Senin, 25 Maret 2024

Gebogan

 


Inti dari banten Gebogan adalah Panca Rengga, yakni lima macam buah-buahan yang berasal dari lima jenis kelahiran. Mulai dari buah yang berasal dari bunga hingga buah yang berasal dari akar tanaman.
Panca Rengga
terdiri dari unsur buah-buahan yang dalam keberadaannya atau kelahirannya berbeda-beda. Ida Rsi mencontohkan, buah yang lahir dari bunga seperti mangga, apel, jeruk, jambu. Selanjutnya adalah buah yang ada sekali berbuah, pohonnya langsung mati, seperti pisang.
Yang ketiga adalah buah yang lahir langsung dari pohonnya, di antaranya nangka, durian, duku atau leci.
Selanjutnya adalah buah bersisik, seperti nanas, salak, buah naga. Yang terakhir adalah buah yang berasal dari akar, seperti bengkuang, sabrang, dan ketela.
Gebogan ini, juga wajib menggunakan penganan, yang dalam tradisi umat Hindu di Bali biasanya menggunakan jajan Begina dan jajan Uli yang terbuat dari ketan.
Gebogan ini berisikan canang atau sampian yang umumnya disebut dengan Sampian Gebogan.
Selain itu, Gebogan juga berisikan hiasan berupa bunga yang ditusukan pada bagian atas.


WAJIB BACA MANTRA BANTEN SAIBAN /NGEJOT

 


Semoga bermanfaat bagi semeton Hindu tatkala ngaturang saiban/ngejot.
DAPUR TEMPAT BERAS:
Om Sri Dewya Namah Svaha.
TUNGKU/JALIKAN/KOMPOR:
Om Sanghyang Tri Ageni Ya Namah Svaha.
TEMPAT AIR/GENTONG:
Om Gangga Dewya Namah Svaha.
PELANGKIRAN:
Om Om Dewa Datta Ya Namah Svaha.
SUMUR:
Om Ung Visnu Ya Namah Svaha.
KEMULAN/RONG TIGA.
Om Ang Ung Mang Paduka Guru Ya Namah Svaha.
TAKSU:
Om Ang Ung Mang Paduka Guru Ya Namah Svaha.
SRI SEDANA:
Om Kuwera Dewa Ya Namah Svaha.
TUGU CAPAH:
Om Sanghyang Durga Maya Ya Namah.
PENGLURAH:
Om Anglurah Agung Begawan Penyarikan Ya Namah Svaha.
TUGU PENUNGGUN KARANG:
Om Ang Ung Mang Paduka Guru Ya Namah Svaha.
PANGIJENG:
Om Sanghyang Indra Belaka Ya Namah Svaha.
PENGADANG-ADANG:
Om Sang Maha Kala, Nandi Kala Boktya Namah.
PINTU MASUK:
Om Sang Hana Dora Kala Ya Namah.
TEMPAT ARI-ARI:
Ih, Anta, Preta, Bhuta, Kala Dengen Ya Namah.
.
.
Sumber facebook
Photo By @rynachataryna


Minggu, 24 Maret 2024

MENCARI PEDHARMAN DAN KAWITAN

 

