Repost: yayasan bakti Pertiwi jati
Krulut, yang sudah kebablasan “Etika”
Tumpek Krulut jatuh pada hari Sabtu Kliwon, wuku Krulut, yaitu setiap 6 bulan Bali atau 210 hari kalender atau menggunakan Rah Candra sebagai perhitungan hari kelahiran dari “rerainan” di Bali dan pada saat rerainan tumpek krulut adalah pemujaan kepada Tuhan dalam manisfestasinya sebagai Dewa Iswara, yang telah menciptakan suara-suara suci dalam bentuk Tabuh (Kara”wit”an) dan Gamelan (Kara”wang”).
Rahayu semeton bali l
ampura, kami tidak akan membahas terminology dari “Krulut” untuk menghindari dari tafsir
Tumpek Krulut diambil dari nama wuku (penanggalan bali) berdasarkan kalender Bali, yang memiliki makna “rasa” dalam hal ini wujud dari Dewa Iswara yang merupakan “suara” (simak tutur aji saraswati) yang di implementasikan dalam bentuk suara yang menimbulkan “rasa” kasih sayang terhadap dan atau dari alat-alat seni berupa gamel'an atau te'tabuh'an.
Hari Tumpek Krulut jika dicermati secara mendalam berdasarkan “Gugon Tuwon” sesungguhnya sangat jelas dilihat siapa yang melaksanakan “rerainan” pada saat Tupek Krulut sehingga akan jelas bagaimana “Etika” melaksanakan “Upacara” rerainan Tumpek Krulut dan siapa saja yang melaksanakan rerainan Tumpek Krulut.
Rahayu semeton bali lan Bakti Pertiwi Jati, dumugi sami sehat, lan ten keni sosod upradawa olih Ida Bhetara Hyang Guru, tabik pekulun.
Kembali ke pemahaman tumpek bahwa rerainan “Tumpek” adalah rerainan yang bersifat “Loka Dresta” yang artinya tidak semua masyarakat melaksanakan rerainan Tumpek, dan “Tumpek” adalah “upacara nyurud ayu” jadi sesungguhnya upacara yang dilaksanakan pada saat tumpek semestinya di lakukan di Sanggah atau Merajan dari “pemilik gamelan” yang akan di buatkan upacara, dan karena sekarang banyak masyarakat dan banjar-banjar membeli sendiri seperangkat gamelan maka “etika” dalam pelaksanaan upacara “tumpek krulut” menjadi bias (tidak berdasarkan Tatwa, Susila dan Upacara).
Cara mudah melihat siapa pemilik dari gamelan yang berdasakan “gugun tuwon” adalah dengan melihat siapa yang melaksanakan “rerainan” pada saat tumpek krulut, dialah sesungghnya yang memiliki gambelan (walaupun dimana di tempatkan gamelan tersebut, tidak masalah) dan yang paling penting pada saat upacara TUMPEK adalah proses “Nyurud Ayu” yaitu nunas Tirta Pemuput dan nunas Sesayut serta Ketipat Gong dari “pemilik gamelan” tersebut.
Dalam kondisi sekarang semestinya di “Puri-Puri” sejebag Bali dalam perspektif tatwa yang mempunyai otoritas sebagai Sang Prabu yang melaksanakan upacara Tumpek Krulut karena Sang Prabu yang mempunyai dan menjalankan fungsi rohani di Bali dan yang memiliki “suara” berdasarkan Tatwa Bali adalah sang prabu sebagai “Iswara”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar