Selasa, 26 Juli 2022
MENCARI RUMAH DI SCBD
Usai Mawinten Pantang Makan Daging Suku Empat
Ada sejumlah pantangan untuk orang yang telah Mawinten. Salah satunya adalah pantang makan daging berkaki empat.
Welaka Ida Bagus Gede Suragatana mengatakan, pantangan seseorang yang selesai Mawinten sesuai kemampuannya. Selain itu, niat dari seseorang yang melaksanakan Pawintenan tersebut. “Kalau saya tidak boleh makan daging suku empat, tidak boleh makan dari upacara Pangabenan. Tetapi semua itu tergantung dari niat. Jika itu dilanggar maka akan sangat gampang sakit,” tutur pria yang akrab disapa Gus Suragatana ketika diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) di rumahnya Desa Kelusa, Kecamatan Payangan, Gianyat, pekan kemarin.
Gus Suragatana mengaku saat Pawintenan berjanji menjadi walaka yang menjaga astika asti, yakni arah utara, selatan, timur, dan barat. Sehingga, ketika makan daging suku empat dirinya akan tidak tahu arah. Tetapi, jika makan tidak disengaja, lanjutnya, bisa nunas pangampura (mohon maaf) dengan upakara Prayascita.
“Yang menentukan itu semua adalah janji dan pikiran sendiri. Prayascita itu dilaksanakan dengan syarat pantangan tersebut dilanggar dengan tidak disengaja. Bila sengaja dilanggar, maka upacara tersebut tidak ada gunanya,” imbuhnya.
Gus Suragatana menambahkan, bahan yang digunakan untuk merajah saat Pawintenan berupa sirih dan madu. Di mana di antara kedua kening dirajah dengan aksara suci Yang, di dada dengan aksara suci Dang, kedua bahu dengan aksara suci Bang, di tunggir dengan aksara Sang, di telapak tangan dengan aksara Tang, di tengah lidah dengan aksara Ing, dan pada ujung lidah dengan aksara Ong.
Gus Suragatana menjelaskan, beberapa sarana upakara yang digunakan untuk mawinten, supaya rentetan prosesi Pawintenan berjalan lancar tanpa halangan apapun. “Pertama harus melakukan prayascita sebagai pembersihan, banten durmanggala, banten pangulapan, pangenteb bayu, banten atma rauh, pangenteb hati. Tetapi paling awal harus melakukan natab biyukawonan,” jelasnya.
Setelah melakukan biyukawoanan, baru dilaksanakan majaya-jaya yang harus dipuput oleh sulinggih. Selanjutnya menghaturkan banten kehadapan sasuhunan yang malinggih di merajan. Setelah itu, baru melaksanakan natab Pawintenan. “Banten setelah dihaturkan di merajan ditunas dan ditatab saat Mawinten. Di sana ada yang disebut dengan tebasan guru, baru dirajah badannya,” tandasnya.
Setalah pelaksanaan Pawintenan ada upacara Padambelan yang menggunakan bebek dan ayam. “Ayam menyimbolkan bhuta dan bebek menetralisasikan leteh sebelum diwinten. Rentetan upcara tersebut dilaksanakan sesuai Pawintenan apa yang dibutuhkan saat itu,”pungkasnya.
(bx/ade/yes/JPR) –sumber
Selasa, 19 Juli 2022
Sad rasa
Senin, 18 Juli 2022
Memuja Tuhan Melalui Arca (Archanam Sarva Pujanam)
Orang-orang yang kurang cerdas, sering menertawakan dan mencela umat Hindu yang memuja Tuhan melalui Arca dan menganggapnya sebagai tahayul bahkan tak jarang diberi label musryik dan menyembah berhala. Padahal kita juga sama-sama tahu bahwa tidak ada satu agama atau keyakinan apapun yang ada di dunia ini yang tidak memuja Tuhan melalui simbol; seperti menggunakan arah/kiblat, suara, cahaya, arca, bangunan, gambar, bendera/panji-panji.