 
Antara ketemu dan belum ketemu
Oleh : Bli I Wayan Kaler
Sugra Pekulun
Dumogi ten keni Upadrawa Raja Pinulah
Ada yang unik saat Sembahyang ke Pura Besakih, baik saat Odalan maupun saat Tirtha Yatra bersama Rombongan. Yang unik adalah tradisi yang sudah berjalan ratusan tahun yaitu Sembahyang ke Pura Pedharman sebelum ke Pura Penataran Agung Besakih atau ke Pura yang lain.
Jaman dulu, yang tidak tahu Pura Pedarman nya akan menunggu Teman - teman yang lain yang sedang sembahyang di Pura Pedharman nya masing masing, setelah itu barulah bersama sama sembahyang ke Pura Penataran Agung Besakih atau ke Pura yang lain. Jaman Sekarang, bagi yang tidak tahu Pedarman nya, mungkin akan langsung mengambil Smartphone bertanya ke Keluarga, “ Hallo Ajik / Biang / Meme / Bapa dija nika Pura Pedarmane ? , Pura Pedarman napi wastane ?, mungkin itu kata kata nya.
Yang sering menjadi pertanyaan, apakah Semua Orang Hindu Bali punya Pura Pedarman, baik di Desa Besakih maupun di Luar Desa Besakih ?
Jawabannya menurut saya adalah Ya dan Tidak atau Belum ketemu dan tentu memerlukan waktu berjam jam kalau didiskusikan
SEJARAH PURA PEDHARMAN
Sangat sulit mencari sumber bacaan yang sahih tentang Sejarah Pura Pedharman. Tetapi kita akan coba menelisik dari awal. Yang Pertama yaitu Apa itu Pura Pedarman. Mungkin bisa dijabarkan :
Pura = Tempat Suci Hindu Bali.
Pedharman = Dharma.
Dalam Kamus Bali Kuno, ada beberapa arti kata Dharma yang berarti Bangunan Suci, seperti : Dharma Hanar, Dharmakuta, Dharmarupa, Dharmaryya, Yang berarti Tempat Bhatara dipuja, Pertapaan, Pesanggrahan dan Tempat tinggal Pendeta. Kalau kita imbuhkan Awalan dan Akhiran, Dharma = Pedharman, Didharmakan = Dilinggihkan atau lebih mirip dengan Penyawangan. Jadi Roh Leluhur yang telah Suci dilinggihkan dan dipuja di Bangunan Suci ( Pura ).
Tidak satupun Prasasti Bali Kuno menyebut Pura Pedarman, dari yang paling Tua ( Prasasti Sukawana AI Tahun Saka 804 ) sampai yang paling Muda ( Prasasti Pejeng C Tahun Saka 1264 ). Saat itu Bangunan Suci belum disebut Pura, tetapi disebut dengan berbagai sebutan seperti : Ulan, Hyang Api, Partapanan, Satra, Tirtha, Sanghyang Katyagan, Meru, Stapaka, Kahyangan Walyan dan mungkin ada sebutan yang lain.
Walaupun Pedharman tidak disebut, tetapi ada sebutan yang mengarah pada Tempat Suci mirip Pedharman atau Candi kalau diterjemahkan. Kata yang dimaksud adalah “ Lumah “. Dalam Kamus Bahasa Bali Kuno, Lumah berarti Mangkat / Meninggal / Dicandikan. Dicandikan disini juga tidak dijelaskan, apakah dikubur apakah hanya Roh Suci nya yang dilinggihkan dan dipuja. Banyak Prasasti Bali Kuno menyebut kata Lumah, seperti :
“ Sang Lumah di Air Madatu “
Sang Lumah di Air Madatu atau Raja yang dicandikan di Air Madatu tertulis dalam Prasasti Kintamani A Lempeng I.a. Berangka tahun Saka 889, yang mana kutipannya sebagai berikut :
“ …… tatkālan çrī haji (ta)ganendra dharmadewa, sang ratu luhur çrī subhadrika dharmmadewi, mulihakat masamahin tua sātra di air mih mūla ānugraha sang ratu sang siddha dewatā sang lumah di ai(r) madhatu ……… “.
Terjemahan :
“ …….., itulah saatnya Paduka Sri Maharaja Taganendra Dharmadewa beserta permaisurinya Sri Ṡubhadrika Dharmadewi, memanggil dan mengumpulkan para sesepuh di pesanggrahan yang berada di Air Mih yang dahulu dihadiahkan oleh paduka raja yang telah wafat dan telah didharmakan di Air Madatu, …….. “.
Disini disebut Paduka Raja yang telah wafat tetapii tidak disebutkan dikubur dimana, tetapi didharmakan di Air Madatu.
Bangunan Suci atau Candi ini, menurut Dr. R. Goris adalah Tempat Percandian Sang Ratu Sri Ugrasena. Apakah Beliau adalah Ayah Sang Ratu Sri Haji Taganendra Dharmadewa ? dan dimanakah Air Madatu ?. Tentu perlu penelitian lagi.
“ Bhatara Lumah ing Burwan “
