain bila didengar.


Dalam perilaku hidup suci upaya membatasi kata-kata itu memang penting, sebab dari kata atau suara itulah seseorang akan disenangi atau tidak, dari kata atau suara itulah akan terletak celaka tidaknya seseorang. Terutama dari kata atau suara itulah akan terdapat kebahagiaan, kedamaian rohani. Orang yang ternoda rohaninya, dia sendiri akan merasakan ketidak- tenteraman dalam batinnya. Lebih-lebih kata-kata itu sengaja diucapkan agar orang lain sakit hati. Sikap demikian itu sama saja membikin batin sendiri ternoda. Selama ucapan itu ternoda maka selama itu pula batin menjadi tidak damai. Minimal ia akan selalu menimbang-nimbang kata yang telah diucapkan. Hal ini tak dapat dihindari, karena semua manusia punya perasaan, pikiran yang selalu membututi dan ikut menimbang-nimbang ucapan yang telah dikeluarkan. Perasaan dan pikiran inilah akan selalu membayangi kehidupan suasana batin tidak tenang.



Berkata-kata baik, menyenangkan, bermanfaat, penuh makna dan suci disebut wacika. Wacika adalah perkataan yang baik (suci). Kata-kata ibarat pisau bermata dua, di satu pihak akan bisa mendatangkan kebaikan dan di lain pihak akan bisa mendatangkan penderitaan bahkan kematian, seperti termuat dalam kitab Nitisastra sargah V.3 sebagai berikut:


“Wasita nimittanta manemu laksmi, Wasita nimittanta pati kapangguh, Wasita nimittanta manemu dukha, Wasita nimittanta manemu mitra”, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 323).


Terjemahan


"Oleh perkataan engkau akan mendapat bahagia, oleh perkataan engkau akan menemui ajalmu, oleh perkataan engkau akan mendapatkan kesusahan, oleh perkataan engkau akan mendapatkan sahabat".


Demikianlah akibat dari perkataan yang diucapkan ada yang baik dan ada yang buruk. Kata-kata kotor atau buruk disebut Mada (dalam Tri Mala). Kata-kata yang kotor seperti raja pisuna (fitnah), wak purusa (berkata kasar), berbohong dan sebagainya tidak usah dipelihara, sebab hal tersebut akan bisa mendatangkan penderitaan bahkan lebih fatal lagi bisa menyebabkan kematian. Oleh karena itu marilah kita sucikan wak/kata-kata sehingga menjadi “wacika” yaitu kata-kata yang suci, karena kata-kata yang suci ini akan dapat mengantarkan kita kepada sahabat atau mitra dan kepada kebahagiaan atau laksmi. Ada empat cara (karma patha) untuk menyucikan perkataan yaitu :


a. Tidak berkata jahat (ujar ahala). Kata-kata jahat yang terucap akan dapat mencemarkan vibrasi kesucian, baik kesucian yang mengucapkan maupun yang mendengarkan. Karena dalam kata-kata yang jahat itu ada gelombang yang mengganggu keseimbangan vibrasi kesucian.


b. Tidak berkata kasar (ujar akrodha), seperti menghardik, mencaci, mencela. Kata-kata kasar itu sangat menyakitkan bagi yang mendengarkan dan sesungguhnya akan dapat mengurangi vibrasi kesucian bagi yang mengucapkan. Perlu diperhatikan, meskipun niat baik, kalau diucapkan dengan kata-kata yang kasar maka niat baik itu akan turun nilainya (menjadi tidak baik). Bagi yang mempunyai kebiasaan berkata kasar, berjuanglah untuk mengubahnya.


c. Tidak memfitnah (raja pisuna). Ada pepatah mengatakan fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Dalam persaingan hidup orang sering mengalahkan persaingan dengan cara memfitnah agar lawan dengan mudah dikalahkan. Salah satu sifat manusia yang dapat menimbulkan akibat negatif adalah yang disebut “distingsi” yaitu suatu dorongan untuk lebih dari orang lain. Kalau ia tidak mampu berbuat lebih dari kenyataan maka fitnahpun akan dipakai senjata agar ia kelihatan lebih dari yang lain. Cegahlah lidah agar tidak mengucapkan kata-kata fitnah.


d. Tidak mengeluarkan kata-kata yang mengandung kebohongan. Kebiasaan berbohong ini juga sering didorong oleh nafsu distingsi tadi. Agar ia kelihatan lebih dari orang lain berbohongpun sering dilakukan. Berbohongpun sering dilakukan untuk menutupi kekurangan diri. Menghilangkan kebiasaan berbohong memang susah, namun ini haruslah dibiasakan untuk rela menerima apa adanya sesuai karma kita, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 324).


Demikianlah empat hal yang harus dibiasakan agar tidak keluar dari lidah kita kata-kata yang tidak baik atau menyakitkan. Untuk melatih itu biasakanlah menyanyikan nama-nama Tuhan atau Dharmagita atau Mantram-mantram tertentu secara terus menerus, sampai kebiasaan ‘kurang baik’ itu dapat dihapuskan. Hal ini memang memerlukan kesungguhan, karena mengubah kebiasaan jelek memang tidak mudah. Kebaikan itu hanya dapat diwujudkan dengan cara membiasakannya sampai melembaga dalam tingkah laku. Pada mulanya memang dirasakan beban, tetapi lama-kelamaan akan menjadi kebutuhan. Orang suci sudah menjadi kewajibannya untuk selalu bertutur- kata suci, oleh karenanya kebahagiaan batin itu dapat terwujudkan.


Manfaat dari ajaran “mona” (dalam ajaran Dasa Nyama Bratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat selalu mengusahakan untuk berbicara yang baik dan suci.

Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan

10. Snana berarti melakukan pemujaan dengan Tri Sandhya


Snana artinya tekun melaksanakan pembersihan dan penyucian batin dengan sembahyang tiga kali sehari atau tri sandhya. Melaksanakan tri sandhya bila dicermati suasana pelaksanaannya, sesungguhnya adalah dasar dari dhyana. Biasanya seseorang sebelum secara tekun dapat melakukan dhyana maka tingkatan dasar (tri sandhya) dilakukan terlebih dahulu. Praktik ini diawali dengan membersihkan badan, seperti mandi. Aktivitas antara mandi dengan tri sandhya sangat erat hubungannya, di mana dengan membersihkan badan terlebih dahulu pelaksanaan tri sandhya itu akan menjadi lebih mantap. Dengan kata lain terbiasa membersihkan diri, badan, mandi sebelum akan melakukan pemujaan ke hadapan-Nya dapat mendukung suksesnya sembahyang dengan baik. Seperti yang telah terbiasa dipraktikkan atau dilaksanakan oleh umat sedharma dalam memuja isthaDevata, panca sembah atau kramaning sembah dilaksanakan setelah melakukan pemujaan dengan mantram tri sadhya bersama.


Kitab suci veda menjelaskan sebagai berikut;


"Sarvà pavitrà vitatà-adhyasmat".


Terjemahan:


"Semua hal (benda) yang suci mengelilingi kita", (Atharvaveda VI.124. 3), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 325).


Dengan kesucian diri dan hati dapat menyebabkan seseorang memperoleh kebahagiaan, menghancurkan pikiran atau perbuatan yang tercela. Orang yang memiliki kesucian hati mencapai sorga dan bila kita berpikiran yang jernih serta suci, maka kesucian akan selalu melindungi kita. Kesucian atau hidup suci telah diamanatkan sebagai sarana untuk mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu ada baiknya sebagai umat sedharma selalu terjaga untuk hidup suci.


Manfaat dari ajaran Snana (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat kesucian yang secara tekun melakukan pemujaan dengan ‘Tri Sandhya, dan do’a sehari-hari’ yang lainnya.


Ajaran Dasa Nyama Bratha yang terdapat dalam sloka kitab Saracamucchaya, adalah merupakan pegangan hidup bagi umat sedharma yang hendak mencapai kesempurnaan batin. Upaya itu dapat dicapai ‘moksa‘kehidupan yang abadi melalui pengamalan hidup di dunia dengan berlaksana yang benar. Dunia ini tempat berbuat, oleh sebab itu perilaku sehari-hari yang ditampilkan oleh umat sedharma dapat dijadikan ukuran sampai di mana tingkat kesempurnaan jiwa-nya. Seseorang dalam hidupnya. Dalam pengamalannya keluar, maka sebelumnya orang hendaknya mengadakan pembenahan ke dalam diri sendiri terlebih dahulu, baru mengadakan pembenahan ke luar diri. Hal ini wajar karena bagaimana orang dapat membenahi orang lain jika dirinya belum dibenahi.


Atma merupakan percikan terkecil dari Brahman yang sudah memasuki tubuh sehingga menimbulkan adanya penghidupan, dan gerak yang disemangati oleh atma itu sendiri. Ia menjadi pelaku lima klesa atau sumber kesedihan yakni avidya (ketidaktahuan), asmita (kesombongan/ keakuan), Raga (keterikatan dan kesukaan), Dvesa (kemarahan, keserakahan) dan Abhinivesa (ketakutan yang berlebihan terhadap kematian). Selama adanya perubahan dan kegoncangan pada pikiran, selama itu pula atma terpantulkan pada perubahan-perubahan itu. Dan untuk melepaskan atma dari cengkeraman lima klesa tersebut di dalam yoga dapat dilakukan dengan disiplin kriya-yoga di mana kriya-yoga sekaligus membawa pikiran pada keadaan Samadhi. Di dalam Kriya-yoga itu sendiri di antaranya berisikan beberapa aktivitas yaitu: tapas (kesederhanaan), svadhyaya (mempelajari dan memahami kitab suci), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 326).

Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan

Akal atau budi merupakan azas kejiwaan namun bukan merupakan roh yang memiliki kesadaran. Ia yang halus dari segala proses kecakapan mental untuk lebih mempertimbangkan dan memutuskan segala sesuatu yang diajukan oleh indria yang lebih rendah, namun ia (budi). Sebagai azas kejiwaan atau psikologis, ia memiliki sifat jnana (pengetahuan), dharma (kebajikan, tidak bernafsu / wairagya) dan aiswarya (ketuhanan). Namun terkadang suara-suara kebajikan yang keluar dari budi itu sendiri masih belum mampu mengalahkan kuatnya pengaruh daripada indria-indria yang ada pada diri kita sehingga timbul perbuatan yang tidak sesuai dengan apa yang dikatakan oleh budi itu sendiri. Melalui kebijaksanaan yang dapat kita peroleh dengan jnana atau pengetahuan akan dapat membersihkan akal itu sendiri sehingga sinar sattva mampu merefleksikan kesadaran jiwa (purusha) itu sendiri, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 327).


Renungan Ågveda X. 37. 7


"Viúvàhà tvà sumanasah sucaksasah, prajàvanto anamivà anàgasah. udyantaý tvà mitramaho divedive, jyogjivàh prati paúyema sùrya".


Terjemahan:


"Sang Hyang Surya, semoga kami dalam suasana hati yang berbahagia, dalam pandangan yang bagus, mempunyai anak cucu yang baik, dalam kesehatan yang bagus, dalam keadaan tanpa dosa, senantiasa menghaturkan persembahan kepadamu. Sang Hyang Surya, yang berfaedah untuk semua sahabat, hendaknyalah kami melihat engkau yang terbit terus-menerus".

Referensi

Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015