Rabu, 23 Agustus 2023

KEMBAR BUNCING (JANJI SUAMI ISTRI)

 


Bukan hanya tentang PATI (kematian) perkara URIP (kehidupan) pun begitu pingit bagi kami penerus Gama Bali. Keduanya begitu penting hingga layak di rayakan dengan Upacara dan Upakara tentunya.
Demikian halanya kelahiran KEMBAR, BUNCING, adalah bukan tanpa musabab, jika para ahli science menyebut bahwa kelahiran kembar adalah akibat sel telur, embrio yang membelah diri menjadi dua janin, ataukah tentang dua sel telur dibuahi dua sel seperma berbeda. Bagi Gama Bali kembar bukan hanya perkara fisik saja melainkan tentang hakekat URIP, JIWA, ROH. Ada SAMAYA semacam janji yang dibuat oleh leluhur bahwa mereka sepakat untuk lahir bersama, dikandung bersama.
Tentang kembar BUNCING (kembar dengan alat kelamin berbeda) misalkan adalah akibat sepasang kekasih, suami istri, yang merasa bahwa TRESNA (cinta) mereka sedemikian kuat, begitu SUCI maka mereka bersemaya untuk lahir bersama, tak terpisahkan, sebagai ARI-KAKA (adi kakak). Berupa GETIH ABUNG-BUNG, satu darah. Bukankah suami-istri bisa berpisah? Sedangkan hubungan darah adakah bisa memutuskan?
Maka pada beberapa dresta kembar buncing patut dilakukan upacara Apengantenan (dinikahkan) sebagai simbolis penghargaan terhadap janji suci mereka.
Dan prosesi Bayuh Kembar-buncing pun patut dilakukan, melalui Panglukatan Wayang Sudhamala dengan lakon diah BEDHAWATI, putri kembar Bhatari Dhurga
sumber facebook IBM. Bhaskara
Via @infotamanofficial_

RAHINA BUDA CEMENG MRAKIH

 


Buda Cemeng Ukir,
Buda Cemeng Warigadean (selikur galungan),
Buda Cemeng Langkir,
Buda Cemeng Merakih,
Buda Cemeng Menail,
Buda Cemeng Klau.
Pertemuan antara sapta wara (buda) dengan panca wara (wage) disebut dengan Buda Wage (Buda Cemeng).
Hari ini disebut rerahinan (hari suci), karena pada hari ini payogan Sanghyang Manik Galih. Beliau turun ke dunia muncul dari Sanghyang Ongkara Merta.
Pada hari ini “sang gama tirtha” (umat sedharma) maprakerti / melakukan pemujaan kehadapan Sanghyang Sri dengan menghaturkan canang sari di sanggah / merajan, di “luhuring aturu” (di atas tempat tidur / plangkiran tempat tidur), dan di lumbung, memohon kehadapan Sanghyang Sri / Sanghyang Manik Galih / Sanghyang Sri Sedana / Sanghyang Rambut Sedana agar menganugrahkan kesuburan dan kesejahteraan di dunia.
Demikian pula Sang Pandita dan para wikan / widnyana / penekun spiritual, hari ini adalah hari yang baik untuk melakukan yoga samadi untuk mendapatkan yang namanya “budi utama suksma jati hening”. Yoga samadi dilakukan pada “malam hari” / peteng / cemeng. Itulah sebabnya mengapa Buda Wage juga disebut Buda Cemeng (cemeng = ireng = peteng = gelap = malam = hitam). Bude Cemeng = Buda Ireng.
Itulah sebabnya mengapa pada hari Buda Cemeng (buda wage) banyak dijadikan sebagai “tegak” / hari odalan di pura – pura maupun sanggah / merajan.
Demikian adanya di Cakepan Gama Tirtha, Sapta Gama dan Sunar Igama..
Postingan ini dimuat kembali agar dapat dijadikan pengetahuan dan bahan diskusi