Bhatara Lumah ing Burwan tertulis dalam Prasasti Sukawana AII Lempeng III.a. Berangka tahun Saka 976, yang mana kutipannya sebagai berikut :
“ …….. manambah i pāduka haji anak wungśunira kālih, bhaṭarī saŋ lumah iŋ burwan, mwaŋ bhaṭāra dewatā saŋ lumah ri bañuwka, …….. ‘.
Terjemahan :
“ …….., menghadap Baginda raja Anak Wungsu atas nama Bhatari yang dicandikan di Burwan, dan Bhatara yang dicandikan di Banyu Wka. …,.,,. “.
Pedharman atau Percandian yang di Maksud ada di Pura Bukit Dharma Durga Kutri Desa Buruan Gianyar dan Bhatari yang dimaksud adalah Gelar Penyucian Sang Ratu Luhur Sri Gunapriya Dharmapatni. Sedangkan di Banyu Wka, masih menjadi diskusi Para Ahli, apakah letak Banyu Wka di Pura Mengening apakah di Candi Tebing Gunung Kawi, Tetapi Kedua Tempat itu sangat berdekatan. Ada yang unik tentang hal ini, karena dalam Prasasti Tengkulak A ada disebutkan “ , mājar an mūla kinon haji dewatā saŋ lumāh riŋairwka sajalu strī, “ ( untuk menyatakan bahwa Mereka sudah sejak dahulu, yaitu sejak pemerintahan Raja Suami Istri yang telah dicandikan di Air Wka ). Sajalustri yang dimaksud adalah Raja Udayana dan Ratu Sri Gunapriya Dharmapatni. Jadi Ratu Gunapriya Dharmapatni dicandikan di Dua Tempat, di Burwan ( Buruan ) dan di Air Wka ( Pura Mengening atau Candi Tebing Gunung Kawi ). Jadi jelas disini bahwa ada salah satu Pedharman atau Bangunan Suci dimana Roh Suci Sang Ratu dilinggihkan atau dua duanya. Semakin menguatkan bahwa Pedharman adalah sama dengan Penyawangan. Haji Sajalustri adalah Orang Tua Raja Airlangga. Raja Marakata Pangkaja dan Raja Haji Anak Wungsu.
Bagaimana dengan Pura Pedharman yang ada di Sekitar Pura Besakih ? Kapan mulai dibangun ?
Mengenai Gunung Agung dan Desa Besakih sangat sulit ditemukan dalam Prasasti Bali Kuno, yang ada tercatat adalah Bukit Tulangkir seperti tertulis dalam Prasasti Bebandem Lempeng 10.b, tahun Saka 1056. Mungkin Bukit Tulangkir adalah sebutan yang digunakan jaman dulu untuk sebutan Gunung Agung. Sedangkan Besakih dulu disebut Desa Hulundang di Basuki tercatat dalam Prasasti setelah Pemerintahan Bali Kuno yaitu saat Pemerintahan sudah berganti dari Dinasti Warmadewa ke Dinasti Dalem, seperti yang tertulis dalam Prasasti Besakih A Berangka tahun Saka 1366 dan diperkirakan yang bertahta saat itu adalah Dalem Sri Semara Kepakisan. Dan Desa Hulundang di Basuki ( Besakih ) dipertegas kembali dalam Prasasti Besakih B Berangka tahun Saka 1380 yang diperkirakan yang bertahta saat itu adalah Dalem Waturenggong. Hulu = Pusat, Dang = Suci. Jadi ini mungkin asal usul Besakih disebut Kawasan Suci. Dalam Lontar atau Babad ada yang menyebutkan Pura Pedharman di Besakih didirikan Tahun Saka 1400 ada juga yang menyebut Tahun Saka 1465. Entah mana yang benar, tetapi diperkirakan saat Pemerintahan Dalem Waturenggong. Tetapi Pura Pedharman yang ada saat ini bukan semua dibangun tahun / masa itu. Kemungkinan Jaman Dulu, Pura Pedharman didirikan untuk Menyatukan Trah / Soroh yang ada di Bali. Kalau memang begitu, saya semakin salut buat Sang Raja.
Apakah Pedharman Orang Hindu Bali hanya ada di Besakih ?
Pura Pedharman tidak hanya di Besakih. Karena banyak Pura Pedharman di daerah lain di Bali seperti yang ada di Kabupaten Bangli, di Kota Madya Denpasar, di Kabupaten Klungkung dan mungkin juga banyak di daerah lain di Bali.
Apakah semua Orang Hindu Bali mempunyai Pedharman ?
Jawabannya : Ya atau Tidak atau Belum ketemu.
Ya, kalau kita sepakat bahwa Pura Pedharman adalah Pura atau Bangunan Suci yang dibangun untuk melinggihkan Roh Leluhur yang telah suci atau Penyawangan.
Tidak, karena mungkin tidak semua Orang Hindu Bali menyebut Bangunan Suci untuk Melinggihkan dan Menyembah Leluhur dengan sebutan Pedharman, mungkin sebutan nya berbeda.
Belum Ketemu, karena memang belum ketemu.