Umat Hindu yang melakukan pemujaan melalui berbagai simbol atau niyasa/pratika termasuk melalui Arca-memiliki keyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Ada juga bersemayam dalam simbol dihadapannya. Bagi umat Hindu arca bukanlah sekedar objek/sarana tambahan, tetapi merupakan bagian dari mekanisme batin dalam bhakti dan keyakinan.
Tentu saja semua puja yang dilakukan dengan gagasan bahwa arca tersebut hanyalah kayu/logam yang tidak bernyawa; benar-benar konyol dan amat membuang waktu. Tetapi bila hal ini dilakukan dengan penuh keyakinan bahwa arca itu hidup penuh kesadaran dan kekuatan, bahwa Tuhan Yang Maha Segalanya, berada dimana-mana (vyapi vyapaka), meresapi segala yang ada (isvara sarva bhutanam) dan mengejawantah dalam tiap keberadaan baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak (visva virat svarupa), dan dengan keyakinan bahwa Tuhan merupakan kenyataan batin bagi semuanya berada didalamnya, maka pemujaan arca benar-benar bermanfaat dan membangunkan kesadaran Tuhan.
- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI |
Seorang “Wamana” selama bertahun-tahun tidak pergi ke tempat ibadat manapun dan ia menertawakan orang-orang yang menganggap arca sebagai simbol Ketuhanan. Ketika putrinya meninggal, pada suatu hari ia memegang fotonya sambil menangisi kehilangan tersebut. Tiba-tiba saja ia tersadarkan bahwa bila foto itu dapat menyebabkan kesedihan padanya dan membawa air mata kerinduan-maka arca itu juga dapat menimbulkan kegembiraan dan membawa air mata bhakti pada mereka yang mengerti keindahan dan kemuliaan Tuhan. Simbol-simbol itu adalah alat untuk mengingatkan bahwa Tuhan hadir dimana-mana dan dalam segala sesuatu.
Hindu yang Ajarannya sangat Logis dan paling masuk akal, tentu memiliki banyak pijakan atau dasar Sastra, mengapa pemujaan Arca tersebut menjadi sahih. Penjelasan tentang archanam atau tatacara pemujaan arca sangat jelas disebutkan dalam Srimad Bhagavatam seperti yang dinyatakan Uddhava kepada Shri Krshna;
Śrīmad Bhāgavatam 11.27.2:
“etad vadanti munayo
muhur niḥśreyasaḿ nṛṇām
nārado bhagavān vyāsa
ācāryo ‘ńgirasaḥ sutaḥ.”
Artinya:
Semua orang bijak/Rsi -Rsi mulia berulang kali menyatakan bahwa penyembahan semacam itu (archanam) membawa manfaat terbesar yang mungkin ada dalam kehidupan manusia. Inilah pendapat Nārada Muni, Vyāsadeva yang agung dan guru spiritual saya, Brhaspati (angirasah sutah).
Śrīmad Bhāgavatam 11.27.3-4:
“niḥsṛtaḿ te mukhāmbhojād
yad āha bhagavān ajaḥ
putrebhyo bhṛgu -mukhyebhyo
devyai bhagavān bhavaḥ
etad vai sarva – varṇānām
āśramāṇāḿ ca sammatam
śreyasām uttamaḿ manye
strī – śūdrāṇāḿ ca māna – da.”
Artinya:
Wahai Tuhan yang paling murah hati, pernyataan tentang proses penyembahan dalam bentuk arca ini dipancarkan dari bibir teratai Anda. Kemudian disampaikan oleh Brahmā yang hebat kepada putra-putranya yang dipimpin oleh Bhṛgu , Śiva menyampaikannya kepada saktinya, Pārvatī . Tatacara pemujaan seperti ini (archanam) diterima oleh semua lapisan masyarakat/warna dan semua tingkat kehidupan/asrama (sarwa-varnam asramanam). Oleh karena itu, saya menganggap penyembahan kepada Anda dalam bentuk arca menjadi yang paling bermanfaat dari semua praktik spiritual, bahkan untuk wanita dan pelayan.
kemudian dipertegas lagi oleh pernyataan Krishna dalam sloka berikutnya :
Śrīmad Bhāgavatam 11.27.9
“arcāyāḿ sthaṇḍile ‘gnau vā
sūrye vāpsu hṛdi dvijaḥ
dravyeṇa bhakti -yukto ‘rcet
sva – guruḿ mām amāyayā.”
Artinya:
Seseorang yang telah didwijati harus menyembah-Ku dengan sepenuh hati, mempersembahkan berbagai perlengkapan persembahan yang sesuai dalam pengabdian penuh kasih kepada bentuk KeilahianKu sebagai arca atau bentuk DiriKu yang muncul di atas tanah, di api, di bawah sinar matahari, di air atau di dalam hati pemuja itu sendiri.
Jadi dengan Simbol atau Pengarcaan umat Hindu bisa menjumpai Tuhan Yang Maha Esa.
Semoga bermanfaat bagi Keluasan pemahaman kita. Dan menguatkan Sraddha-Bhakti kita di jalan Dharma. Manggalamastu.
Om Santih Santih Santih Om
I Wayan Sudarma (Jero Mangku Danu) –sumber
Jumat, 15 Juli 2022
4 Penjaga atau Kanda Pat
Pengertian dan Perkembangan serta Aliran Hukum Hindu
Hukum Hindu juga berarti perundang–undangan yang merupakan bagian terpenting dari kehidupan beragama dan bermasyarakat, ada kode etik yang harus dihayati dan diamalkan sehingga menjadi kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian pemerintah dapat mempergunakan hukum ini untuk mengatur tata pemerintahan dan pengadilan, dan dapat juga mempergunakannya sebagai hukuman bagi masyarakat yang melanggarnya.
Dewa Ganesha
Foto: moon_sumo
Kehadiran Hukum Hindu dimulai dari adanya sebuah perdebatan di antara para tokoh agama pada saat itu. Berbagai tulisan yang menyangkut Hukum Hindu menjadi dan merupakan perhatian khusus bagi para Maharshi terhadap pembinaan umat manusia. Adapun nama-nama para Maharsi sebagai penulis Hukum Hindu diantaranya; Gautama, Baudhayana, Shanka-likhita, Wisnu, Aphastamba, Harita, Wikana, Paitinasi, Usanama, Kasyapa, Brhraspati dan Manu.
Dengan adanya upaya penulisan atas Hukum Hindu tampak jelas kepada kita bahwa referensi Hukum Hindu telah lama dimulai juga dengan berbagai perdebatan dan kritik masing-masing sehingga melahirkan beberapa aliran Hukum Hindu di antaranya:
Aliran Yajnyawalkya oleh Yajnyawalkya.
Aliran Mithaksara oleh Wijnaneswara.
Aliran Dayabhaga oleh Jimutawahana (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:53).
Dari ketiga aliran tersebutakhirnya keberadaan hukum Hindu dapat berkembang dengan pesat khususnya di wilayah India dan sekitarnya, dua aliran yang yang terakhir yang mendapat perhatian khusus dan dengan penyebarannya yang sangat luas yaitu aliran Yajnyawalkya dan aliran Wijnaneswara (Puja, Gde. 1984:82).
CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI
Pelembagaan aliran (Yajnyawalkya dan Wijnaneswara) yang di atas sebagai sumber Hukum Hindu pada Dharmasastra adalah tidak diragukan lagi karena adanya ulasan-ulasan yang diketengahkan oleh penulis-penulis Dharmasastra sesudah Maha Rshi Manu yaitu Medhati (900 SM), Kullukabhata (120 SM), setidak-tidaknya telah membuat kemungkinan pertumbuhan sejarah Hukum Hindu dengan mengalami perubahan prinsip sesuai dengan perkembangan zaman saat itu dan wilayah penyebarannya seperti Burma, Muangthai sampai ke Indonesia.