Bhatara Sri Sedana

 


merupakan simbol bersatunya dualisme, purusa dan predana. Bhatara Sri Sedana, sering juga disebut dengan Sri Sadhana atau Sridhana, Rambut Sedana, merupakan 2 sosok personifikasi dari hyang widhi yaitu Dewi Sri dan Dewa Sedhana yang diyakini memberikan "taksu" kepada umat dalam hal rejeki, sehingga beliau dipuja oleh para pelaku ekonomi dan bisnis, baik pedagang maupun pengusaha. Beliau merupakan Dewa Kekayaan, Dewa kemakmuran, kemurnian, dan kedermawanan selalu dihubungkan dengan Dewi Laksmi.
Bhatara Sri Sedana juga dipuja sebagai “Dewi Kesejahteraan” yang menganugerahkan harta kekayaan, emas-perak (sarwa mule), permata dan uang (dana) kepada manusia. Kegiatan peringatan hari turunnya “Sri Sedana” yang lazim disebut “Rambut Sedana” jatuh pada Budha Wage Kelawu (Buda Cemeng) merupakan odalan bagi uang maupun nafkah yang telah dianugerahkan Tuhan Yang Mahaesa kepada umat Manusia.
Bhatari Sri atau Dewi Shri merupakan dewi kemakmuran, dimana Sri secara umum diartikan dengan awal, kehidupan, kebahagiaan. sehingga dewi Sri diidentikan dengan sumber makanan, sehingga beliau dijadikan dewi Pertanian, dewinya padi, dewi sawah dan dewi kesuburan.
Bhatara Sedana atau Dewa Sadhana merupakan dewa Keberlimpahan, Dewanya uang dan kekayaan. sedana memiliki akar kata "se + dhana". "Se" artinya satu atau tunggal sedangkan "dhana" artinya uang, materi, harta, kekayaan, sumber nafkah. sehingga sedana merupakan sumber tunggal dari harta benda atau nafkah.

Ida Bhatara Sri Sedana dalam Pembagian Pura Kahyangan Jagat, Beliau berstana di Pura Goa Raja, Besakih. Pura Goa Raja memiliki keunikan yakni sebuah goa di pinggir sungai kecil bekas aliran lahar Gunung Agung saat meletus pada 1963. Goa batu berukuran besar di kompleks Pura tersebut secara tradisi diyakini umat Hindu, hilirnya tembus ke Pura Goa Lawah di Kabupaten Klungkung dan hulunya tembus ke Gunung Agung, gunung tertinggi di Pulau Bali. Pura berfungsi sebagai titik sentral tempat pemujaan Hyang Widhi sebagai penganugerah kerahayuan (keselamatan) dan kesejahteraan umat manusia. Salah satu pelinggih, di Pura ini adalah tempat untuk memuja Ida Betara Sri Sedana atau Rambut Sedana yang diyakni umat Hindu dapat memberikan kesejahteraan kepada umat manusia.
Perayaan Rairan/Hari Raya Suci/Piodalan Sri Sedana atau lazimnya sering disebut Rambut Sedana dilakukan di setiap rumah tangga dan Pura di lingkungan desa adat. Sehingga di Bali perayaan Ritual dan Piodalan Ida Bhatari Rambut Sedana tidak hanya dilaksanakan di Pura Goa Raja, namun di dapat juga dilaksanakan di Sanggah atau Merajan atau Pura tertentu di masing-masing Desa Pekraman di Bali sesuai Desa Kala Patra.
Dalam Sanggah/Pemerajan Keluarga Besar, Bhatara Sri Sedana biasanya dibuatkan Pelinggih Gedong Limas atau Meru tumpang kalih (dua), di sisi uttara atau sejajar Pelinggih Taksu, sedangkan di setiap Pasar Beliau distanakan di huluning pasar. Demikian Sekilas tentang Bhatara Sri Sedana, semoga bermanfaat.


Sarining Yadnya Desa, Kala, Patra

 

“Yadnya”
tak tulus iklas bukanlah sesungguhnya yadnya sempurna.
Tulus iklas tak dapat diukur, namun dapat dirasakan dan direnungkan siapa saja sebagai pelakon yadnya. Yadnya adalah korban suci yang jauh dari ketidak-sucian.
Tulus iklas merupakan wujud kesucian hati nurani yang menjadikan yadnya satwika, unggul utama. Yadnya satwika lahir dari ketidakterikatan diri dan tak memaksakan diri.
Mengimplementasikan yadnya satwika merupakan jalan luhur. Jalan yang dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari pada lingkungan sosial maupun lingkungan alam.
Dengan demikian, banyak pelakon yadnya sejati sungguh-sungguh merdeka mengecap manisnya sari-sari yadnya.
Para bijak Hindu mungkin atas nama kemerdekaan hati nurani mengkonstruk cara-cara beryadnya dan menyesuaikan dengan
Desa (tempat seperti apa dan dimana),
Kala (kapan waktu yang tepat atau keadaan seperti apa),
Patra (sumber sastra yang ada).
Formula yang tersaji itu dapat memudahkan pemahaman manusia beryadnya dengan kesadaran.