Bagaimana sebaiknya, kalau Kita tidak tahu Pura Pedharman ?
Berusahalah mengingat Tetua Kita, kemana kita diajak Sembahyang jaman dulu atau mungkin juga perlu bertanya ke Jro Dasaran atau mungkin menggunakan “ Keleteg Bayu “. Kalau tidak ketemu juga jangan berkecil hati, paling tidak kita sudah berusaha, andaikan belum ketemu dan kalau Kita memang ingin sembahyang memuja Leluhur sebelum sembahyang ke Pura Besakih atau ke Pura yang lain, tidak usah bimbang, sembahyang lah ke Pura Dadia / Pura Ibu atau di Sanggah Kemulan yang ada di Rumah, Toh kita sudah memuja Leluhur sebelum memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa, Jadi kalau ada teman yang bertanya, Sudahkah Kamu sembahyang ke Pedharman, jawablah : Saya sudah menyembah Leluhur saya atau Ida Bethara Kawitan saya di Sanggah Kemulan saya.
Haruskah Kita mempunyai Pura Pedharman ?
Menurut saya, tidak harus, karena tidak ada satupun Catatan di Prasasti Bali Kuno yang mengharuskan Orang Hindu Bali mempunyai Pura Pedharman. Atau mungkin Pedharman disebut dengan nama yang berbeda di masing - masing Desa di Bali. Dan kalau ada Pesemetonan / Trah berniat membangun Pura Pedharman yang baru, itu juga boleh boleh saja selama ada Kesepakatan Keluarga Besar atau Pesemetonan.
Apakah Pura Pedharman sama dengan Pura Kawitan ?
Bisa dibilang berbeda bisa dibilang sama.
Berbeda, karena ada beberapa Pesemetonan / Trah yang mempunyai Pura Kawitan di Satu Daerah dan Pura Pedharman di Daerah lain. Pura Kawitan biasanya Pura yang didirikan di Tempat terakhir Perjalanan Leluhur yang dalam Babad biasanya ditulis dengan Perjalanan Wanasrawa / Bertapa atau Moksah. Sedangkan Pura Pedharman biasanya untuk melinggihkan atau seperti Penyawangan, tetapi ada juga sebagai Perjalanan Terakhir Leluhur. Tetapi tetap saja sebagai Tempat memuja Leluhur.
Sama, karena disamping sama sama untuk memuja Leluhur, banyak juga Pura Pedharman sekaligus sebagai Pura Kawitan dan Pura Kawitan sekaligus sebagai Pura Pedharman dalam Satu Pura.
Bagaimana dengan Sejarah Kawitan ?
Ini juga sulit untuk menjawab nya
SEJARAH KAWITAN
Pura Kawitan atau istilah Kawitan dan Pura Pedharman sama - sama tidak tercatat dalam Prasasti Bali Kuno dari tahun Saka 804 sampai tahun Saka 1264. Kemungkinan istilah Kawitan baru ada sesudah Era Dinasti Warmadewa atau setelah Era Bali Kuno dan Para Ahli menyebut dengan sebutan Zaman Baru sekitar tahun 1.500 - 1.800 Masehi. Ada juga yang bilang bahwa Kawitan berasal dari kata “ Wit “ = Asal.
Untuk mencari dan menentukan Kawitan mungkin lebih baik kita belajar dari sebuah Pohon Kayu Besar:
Pohon Kayu Besar terdiri dari :
Akar / Batang
Dahan
Ranting
Ranting dari Ranting
Penjelasannya :
Akar / Batang adalah yang paling awal yang biasanya dalam Babad diterjemahkan dengan Tokoh ( Leluhur ) yang merupakan Putra / Putri “ Sang Pasupati “ atau yang sudah tidak bisa diketahui dan Berstana di Pura Kawitan ( Kadang ada yang menyebut Kawitan Pusat ) atau di Pura yang bukan disebut Pura Kawitan tetapi disebut dengan sebutan lain tergantung Pesemetonan atau tergantung Dresta yang berlaku di suatu Desa.
Dahan adalah Anak - anak Beliau, Berstana di Dadia Agung ( Kadang juga didirikan di beberapa tempat menurut kesah nya Beliau ).
Ranting adalah Cucu - cucu Beliau dan Berstana di Dadia ( Ada yang menyebut Sanggah Dewa Hyang, Sanggah Gede, Ibu, Merajan dan lain - lain ).
Dan ranting dari ranting adalah Sanggah Kemulan yang ada di Rumah.
Atau urutan nya yaitu :
Pura Kawitan
Dadia Agung
Dadia ( Sanggah Gede )
Sanggah Kemulan
Bisakah memuja Leluhur atau Ida Bethara Kawitan di Tempat Suci diatas ?
Bisa dan sangat bisa. Karena sebenarnya Semua Pura / Dadia / Sanggah termasuk juga Pedharman adalah termasuk Kelompok Pura Kawitan.
Apa yang menghubungkan secara tegak lurus ?
 