Penggaruh Hukum Hindu sampai ke Indonesia nampak jelas pada zaman Majapahit tetapi sudah dilakukan penyesuaian atau reformasi Hukum Hindu, yaitu dipakai sebagai sumber yang berisikan ajaran-ajaran pokok Hindu yang khususnya memuat dasar-dasar umum Hukum Hindu, yang kemudian dikembangkan menjadi sumber ajaran Dharma bagi masyarakat Hindu dimasa penyebaran Agama Hindu keseluruh pelosok negeri. Bersamaan dengan penyebaran Hindu, diturunkanlah undang-undang yang mengatur praja wilayah Nusantara dalam bentuk terjemahan-terjemahan kedalam bahasa Jawa Kuno. Adapun aliran yang mempengaruhi Hukum Hindu di Indonesia yang paling dominan adalah Mithaksara dan Dayabhaga.
Hukum-hukum Tata Negara dan Tata Praja serta Hukum Pidana yang berlaku sebagian besar merupakan hukum yang bersumber pada ajaran Manawadharmasastra, hal ini kemudian dikenal sebagai kebiasaan-kebiasaan atau hukum adat seperti yang berkembang di Indonesia, yang khususnya dapat dilihat pada hukum adat di Bali. Istilah-istilah wilayah hukum dalam rangka tata laksana administrasi hukum dapat dilihat pada desa praja.
Desa praja adalah administrasi terkecil dan bersifat otonom dan inilah yang diterapkan pada zaman Majapahit terbukti dengan adanya sesanti, sesana dengan prasasti- prasasti yang dapat ditemukan diberbagai daerah di seluruh Nusantara. Lebih luas lagi wilayah yang mengaturnya dinamakan grama, dan daerah khusus ibu kota sebagai daerah istimewa tempat administrasi tata pemerintahan dikenal dengan nama pura, penggabungan atas pengaturan semua wilayah ini dinamakan dengan istilah negara atau rastra. Maka dari itu hampir seluruh tatanan kenegaraan yang dipergunakan sekarang ini bersumber pada Hukum Hindu (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:54).
Manusia dalam pergaulan dan menjalankan kehidupan ini mereka diatur oleh undang-undang yang dibuat oleh lembaga pembuat undang-undang. Lembaga pembuat undang-undang dibuat oleh manusia, oleh karena itu undang-undang adalah buatan manusia. Di samping itu ada pula undang-undang yang bersifat murni, yaitu undang-undang yang dibuat oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, yang juga disebut Wahyu Tuhan. Wahyu inilah yang dihimpun dan dikodifikasi menjadi “Kitab Suci”. Sehingga Kitab Suci adalah semacam undang-undang yang pembuatnya adalah Tuhan Yang Maha Esa dan bukan dibuat oleh manusia (apauruseya).
Keharmonisan hidup ini sangat tergantung pada keberadaan hukum yang berlaku di lingkungan sekitar kita. Baik tidaknya pelaksanaan hukum tersebut juga sangat tergantung pada siapa yang menjadi pengambil keputusan dari pelaksananya. Hukum alam disebut dengan istilah Rta, dikuasai oleh “Rtavan” Tuhan Yang Maha Kuasa/Ida Sang Hyang Paramakawi sebagai penciptanya.
Demikian juga bentuk hukum yang lainnya, sangat tergantung dengan siapa pembuatnya, mengapa, dan dimana dibuatnya. Apakah hukum itu? Hukum ialah peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok agar tercipta suasana yang serasi, tertib dan aman. Hukum ini ada yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Hukum inilah yang merupakan undang-undang.
Di dalam sebuah Negara, undang-undang dari semua undang-undang disebut Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar itu mengatur pokok-pokok yang menjadi sendi kehidupan bernegara dan dari undang-undang dasar itu dibuat undang-undang pokoknya. Seperti halnya dengan undang-undang dasar, dalam kehidupan beragama, semua peraturan dan ketentuan-ketentuan selanjutnya dirumuskan lebih terinci dengan menafsirkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam kitab suci itu.
Tingkah laku manusia yang baik, yang menjadi tujuan di dalam pengaturan kehidupan ini disebut Darmika. Dharma adalah perbuatan-perbuatan yang mengandung hakekat kebenaran yang menyangga masyarakat (dharma dharayate prajah). Untuk memperoleh kepastian tentang kebenaran ini setiap tingkah laku harus mencerminkan kebenaran hukum (dharma), artinya tidak bertentangan dengan undang-undang yang menguasainya.
Hukum adalah peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari yang ditetapkan oleh penguasa, pemerintah maupun berlakunya itu secara alamiah, yang kalau perlu dipaksakan agar peraturan tersebut dipatuhi sebagaimana yang ditetapkan (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:55).
Hukum sebagai peraturan hidup berfungsi membatasi kepentingan dari setiap pendukung hukum (subyek hukum), menjamin kepentingan dan hak mereka masing-masing, serta menciptakan pertalian-pertalian guna mempererat hubungan antara mereka dan menentukan arah bagi terciptanya kerjasama. Tujuan yang hendak dicapai dari adanya hukum itu adalah suatu keadaan yang damai, adil, sejahtera, dan bahagia.
Untuk tercapainya hal tersebut maka didalam hukum itu harus mengandung sanksi yang bersifat tegas dan nyata. Hukum berfungsi sebagai pengendalian sosial agar tercapai ketertiban. Ketertiban adalah merupakan syarat pokok dalam masyarakat. Agar ketertiban ini bisa tercapai maka perlu adanya kepastian hukum di dalam masyarakat, yang mampu menciptakan masyarakat yang tenang, tentram, damai, adil, sejahtera dan bahagia. Dalam ilmu hukum dibedakan antara Statuta Law dengan Common Law atau Natural Law. Statuta Law adalah hukum yang dibentuk dengan sengaja oleh penguasa, sedangkan Common Law atau Natural Law adalah hukum alam yang ada secara alamiah.
Unsur-unsur yang terpenting dalam peraturan-peraturan hukum memuat dua hal, yaitu :
Unsur-unsur yang bersifat mengatur atau normatif.
Unsur-unsur yang bersifat memaksa atau represif.
Dalam hal ini umat Hindu yang juga merupakan warga Negara Indonesia, mereka harus tunduk pada dua kekuasaan hukum, yaitu:
Hukum yang bersumber pada perundang-undangan Negara seperti: UUD, Undang-Undang dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya.
Hukum yang bersumber pada kitab suci, sesuai dan menurut agamanya.
Kebutuhan akan pengetahuan tentang Hukum Hindu dirasakan sangat penting oleh umat Hindu untuk dipelajari dan dipahami dalam rangka melaksanakan dharma agama dan sebagai wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai sumber segala yang ada, disamping umat Hindu juga sebagai warga Negara yang terikat oleh hukum nasional. Hukum Hindu penting untuk dipelajari karena:
Hukum Hindu merupakan bagian dari hukum positif yang berlaku bagi masyarakat Hindu di Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, khususnya pasal 29 ayat 1 dan 2, serta pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk memahami bahwa berlakunya hukum Hindu di Indonesia dibatasi oleh falsafah Negara Pancasila dan ketentuan-ketentuan dalam Undang- Undang Dasar 1945 (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:56).
Untuk dapat mengetahui persamaan dan perbedaan antara hukum adat (Bali) dengan hukum agama Hindu atau hukum Hindu.
Untuk dapat membedakan antara adat murni dengan adat yang bersumber pada ajaran-ajaran Agama Hindu.
Muncul dan tumbuhnya aliran-aliran hukum Hindu ini adalah merupakan fenomena sejarah perkembangan hukum Hindu yang semakin meluas dan berkembang. Bersamaan dengan itu pula maka muncullah kritikus-kritikus Hindu yang membahas tentang berbagai aspek hukum Hindu, serta bertanggung jawab atas lahirnya aliran-aliran hukum tersebut. Sebagai akibatnya timbulah berbagai masalah hukum yang relatif menimbulkan realitas kaidah-kaidah hukum Hindu diantara berbagai daerah Hindu.
- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI |
Penting untuk kita ketahui sumber hukum dalam arti sejarah adalah adanya Rajasasana yang dituangkan dalam berbagai prasasti dan paswara-paswara yang dipergunakan sebagai yurisprudiensi hukum Hindu yang dilembagakan oleh para raja-raja Hindu. Hal semacam inilah yang nampak pada kita yang secara garis besarnya dapat dikemukakan sebagai hal mengenai sumber- sumber hukum Hindu berdasarkan atas sejarahnya.
Demikianlah uraian singkat dari sejarah adanya perkembangan hukum Hindu yang patut kita pedomani bersama untuk mewujudkan ketertiban umat sedunia (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:57).
Renungan Menawa Dharmasastra, II. 6
“Wedo ‘khilo dharma mulam smrti sile ca tad widam, acarasca iwa sadhunam atmanasyustir ewa ca.
Terjemahan:
Seluruh Veda merupakan sumber utama dari pada dharma (Agama Hindu) kemudian barulah Smrti di samping kebiasaan-kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati Veda serta kemudian acara tradisi dari orang- orang suci dan akhirnya atmanastusti yaitu rasa puas diri sendiri.
“Prihen temen dharma dhumaranang sarat, saraga sang sadhu sireka tutana,
tan artha tan kama pidonya tan yasa, ya sakti sang Sajjana dharma raksaka”.
Terjemahan:
Usahakan benar dharma untuk memelihara dunia ini, kesenangan orang-orang bijak itu kamu harus ikuti yang tidak mementingkan harta, kesenangan nafsu maupun nama, karena itulah yang merupakan keampuhannya orang-orang bijaksana di dalam memegang dharma”.
“Saka nikang rat kita yan wenang manut, manupadesa prihatah rumaksaya,
ksaya nikang papa nahan prayojnana, jana anuragadhi tuwin kapungguha”.
Terjemahan:
Peredaran zaman dunia ini sedapat-dapatnya harus kamu ikuti benar-benar, pergunakanlah ajaran Manu untuk memelihara dunia, melenyapkan penderitaan hendaknya diusahakan, kecintaan rakyat pasti kamu peroleh (Kekawin Ramayana sargah 24 sloka 81)
Referensi
https://www.mutiarahindu.com/2018/09/pengertian-dan-perkembangan-serta.html
Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015
Rabu, 13 Juli 2022
Pura Dalem Hyang Soka; Pura Tertua, Unik, dan Bertuah di Penarungan
Saat melewati Jalan Raya Penarungan, tepatnya di kawasan Banjar Blumbang, Desa Penarungan, ada sebuah pura unik di sebelah barat jalan, yakni Pura Dalem Hyang Soka. Kenapa unik?
Pura Dalem Hyang Soka sangat disakralkan masyarakat setempat. Selain bernilai sejarah, pura ini juga dipercaya sangat bertuah, sehingga ada berbagai motif pamedek yang tangkil, mulai dari matatamban (berobat), taksu dalam bidang kesenian, hingga soal kepemimpinan.
Menurut Jro Mangku I Made Ari Arnawa yang didampingi Jro Mangku Acyutananda Wayan Gaduh, yang ditemui Bali Express (Jawa Pos Group), Rabu (22/2) lalu di kawasan pura , Pura Dalem Hyang Soka sangat kental dengan nilai sejarah. Bahkan, keberadaan pura ini disebutkan dalam buku sejarah yang ada di Belanda melalui penelusuran yang telah dilakukan. “Berdasarkan penelurusan sejarah di salah satu ahli lontar di kawasan Kapal, buku sejarah yang menyebutkan keberadaan pura ini, ditemukan di Belanda,” ungkapnya.