Yadnya ala desa, kala, patra diharap tidak bermakna sempit, sekedar mempersembahkan sesajen. Membantu orang sedang membutuhkan secara tepat guna, menjaga dan melestarikan lingkungan alam, mengamalkan ilmu pengetahuan merupakan contoh sebagian kecil laku beryadnya.
Umat Hindu mungkin masih banyak bingung atau kurang paham dalam memilih cara beryadnya.
Hindu sejatinya menawarkan pilihan cara dan tingkatan beryadnya. Disarankan pula menggunakan wiweka (menimbang- nimbang sesuatu pilihan) untuk memilih cara-cara beryadnya yang tepat guna. Kini yadnya cendrung diukur dengan materi. Konsepsi desa, kala, patra pun semakin beku dan semu. Apakah alasan itu muncul karena gengsi?
Beryadnya yang keliru dalam rekaman waktu adalah yadnya yang tidak memiliki keseimbangan dalam konteks tempat, waktu atau keadaan dan sastra yang ada.
Mungkin tempat dan waktunya yang sesuai, namun catatan mengenai itu kurang dimaknai.
Kesesuaian antara desa, kala, patra menandakan Hindu mengajarkan yadnya secara fleksibel.
Sebagai pelakon yadnya hendaknya manusia menggunakan wiweka, berpedoman pada desa, kala, patra secara seimbang. Ritus yadnya bukan merupakan puncak pencapaian, namun sebagai jalan untuk dilalui dalam proses penyadaran manusia sebagai makhluk yang sering keliru.
Yadnya sejatinya adalah cara yang ditawarkan pada umat Hindu untuk membayar hutang kelahiran ke dunia...

Senin, 21 Agustus 2023

RITUS GAMA BALI

 



Ritus GAMA BALI yang dilaksanakan berdasarkan SIMA DRESTA dengan HULU PADA yang jelas (benar) memiliki peranan yang sangat penting dalam keharmonisan hidup masyarakat karena melalui ajaran leluhur yang diwariskan sampai sekarang masyarakat akan terus terkoneksi berhubungan dengan Leluhurnya di masa lalu, masa kini dan masa depan.
Situs dan Ritus adalah data primer yang merupakan jejak asli peradaban leluhur dimasa lampau, karena pengetahuan setiap elemen dari Situs dan Ritus adalah kesastraan dari pengetahuan leluhur yang diimplementasikan untuk sebuah tujuan. Situs merupakan estafet pengetahuan yang dititipkan leluhur pada generasinya, sedangkan Ritus merupakan ritual yang dilaksanakan terkait dengan keberadaan situs tersebut. Leluhur menjabarkan esensi keyakinan masyarakat Gama Bali yang kemudian terpola di dalam kebudayaan, adat tradisi dan ajaran agama yang dapat dilihat dari keberadaan ritus lahir, hidup dan mati.
Situs dan Ritus saling melengkapi, keberadaan situs bisa dilihat dari ritusnya begitu juga sebaliknya ritus bisa menunjukan situs. Melalui situs dan ritus, leluhur telah menanamkan nilai-nilai yang menjadi akar budaya serta pedoman untuk menjaga keharmonisan semesta beserta isinya demi peradaban Bali.
Rahayu semoga selalu sehat dan bahagia
Dalam kesempatan ini tiang akan menyampaikan tentang POLA RITUS MANUSA dan PITRA YADNYA yang dijabarkan menggunakan landasan Tatwa, Susila dan Upa-acara berdasarkan TATWA AJI SARASWATI dengan membuat Batasan di dalam menguaraikan dengan menggunakan konsep SAPTA UPA-YA;
Upawasa, Uparengga, Upakara, Upasedana, Upadesa, Upa-acara, Upapira
dan penjelasanya ditekankan pada SESANA karena kita selama ini diwariskan RITUS yang berbeda-beda serta menguraikan tentang hal tersebut diatas hanya pada perjalanan ROH (Akasara) dari PUTRA menuju PITRA dengan ritus yang telah diwariskan kepada kita diantaranya; Ritus Kelahiran, Ritus Kehidupan dan Ritus Kematian, seperti disebut di bawah ini:
A. RITUS KELAHIRAN (MANUSA YADNYA)
a. Ritus di dalam kandungan
- Pengerujakan (dilakukan pada saat Ngidam)
- Megedong-gedongan
- Ngelukat Bobotan (Purnama dan wuku wayang setelah ritus megedong-gedongan)
b. Ritus setelah lahir
- Mapag Rare/Baru Lahir (matur piuning di kemulan, membuat upakara dapetan dan Ritus Menanam Ari-Ari)
• Pulang dari Rumah Sakit (opsional)
- Penelahan/Kepus pungsed/Ngerorasin (12 hari)
- Pekambuhan/Tutug Kambuhan/Pacolongan/Bulan Pitung Dina (42 hari)
- Penyambutan/Telung Bulanan (105 hari)
- Pewetonan/Otonan/Nem Bulanan (210)
- Ngempugin (Tumbuh Gigi)
- Telung Oton/Ngangkid ke Segara/Tukad/Danau (ritusnya melepaskan jukung dari klopekan kelapa)
- Ketus Untu (gigi lepas pertama)
Catatan Penting; Mepetik, Tuwun ke tanah dan Upasaksi ke Bale Agung (OPSIONAL) biasanya dilakukan pada saat Ritus Penyambutan, Ritus Pawetonan dan pada saat Ritus Ngangkid

B. RITUS KEHIDUPAN (MANUSA YADNYA)
a. Munggah Daha/Teruna (Menek Kelih)
- Raja Singa (laki-laki)
- Raja Swala (wanita)
b. Asalin Panji
- Metatah (Sangging Undagi)
- Mesangih (Sangging Prabangkara)
- Mepandes ( Sangging Meranggi)
c. Sesana Amet Pinet (meminang/ngelamar)
- Ngerorod/Ngerangkat (pengambilan sesana Patih)
- Memadik (pengambilan sesana Prabu)
- Pepadan (tidak ada amet pinet/sesana Bhujangga)
d. Mesakapan
- Mekala-kalaan/Metanjung Sambuk
e. Pawiwahan/Pesta perkawinan
- Mejaya-jaya
- Resespsi pernikahan
f. Mejauman/Metipat Bantal
- Pewarangan
- Serah terima tanggung jawab orang tua dan prejuru Banjar maupun Desa)
g. Nganten/Neteg Pulu
- Membuat Pulu dengan 4 macam beras (injin, ketan, beras putih dan beras merah)
C. RITUS KEMATIAN (PITRA YADNYA DAN SIWA YADNYA)
a. Atiwa-tiwa
- Pebersihan hidup
- Pebersihan mati
- Ngeringkes/Melelet
b. Sawa Wedana/Ngaben
- Sawa Preteka
- Tandang Mantri
- Kumandang Mantri
- Ngelanus
c. Atma Wedana/Nyekah Kurung
- Ngeroras/Ngangseng (tanpa sekah kurung)
- Memukur (membuat bukur)
- Meligya
- Ngeluwer
Rahayu, semoga ada manfaatnya
Kalau kita cermat melihat pola ritus diatas maka sudah menjadi kewajiban kita untuk belajar aksara karena sesungguhnya MANUSA lahir dari akasara sehingga kita tidak begitu mudahnya di bilang salahin ini itu kurang ini itu oleh JIWA yang sakit
Suksme semoga semua roh di semesta ini berbahagia

Mangku Made yoga semadi



Tumpek Krulut

 


Repost: yayasan bakti Pertiwi jati
Krulut, yang sudah kebablasan “Etika”
Tumpek Krulut jatuh pada hari Sabtu Kliwon, wuku Krulut, yaitu setiap 6 bulan Bali atau 210 hari kalender atau menggunakan Rah Candra sebagai perhitungan hari kelahiran dari “rerainan” di Bali dan pada saat rerainan tumpek krulut adalah pemujaan kepada Tuhan dalam manisfestasinya sebagai Dewa Iswara, yang telah menciptakan suara-suara suci dalam bentuk Tabuh (Kara”wit”an) dan Gamelan (Kara”wang”).
Tidak semua masyarakat Hindu Bali melaksanakan Rerainan Tumpek Krulut, Mengapa?
Rahayu semeton bali l
ampura, kami tidak akan membahas terminology dari “Krulut” untuk menghindari dari tafsir
Tumpek Krulut diambil dari nama wuku (penanggalan bali) berdasarkan kalender Bali, yang memiliki makna “rasa” dalam hal ini wujud dari Dewa Iswara yang merupakan “suara” (simak tutur aji saraswati) yang di implementasikan dalam bentuk suara yang menimbulkan “rasa” kasih sayang terhadap dan atau dari alat-alat seni berupa gamel'an atau te'tabuh'an.
Hari Tumpek Krulut jika dicermati secara mendalam berdasarkan “Gugon Tuwon” sesungguhnya sangat jelas dilihat siapa yang melaksanakan “rerainan” pada saat Tupek Krulut sehingga akan jelas bagaimana “Etika” melaksanakan “Upacara” rerainan Tumpek Krulut dan siapa saja yang melaksanakan rerainan Tumpek Krulut.

Rahayu semeton bali lan Bakti Pertiwi Jati, dumugi sami sehat, lan ten keni sosod upradawa olih Ida Bhetara Hyang Guru, tabik pekulun.
Kembali ke pemahaman tumpek bahwa rerainan “Tumpek” adalah rerainan yang bersifat “Loka Dresta” yang artinya tidak semua masyarakat melaksanakan rerainan Tumpek, dan “Tumpek” adalah “upacara nyurud ayu” jadi sesungguhnya upacara yang dilaksanakan pada saat tumpek semestinya di lakukan di Sanggah atau Merajan dari “pemilik gamelan” yang akan di buatkan upacara, dan karena sekarang banyak masyarakat dan banjar-banjar membeli sendiri seperangkat gamelan maka “etika” dalam pelaksanaan upacara “tumpek krulut” menjadi bias (tidak berdasarkan Tatwa, Susila dan Upacara).
Cara mudah melihat siapa pemilik dari gamelan yang berdasakan “gugun tuwon” adalah dengan melihat siapa yang melaksanakan “rerainan” pada saat tumpek krulut, dialah sesungghnya yang memiliki gambelan (walaupun dimana di tempatkan gamelan tersebut, tidak masalah) dan yang paling penting pada saat upacara TUMPEK adalah proses “Nyurud Ayu” yaitu nunas Tirta Pemuput dan nunas Sesayut serta Ketipat Gong dari “pemilik gamelan” tersebut.
Dalam kondisi sekarang semestinya di “Puri-Puri” sejebag Bali dalam perspektif tatwa yang mempunyai otoritas sebagai Sang Prabu yang melaksanakan upacara Tumpek Krulut karena Sang Prabu yang mempunyai dan menjalankan fungsi rohani di Bali dan yang memiliki “suara” berdasarkan Tatwa Bali adalah sang prabu sebagai “Iswara”


Lungsuran - Surud Ayu - Paridan

 


Ketiga hal ini pastinya familiar di telinga wong Bali
LUNGSURAN
Dijaman dahulu disaat raja melakukan Yadnya maka rakyatnya diperbolehkan ngelungsur, atau Jika sebuah Yadnya dilakukan baik itu di lingkungan keluarga, desa atau kelompok maka ada istilah ngelungsur wedang,sanganan , lanjaran dll..
Dan jika kegriya ada istilah ngelungsur (nunas ) Tirta..
Adakah penggunaan kata ngelungsur digunakan untuk hal lain?? Boleh ditambahkan di kolom komentar ngih
SURUDAN(surud ayu)
Surudan adalah Kondisi dimana si pemilik banten menghaturkan sendiri dan menikmati isi dari sesaji nya sendiri, itulah yg disebut nyurud ayu.
Contoh sederhananya, Laku spiritual yg mana saat prosesi seseorang menghaturkan pejati oleh dirinya dan surudannya ( isi sesajen didalam pejati) diijinkan untuk dinikmati untuk dirinya sendiri..
PARIDAN
Paridan arahnya Lebih ke bhuta atau pitra...
Dalam hal ini penentunya lebih kepada etika atau moralitas..
Ini alasan kenapa beberapa orang enggan atau tidak mau menerima paridan dari orang lain
Akan tetapi seperti yang dikatakan oleh narasumber; sujatinya manusia juga adalah dewa ye,bhuta ye..
Jadi menikmati paridanpun sesungguhnya tidak memberikan dampak apa-apa dalam tubuh..
Kecuali,sudahh tersugesti oleh etika atau moral yang sudah ditanamkan,pastinya akan merasakan dampak dari sugestinya sendiri...
Tiga pemilihan kata ini yg diwarisi oleh leluhur wong bali, diluar dari pada ini bisa dikatakan warisan luar... Silahkan di bijaksanai...
Salam berbagi dumogi bermanfaat
Via: gamabali_sesanawongbali