Yang menghubungkan adalah “ Tirtha “. Setiap Odalan di Dadia, biasanya kita akan Nunas Trtha ke Dadia Agung, Tirtha dari Dadia kita akan tunas untuk diperciki di Kemulan, setiap Odalan di Dadia Agung, kita akan nunas Tirtha ke Pura Kawitan, ini juga mungkin merupakan Pilar konsep Agama Tirtha sebelum Orang Bali memeluk Agama Hindu secara resmi tahun 1958 Masehi.
Dalam beberapa Pesemetonan, mungkin Pura Dadia Agung disebut berbeda atau mungkin tidak ada Dadia Agung tetapi dari Dadia langsung ke Pura Kawitan ( Kawitan Pusat ).
Yang ada di Bali saat ini adalah bahwa Suatu Trah / Soroh mengatakan bahwa sudah mengetahui Kawitan yang paling Awal ( Batang ). Ada juga yang menyebut sudah mengetahui Kawitan padahal mungkin baru di Dahan, ada juga yang sudah mengetahui Kawitan padahal mungkin baru di Ranting. Itu mungkin sah sah saja karena memang itu yang diketahui dan sudah disepakati oleh Keluarga Besar.
Bagaimana dengan Pedharman / Kawitan Orang Bali Purba / Orang Bali paling awal / Orang Bali Kuno ?
Ini yang mungkin paling sulit untuk dijawab.
Bali Purba / Pra Sejarah
Di Jaman Pra Sejarah ( Pada Tahun 150 Sebelum Masehi ) Bali sudah dihuni oleh Masyarakat yang berbudaya terbukti dengan penemuan Ratusan Sarkofagus hampir di Seluruh Bali dan Sarkofagus termuda umurnya 2.000 Tahun. Dan ada juga Situs Purba Awal Masehi di Sembiran, Pangkung Paruk, Pacung dan lain - lain, yang mana banyak ditemukan benda benda Kuno dari India, dari Dinasti Han China, Asia Tenggara dan lain - lain. Hal ini membuktikan bahwa Bali sudah mempunyai Pelabuhan Internasional Sebelum Masehi terutama di Bali Utara dan tentu Penduduk nya juga banyak.
Dan di jaman Bali memasuki Jaman Sejarah, Seperti kita ketahui ada fakta tertulis yang tak terbantahkan bahwa dari tahun Saka 804 sampai tahun Saka 1264 atau dalam rentang waktu 460 tahun, ada Pemimpin Agama, Raja dan Keluarga Raja, Punggawa kerajaan, Rakyat Biasa yang mendiami Pulau Bali, diantaranya :
Pemimpin Agama / Pendeta
Pendeta Utusan Siwa yang bergelar Dang Acaryya yang berasal dari beberapa daerah di Bali seperti dari Banu Garuda, Air Gajah, Antakunjarapada, Binor, Dharmma Hanar, Haritanten, Kanyabhawana, Kusumadanta, Lokeswara, Suryamandala, Udayalaya. Pendeta Utusan Budha yang bergelar Dang Upadhyaya yang berasal dari Bajrasikara, Badaha, Wihara Bahung, Buruan, Canggini, Dharmarya, Kutihanar, Lwa Gajah, Waranasi. Disamping Pendeta Siwa Budha ada juga yang menjabat sebagai Pendeta Kabayan ( Yang juga bergelar Dang Acaryya, Bhiksu dan lain - lain ), Walyan ( Balian ), Mpu, dan lain - lain. Yang sering berganti Tokoh yang menjabat sesuai dengan Raja yang bertahta.
Raja / Ratu
Dari Tahun Saka 835 sampai Tahun Saka 1264 ada 21 Raja / Ratu yang bertahta dari Sri Kesari Warmadewa sampai Paduka Bhatara Sri Astasura Ratna Bumi Banten.
Senapati
Ada 15 Jabatan Senapati dari Senapati Wrsabha ( Wrsanten ) sampai Senapati Tunggalan yang juga sering berganti Tokoh sesuai dengan Raja yang bertahta.
Punggawa Kerajaan
Ada Jabatan Samgat, Manuratang, Hulu, Nayakan dan lain - lain yang juga sering berganti Tokoh sesuai dengan Raja yang menjabat.
Komunitas / Penduduk Desa
Ada Puluhan Nama Daerah dan Wanua ( Desa ) yang tercatat dalam Prasasti Bali Kuno dan mungkin ada Ratusan termasuk yang tidak tercatat yang didiami oleh Penduduk atau Komunitas Bali Kuna.
Bayangkan, Keturunan Orang Bali Purba yang beranak pinak selama 2000 Tahun lebih dan Tokoh - tokoh yang sudah hidup dan berkeluarga di Bali dari sekitar tahun Saka 804 atau selama 1000 tahun lebih, bayangkan berapa jumlah Nya sekarang. Menurut perkiraan saya, jumlah nya mungkin Ratusan Ribu bahkan mungkin Jutaan. Dimana kira kira Masyarakat Bali Kuna bernaung dan mendirikan Pura untuk memuja Leluhur yang seperti sekarang disebut Pura Pedharman atau Pura Kawitan. Mungkinkah ada yang bergabung dengan Pasemetonam / Trah / Soroh lain yang familiar di Bali saat ini atau mungkin masih mencari dan mungkin sudah nyaman dengan tradisi yang dijalankan selama ini yaitu menyembah Leluhur di Sanggah Keluarga atau di suatu Pura. Dan mungkin juga Bangunan Suci untuk menyembah Leluhur bukan disebut Pura Pedharman atau Pura Kawitan tetapi disebut dengan sebutan yang berbeda. Begitu juga mungkin Leluhur disebut dengan sebutan lain atau Sebutan untuk Leluhur masih tetap sama dengan sebutan seperti Jaman Bali kuno dan masih dipertahankan sampai sekarang, sehingga tidak disebut Ida Bethara Kawitan.
Berbicara mengenai Leluhur / Kawitan, saat ini biasanya dikaitkan dengan Soroh, Trah bahkan Kasta. Kembali ditegaskan bahwa di Jaman Bali Kuna dari tahun Saka 804 sampai 1264 tidak satupun tertulis tentang Kasta dan tidak ada Kasta atau Catur Kasta saat itu. Tapi yang ada adalah 5 Golongan / Jabatan yaitu Brahmana, Ksatria, Wesya, Sudra, Budak seperti tertulis dalam Prasasti Sawan AII - Bila B Halaman VII.b, berangka tahun Saka 995. Sebagai contoh, dalam Prasasti Gobleg B ( Air Tabar II ) Lempeng II.b. Saka 905, bahwa yang menjabat sebagai Nayakan Makarun ( Kepala Sidang ) adalah Dang Acaryya Narotama. Dan sangat jelas bahwa gelar Dang Acaryya adalah gelar Pendeta Siwa. Tapi di Prasasti diatas Beliau tidak menjabat sebagai Utusan Pendeta Siwa ( Maha Brahmana ), tetapi sebagai Kepala Sidang ( Jaman sekarang mungkin selevel Ketua DPR ). Jadi kalau dipaksakan ke Sistem Kasta, jadinya Beliau berkasta 2 yaitu Brahmana atau Ksatria ( kalau Narotama adalah Keluarga Raja yang memimpim Sidang ) atau bisa juga berkasta Wesya, kalau Narottama adalah Punggawa Kerajaan yang bukan dari Keluarga Raja. Jadi jelas sekali bahwa 5 Golongan itu adalah Jabatan.