Berdasarkan sejarah yang tertera, dikatakannya, Pura Dalem Hyang Soka merupakan pura yang tertua di Penarungan. Pangemponnya dominan dari soroh Arya Kenceng. Kini jumlah pangempon atau maksannya berjumlah 120 keluarga, yang berasal dari berbagai daerah di Bali, selain dari Penarungan sendiri.
Mengenai nama Dalem Hyang Soka, awalnya dikatakan di lokasi pura tersebut ada pohon bunga soka (angsoka) yang besar. Karena dianggap mahyang (bertuah), akhirnya dibangun turus lumbung.
“Karena kehidupan agraris, banyak masyarakat yang memohon di tempat ini. Misalnya ada yang kehilangan ternak. Setelah memohon di tempat ini, ternaknya kembali,” timpal Jro Mangku Acyutananda.
Adapun yang berkhasiat dari Pura Dalem Hyang Soka, adalah tirthanya. Dituturkan Jro Mangku Ari, awalnya yang menjadi pangempon hanya 12 orang. Pangempon bertambah seiring banyak warga yang datang untuk memohon obat melalui tirtha ‘sakti’ tersebut. “Ada masyarakat yang sakit datang ke sini, ia meminta obat dan akhirnya sehat. Sehingga ia ikut bergabung menjadi pangempon. Ada juga pejabat yang datang untuk mohon restu dalam pemerintahan,” terangnya.
- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI |
Jro Mangku berusia 47 tahun tersebut, menuturkan, melalui tirtha yang diberikan kepada pamedek, bermacam penyakit bisa sembuh. Bahkan, sakit parah seperti stroke. “Saya sudah membuktikan. Banyak yang memohon obat di sini dan sehat. Begitu juga yang memohon restu mencari sebuah pekerjaan dan jabatan,” ungkapnya. Ia pun tak menampik, para pejabat berdatangan ketika menjelang Pilkada.
Di Pura Dalem Hyang Soka ada empat odalan. Pertama, adalah odalan di palinggih Luhur yang jatuh pada Buddha (Rabu) Cemeng Marakih, yakni odalan di Pura Dalem Hyang Soka Gede (palinggih utama). Pada Buddha Kliwon Pegatwakan, odalan Patapakan Ratu Mas. Selanjutnya Pada Purnama Jyesta, odalan di Ratu Ayu. Sedangkan pada Tumpek Krulut, piodalan di Ratu Ngurah Batu Bolong.
Dilihat dari strukturnya, palinggih pada pura sudah kuna. Bahkan, halamannya sebagian masih ditutupi menggunakan batu kali. Hal itu diakui Jro Mangku Ari yang juga merupakan kelihan di pamaksan Ratu Mas. “Bangunan, khususnya bataran masih kuna, hanya ada beberapa rehabilitasi, terutama kayu-kayunya yang lapuk. Adapun palinggih yang terdapat di di kawasan pura adalah, Gedong Ratu Gede, Papelik, Palinggih Ratu Ngurah Batu Bolong, Parahyangan, Bale Pawedan, Gedong Luhur, Palinggih Ratu Ayu, Pangulun Carik, Ratu Ngurah Nyoman, dan Pangayengan Wisnu. Pura tersebut juga berkaitan dengan sebuah beji yang disebut bebengan oleh masyarakat setempat. Letaknya sekitar 500 meter dari pura. Disebut bebengan, karena terdapat danau kecil yang tak pernah surut airnya.
Sebelum penelusuran sejarah, Jro mangku mengatakan pihaknya sempat dibuat bingung mengenai penyebutan nama pura. “Ada yang mengatakan pura tersebut dengan berbagai nama. Yang karauhan mengatakan Pura Kentel Bumi, Pemuteran Jagat, dan sebagainya. Namun akhirnya sejarah membuktikan, sehingga kami tetap mempertahankan namanya Pura Dalem Hyang Soka,” ungkapnya.
(bx/rin/adi/yes/JPR) –sumber