( Mohon maaf, kita stop dulu membahas Kasta karena Tulisan ini tidak bermaksud menyinggung Kasta, tetapi murni menelisik tentang Sejarah Leluhur ).
Mari kita lanjutkan ke alur tulisan ini.
Pemujaan terhadap Leluhur sudah berakar kuat di Bali mungkin sejak Ribuan Tahun yang lampau dan dipercaya bahwa Roh Nenek Moyang yang telah Suci bersemayang di Puncak Gunung yang disebut dengan “ Hyang “. Dan sudah sepatutnya kita berterima kasih kepada Leluhur Kita / Tetua Kita karena sudah berpesan kepada kita.
Pesannya yaitu
“ Sembahlah Leluhur Mu sebelum menyembah Dewa Dewi “
Pesan yang disampaikan oleh Tetua - tetua Kita bukan tanpa alasan, karena bukti tertulis tak bisa dibantah. Karena banyak tertulis dalam Prasasti Bali Kuno yang sahih, yang biasanya ditulis di bagian Sapatha ( Persumpahan ), seperti yang tertulis di Prasasti Sukawana AII Lempeng IV.a. Tahun Saka 976, Raja yang bertahta adalah Paduka Haji Anak Wungsu, yang kutipannya sebagai berikut :
“ ……., mataŋnyan pinadahakěn sapatha i bhaṭāra puntahyaŋ, indaḥ ta kita kamuŋ hyaŋ para dewatā, hyaŋ nga_ _gasti mahāŗsi, pūrbwa satya, dakȿiṇa dharma paçcima kāla, uttāra mẻrtyu, agneya krodha, neriti kāma, wayabya īswara, aiśanya harih, yajamaṇākāśa dharma ūrddhamadhaḥ rawi śaśi kşiti jala pawaṇa, hutāsāna, ahoratri sandyādwāya, yakşa rakşasa piśaca pretāsura garuḍa gandharwa grahā nakşatra kinnara gaṇa, a_ _horaga caṭwāriŋ lokapala yama bāruṇa, kuwera bāawa mwaŋ putra dewatā, pañca kusika, nandīśwara, mahākāla, sadwināyaka, durgādewī caturāstra, ananta sule_ _ndra(a)nanta kālamŗtyu, gaṇa bhūta, rājabhūta, kita prasiddha rumakşa bhūmi rahyaŋ ta ri bali, …….. “.
Terjemahan :
“ …….. , Oleh sebab itu dimohonkan persumpahan ( kutukan) ke hadapan Bhatara Punta Hyang. Wahai yang mulia para leluhur, para dewata Hyang Ngagasti Maharesi, di timur Satya, di selatan Dharma, di barat Kala, di utara Mertiyu, di tenggara Kroda, barat daya Kama, barat laut Iswara, timur laut Harih, yajamanakasa Dharma, Tengah, atas, bawah, matahari, bulan, tanah, air, angin, api, siang malam, pagi, sore, yaksa, raksasa, pisacapretasura, Garuda, Gandharwa, bintangbintang, Kinnara, Gana, Naga Besar, Empat Lokapala, Yama, Baruna, Kuwera, Basawa, serta Putra Dewata, Panca Kusika, Nandiswara, Mahakala, Sadwinayaka, Durgadewi, Caturastra, Anantasulendra Ananta Kalamertya, Gana Bhuta, Raja Bhuta kamulah semua yang menguasai bumi leluhurmu di Bali, …….. “.
Konsep Pura Pedharman dan Pura Kawitan mungkin berbeda di beberapa Desa di Bali terutama di Desa Tua di Bali, karena masing - masing punya Dresta atau semacam Bhisama dan harus kita hormati.
Karena istilah Ida Bethara Kawitan belum ada saat Jaman Bali Kuno, lalu apa kira - kira sebutan Nya ?
Sebutan yang sangat mungkin adalah “ Sang Siddha Dewata “. Penjelasannya sebagai betikut :
Dalam Kamus Bahasa Bali Kuno,
Siddha = Sempurna, Terlaksana, Tercapai, Meninggal dan dalam Bahasa Bali Kepara berarti Bisa.
Dewata = Dewa, Para Dewa, Raja atau Ratu yang telah mangkat dan disucikan serta dianggap telah berwujud sebagai Dewa atau Dewi.
Jadi kalau digabung, bisa berarti “
Yang sudah Sempurna dan bisa mencapai Alam Dewa Dewi.
Bukti ini tertulis dalam Prasasti Resmi Kerajaan tahun Saka 889, seperti yang sudah dijelaskan diatas pada Prasasti Kintamani A Lempeng I.a. yaitu “ …….. mūla ānugraha sang ratu sang siddha dewatā sang lumah di ai(r) madhatu …….. “.
Bagaimana dengan Satu Keluarga mempunyai Dua Pedharman dan Kawitan atau lebih ?
Ini mungkin kurang elok.
Kalau Keluarga Besar Kita sepakat dengan suatu Pedharman dan Kawitan dan baik baik saja, lebih baik jangan mengubah Sesuatu
Kalau ada Satu Keluarga Besar dalam satu Dadia yang terdiri dari beberapa Kakek tetapi beda Kawitan dan Beda Pedharman. Ini mungkin kurang elok
Kalau ada Kakak Beradik Bersaudara Kandung, Sang Kakak ke Kawitan A Dan Sang Adik ke Kawitan B, ini mungkin kurang kondusif
Disini mungkin perlu rembug dalam Keluarga dan dengan sikap saling menghargai untuk mencari Solusi dan Nunas Sica. Semoga Leluhur memberi Petunjuk yang baik.
Salut buat Masyarakat Desa Besakih dan Masyarakat Desa yang lain yang sudah menjaga Parahyangan Ida Bethara Bethari Sesuhunan.
Jadi marilah kita saling menghargai. Ada yang punya Pedharman dan Pura Kawitan ada juga yang tidak. Ada yang menyebut Leluhur nya dengan sebutan yang berbeda dengan yang lain. Setiap daerah dan mungkin setiap Desa mempunyai ritual yang berbeda untuk menyembah Leluhur. Itulah salah satu keunikan Bali yang penuh Keberagaman. Yang penting, mari kita Pertahankan Tradisi Penyembahan Leluhur yang merupakan Warisan Adiluhung Bali Kuno.
SANGAT PANJANG KALAU DITERUSKAN
Cukup sampai disini dulu nggih
Tulisan yang penuh dengan kekurangan, karena Penulis hanyalah Penggembira Sejarah, mohon Sidang Pembaca memakluminya
Jukut kangkung misi sambel sera
Kirang langkung Titiang nunas gengrena sinempura
Keterangan Photo :
Ibu yang energik bersama Rombongan tangkil ke Besakih sekitar tahun 1960 an. Lokasi di Jalan Menuju Deretan Pura Pedharman. Walau tanpa alas kaki, Ibu tetap semangat. Salut buat Ibu.
Disarikan dari :
- Pupulan Prasasti Bali Kuna. Kapupul oleh Guru I Wayan Sariana
- Hasil Diakusi dengan Bapak Emon Putra Ganesh
- Sejarah Kebangkitan Nasional Bali. Oleh Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Jakarta 1978.
- Kamus Bali Kuno - Indonesia. Departemen Pendidikan Dan Kebudyaan Jakarta 1985.
- Unek - unek
- Dan lain - lain
 
 

Sabtu, 23 Maret 2024

Dina Berek Tawukan


 


Beberapa sloka yang berkaitan dengan hari Purnama dan Tilem dapat ditemui dalam Sundarigama yang mana disebutkan:

'Muah ana we utama parersikan nira Sanghyang Rwa Bhineda, makadi, Sanghyang Surya Candra, atita tunggal we ika Purnama mwang Tilem. Yan Purnama Sanghyang Wulan ayoga, yan ring Tilem Sanghyang Surya ayoga ring sumana ika, para purahita kabeh tekeng wang akawangannga sayogya ahening-hening jnana, ngaturang wangi-wangi, canang biasa ring sarwa Dewa pala keuannya ring sanggar, Parhyangan, matirtha gocara puspa wangi"
Ada hari-hari utama penyelenggaraan upacara persembahyangan sejak dulu sama nilai keutamaannya yaitu hari Purnama dan Tilem.
Pada hari Purnama, bertepatan dengan Sanghyang Candra beryoga :
ᬒᬁᬉᬁᬘᬦ᭄ᬤ᭄ᬭᬓᭀᬢᬶ ᬬ ᬦᬫᬄ᭟
( Ong Ung Candra Koti Ya Namah, )
Dan pada hari Tilem, bertepatan dengan Sanghyang Surya beryoga ;
ᬒᬁᬉᬁᬲᬸᬃᬬ᭄ᬬᬓᭀᬢᬶᬬᬦᬫᬄ᭟
( Ong Ung Surya koti Ya Namah, )
ᬒᬁᬉᬁᬇᬦ᭄ᬤ᭄ᬭᬲᬹᬓ᭄ᬱ᭄ᬫᬬᬦᬫᬄ᭟
( Ong Ung Indra suksma ya namah )
memohonkan keselamatan kepada Hyang Parama Kawi.
Pada hari suci demikian itu, sudah seyogyanya umat dan Para Pandhita menyucikan dirinya lahir batin dengan melakukan upacara persembahyangan dan menghaturkan yadnya kehadapan Hyang Widhi.
Menurut Lontar Purwana Tattwa Wariga, Dina Berek Tawukan merupakan pertemuan antara Kajeng Kliwon atau Saniscara Kliwon ( Tumpek) dengan Purnama.
Saat itu, umat Hindu Bali tidak diperkenankan melakukan pemujaan. Selain itu, tidak diperkenankan juga melaksanakan upacara Yadnya.
Dan, Sang Wiku juga tidak boleh melaksanakan pujanya pada hari itu
• Bila Purnama jatuh pada hari Kala Paksa, tidak boleh melaksanakan upacara agama karena hari itu disebut, ” Hari Gamia” ( Jagat Letuh).
Sang Wiku tidak boleh memuja.
Pada saat Kala Paksa yang menguasai hari itu adalah bhuta kala, sehingga dinamakan  Kala Paksa. Maka dari itu, lanjutnya, ketika dilaksanakan pemujaan, maka yang dipuja adalah Bhuta_Kala, jadi pemujaan akan sia - sia.
"Bagi umat yang melaksanakan bakti saat itu, maka yang bersangkutan dinilai telah  melanggar, maka yang bersangkutan akan menemui  KESIALAN , dan juga menyebabkan diri menjadi kurang harmonis dengan Semesta atau identik dengan sifat Bhuta_Kala,"
Ong Rahayu

PANCA SKANDHA

 


Merupakan lima agregat atau lima kumpulan yaitu lima elemen yang merangkum seluruh eksistensi mental dan fisik seseorang.
Diri (self) tidak dapat diidentifikasi dengan salah satu bagian, ia juga bukan merupakan keseluruhan dari bagian-bagian tersebut.
Mereka adalah:
1) materi atau tubuh (rupa-skandha), bentuk nyata dari empat unsur-tanah, air, api, angin;
2) sensasi atau perasaan (vedana-skandha);
3) persepsi objek indera (samjna-skandha), disebut juga skandha pembedaan, seperti pembedaan warna, pembedaan panas atau dingin, dan lain-lain.
4) aktivitas mental (samskara-skandha), seperti keinginan, motivasi, perhatian, fokus, niatan, dan lain-lain.
5) kesadaran (vijnana-skandha), seperi kesadaran pikiran, kesadaran visual, kesadaran auditory, terangkum dalam tatanan delapan kesadaran.
Semua individu tunduk pada perubahan yang terus menerus karena unsur-unsur kesadaran tidak pernah sama, dan manusia dapat dibandingkan dengan sungai yang mempertahankan identitas, namun tetesan air yang mengalirinya berbeda dari satu momen ke momen berikutnya.

ŚAPATHA (KUTUKAN)




 Kata śapatha terdengar asing kini bagi sebagian besar masyarakat dan tentu familiar bagi mereka yang menekuni dunia sastra, filologi, arkeologi. Śapatha adalah kata serapan dari Sansekerta yang masuk ke dalam entri sastra Kawi (Jawa Kuna), berarti ‘kutuk’, ‘sumpah’, ‘janji’. Dengan kata lain śapatha berarti kutukan.

Śapatha berjalan beringan dengan kehidupan manusia, dalam konteks ini ia bersifat religio-magis, ada sistem kepercayaan yang tidak kasat mata berperan penting di dalamnya. Sangat mudah menemukan śapatha terutama pada prasasti maupun karya sastra, bentuknya berupa kata-kata yang berisikan kesepakatan, perjanjian, dan hukuman yang harus dibayar dengan cara-cara yang mengerikan. Sumber lain menyatakan dalam bentuk kutukan (śapatha) dengan menggunakan kata-kata ancaman yang mengerikan dan permohonan kepada dewata untuk turut melindungi isi keputusan (isi prasasti) itu. Maka sering kali di dalam deskripsi śapatha itu pada bagian awal berisikan puja kepada dewata-dewata yang diminta untuk menjadi saksi.

Apabila membaca kembali karya sastra maka kita dihadapkan pada suatu konflik yang pada dasarnya terjadi atau pada proses penyelesaianya berdasarkan pada śapatha ini. Misalkan saja kematian Sang Karna di dalam Bhratayuddha dan yang menarik perhatian saya adalah hancurnya kerajaan Lengkapura. Lengkapura atau Alengka adalah kerajaan Rahwana yang di dalam Kakawin Ramayana dihancurkan oleh pasukan kera. Mengapa demikian? Tentu saja hal ini berhubungan dengan dipergunakannya dua tokoh figur penjaga pintu gerbang tempat suci yang sering kita jumpai di Bali terutama di wilayah Denpasar, adalah Mahakala dan Nandhiswara. Pada perwujudannya di candi-candi Jawa, Nandhiswara digambarkan dengan figur penjaga berparas tampan, memakai mahkota dan atribut senjatanya trisula sedangkan Mahakala berparas lebih galak dengan mata mendelik, berkumis, atributnya gada.
Di Bali, Mahakala digambarkan dengan wujud raksasa yang cukup mengerikan terkadang dengan rambut terurai kadangkala diwujudkan mempergunakan mahkota ‘ketu’/ mahkota pendeta, sedangkan Nandhiswara diwujudkan dengan raksasa berwajah kera, memakai ‘ketu’. Keduanya membawa atribut senjata gada. Perwujudan ini lumrah dan nampaknya menjadi gaya pematung di Denpasar pada masa lalu dan puncaknya sekitar tahun 1930-1960an. Kembali pada śapatha tentang hancurnya kerajaan Lengkapura oleh pasukan kera adalah kutukan yang dikeluarkan oleh Sang Nandhiswara, termaktub dalam kitab Uttara Kanda-Ramayana.
Sebagai acuan saya mempergunakan lontar Uttara Kanda dari Puri Kabakaba yang dapat diakses di Gedong Kirtya, Singaraja. Pada lemba 39 tersurat,
“…wahu mangkana sojar Sang Nandhiswara, tumurun ta Sang Dasasya sangké Wimana, ateher sakrodatakwan. Lingniya Syapa Sangkara, kumwa lingniya, tuminggal pwayé muka Sang Nandhiswara, tinoniya ta yah ulu wanra, mangkin ta ya walepa guyu-guyu. Angling ta Sang kinasampayan, pinarihasa, matangyan panglepasaken sapa sabdha. Taha sang Dasa Griwa, tinoniyaku mahulu wanara arah, matangyan asampé mangguyu-guyu, dén ing kamurkaniyu, matangyan kadi rupangku ati kang bhawa jadma matya kula ghotraniyu hlem, astu wanara kadi aku saktinika sumirnaknang Langkapuri jmah, kintu mangké yak patyana kamu, taha pan tan mangkana linging purakrethaniyu”.
Kutukan itu terjadi ketika Rahwana telah mendapatkan anugrah kesaktian berkat ketekunan dan bhaktinya, namun sayang setelah kesaktian ia dapatkan mulailah ia melakukan ekspansi ke Sorgalaya, akan tetapi dicegat oleh penjaga pintu sorga yaitu sang Mahakala dan Nandhiswara. Melihat wajah Nandhiswara berparas kera inilah Dasamuka mengolok-ngoloknya sehingga marahlah Sang Nandhiswara dan mengutuk Dasamuka kelak dikemudian hari kerajaannya akan dihancurkan oleh pasukan para kera, pada klimaks Ramayana hal itu menjadi kenyataan bahwa pasukan kera yang membantu Sang Rama berperang dengan Rahwana, Lengkapura diserang habis-habisan oleh para wanara, saat itu bertindak sebagai Intelijen yang menyusup ke Lengkapura adalah Sang Hanoman, Wibhisana sebagai spionasenya.

Jumat, 22 Maret 2024

MAKNA PELANGKIRAN

 



Oleh. Penyuluh Agama Hindu Kab.Badung

Pelangkiran berasal kata “langkir” yg artinya tempat pemuja/penghayatan. Pelangkiran merupakan niyasa yg bersifat umum dan tergantung dari letaknya serta tujuan pemuja untuk menstanakan Bhatara/Dewa siapa yang di puja. Pelangkiran adalah bentuk miniatur dari sebuah Pelinggih, bagian atas sebuah Pelinggih Padma. Yang dibuat oleh umat Hindu dalam rangka menghubungkan diri melalui pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi dengan Prabhawa- Nya, Leluhur sesuai kebutuhan dan tujuan dari umat yg membuatnya. Dengan membuat pelangkiran adalah salah satu inovasi umat karena tinggal jauh dari rumah asal, kost, lahan tidak memadai dan yang lainnya.
Berdasarkan Lontar Aji Maya Sandhi (dalam Hindu Alukta), disebutkan : pada dahulu kala ketika manusia sedang tidur maka Kanda Pat itu keluar dari tubuh manusia dan bergentayangan, ada yang duduk di dada, di perut, di tangan dsb. Sehingga mengganggu tidur manusia; oleh karena itu perlu dibuatkan pelangkiran untuk stananya agar mereka dapat melaksanakan tugas sebagai penunggu urip.







Jika itu dilaksanakan maka manusia akan tidur dengan tenang dan nyenyak karena sudah ada yang menjaga dari segala bentuk gangguan roh jahat. Untuk dapat dijadikan sebagai sarana, maka disakralisasi terlebih dahulu dengan upakara Prayascitta, setelah itu baru lah mulai dapat di pergunakan sebagai tempat pemujaan. Adapun letak pelangkiran yakni sesuai arah hulu yaitu timur laut atau kaja kangin, gunung adalah simbol hulu yg sesuai konsep hulu-teben. di sisi kaja (arah gunung/bukit terdekat) atau sisi kangin (matahari terbit), dalam sebuah ruangan (kalau tempat memungkinkan). Ketinggian rong plangkiran (bagian depan tempat sesajian) ditentukan minimal di atas kepala (siwadwara) maurip aguli (tambah satu ruas jari).

Adapun tempat menaruh pelangkiran adalah :
1. Untuk anak yang baru lahir sampai diupacarai 6 bulan, maka dibuatkan pelangkiran dari ulatan lidi/ ibus yang dinamakan berbentuk bulat, digantungkan di atas tempat tidur bayi. Itu adalah stana Sanghyang Kumara, putra Bhatara Siwa yang ditugasi ngemban para bayi. sehingga pelangkiran memiliki sebutan "kumara". Setelah upacara 6 bulanan sampai terus dewasa – tua, pelangkiran diganti dengan bentuk yang dipakukan ke tembok. Ini pelinggih Kanda-Pat (bukan Hyang Kumara lagi).
2. Di dapur, stana untuk Bhatara Brahma
3. Sumur/jeding/kran air, untuk Bhatara Wisnu
4. Di pasar tempat berjualan, untuk Bhatari Dewa Ayu Melanting
5. Di Warung / Toko / Tempat Usaha, stana untuk Bhatara Sri Sedana sebagai pemberi kemakmuran kepada setiap umat manusia.
6. Di kantor, untuk Bhagawan Panyarikan atau Dewi Saraswati.