Senin, 28 November 2022

4 Jalan Menuju Moksa



Pada postingan sebelumnya yakni Pengertian dan Tingkatan Moksa, penulis telah membahas bahwa moksa merupakan tujuan akhir dari umat Hindu. Moksa juga merupakan bagian dari Catur Purusa Artha yaitu dharma, artha, kama, dan Moksa. Bahandur dalam Kondra (2015:38) menjelaskan bahwa moksa atau manunggalnya Atman dengan Brahman, menurut kitab-kitab Upanisad dapat dicapai dalam kehidupan di dunia atau pada saat penjelmaan ini ataupun setelah seseorang meninggal dunia.



Foto; Istimewa

Dalam ajaran agama disebutkan ada empat jalan untuk mencapai “moksartham jagadhita ya ca iti dharma” atau mencapai jagadhita (kesejahteraan jasmani) atau moksa (ketentraman abadi atau kehidupan abadi) (Suhardana, 2010: 65). Ada pun ke empat cara tersebut dikenal dengan Catur Marga Yoga. Catur marga yoga yaitu empat jalan (cara) umat Hindu untuk menuju Sang Hyang Widhi Wasa (Brahman).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

1. Bhakti Marga (Bhakti Yoga)


Adalah jalan menuju moksa dengan cara melakukan kebaktian yang tekun Kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Brahman) dengan landasan pengabdian yang tulus iklas, pasra, penuh cinta kasih serta menyerahkan diri kepada Hyang Widhi sepenuhnya.


Jalan Bhakti Marga dikenal juga dengan nama Bhakti Marga Yoga. Bakti sendiri berarti hormat, taat, sujud, menyembah, persembahan, kasih (Ngurah Dwaja dan Mudana, 2015: 12). Orang yang menempu jalan ini disebut Bhakta. Untuk mencapai jalan ini maka dia wajib memegang teguh ajaran Tat Twam Asi, menebarkan rasa kasih sayang tanpa batas kepada semua mahkluk hidup, dan menghilangkan rasa kebencian, kekejaman, iri dengki dan kegelisahan atau keresahan. Semua hal-hal negatif harus dihilangkan.


Suhardana (2010 : 35 - 36) dalam bukunya “Moksa Brahman Atman Aikhyam” mengutip Bhagavadgita bab 12 sloka 19, 20 dan 55 mengatakan bahwa “ia yang menganggap sama celaan dan pujian, menerima apa saja yang datang tanpa diikuti oleh tempat yang tetap dan teguh dalam pikiran, yang berbakti demikian adalah kecitaan Ku (tuhan).



Mereka yang penuh kepercayaan menetapkan Tuhan (Brahman) sebagai tujuannya yang tertinggi, mengikuti pengetahuan yang abadi, berbakti, mengetahui Tuhan yang sebenarnya, pada hakekatnya akan mencapai moksa dikemudian hari.


Dapat disimpulkan bahwa seorang bhakta hendaknya selalu berusaha melenyapkan kebenciannya kepada semua makhluk dan selalu berusaha mengembangkan sifat-sifat Maitri, Karuna, Mudita dan Upeksa (Catur Paramita) sehingga terbebas dari belenggu keakuan (ahamkara).


2. Karma Marga (Karma Yoga)


Adalah jalan menuju moksa dengan cara bekerja atau berkarya. Jalan ini dikenal juga dengan nama Karma Marga Yoga. Seseorang yang menempuh jalan ini, harus bekerja dengan ketulusan hati tanpa terikat pada pahala yang dikerjakan atau kerja tanpa pamrih (tyaga-bhakti) (Kondra, 2015 : 28).


Inti dari ajaran Karma Marga Yoga adalah melepaskan semua hasil dari segala perbuatan. Dalam Bhagawadgita III.19 dijelaskan bahwa orang yang melaksanakan segala pekerjaan sebagai bentuk dari kewajiban tanpa terikat pada hasilnya, orang itu sesungguhnya akan mencapai yang utama (Brahman).


Ngurah Dwaja dan Mudana, (2015: 14-15), mengatakan bahwa seorang karma yogi dengan menyerahkan keinginan akan pahala, ia akan menerima pahala yang berlipat ganda. Masyarakat yang tinggal bersamanya akan merasa bahagia. Sebab orang yang telah mencapai tingkatan tersebut, memiliki aura kesucian yang dapat memancar dari segala tubuhnya. Karma Yoga adalah aktivitas kerja yang positif di dasari dengan niat yang tulus iklas tanpa pamrih.




3. Jnana Marga (Jnana Yoga)


Adalah jalan menuju moksa dengan cara menekuni ilmu pengetahuan kerohanian. Jalan ini dikenal juga dengan Jnana Marga Yoga. Jalan ini dilaksanakan oleh mereka yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi dan daya cinta kasih yang mendalam kepada Tuhan (Suhardana, 2010: 34).



Dalam Bhagavad Gita IV.33 dijelaskan bahwa orang yang mempersembahkan ilmu pengetahua, lebih bermutu dari pada persembahan materi. Secara keseluruhan, semua kerja berpusat pada ilmu pengetahuan. Sebab, dengan pengetahuan seseorang dapat mengarungi lautan kejahan (BG. IV.36). Bahkan dalam Bhagawadgita V.38 dikatakan bahwa tidak ada di dunia ini menyamai kesucian kebijaksanaan (ilmu pengetahuan).


Jnana Yoga sendiri berasal dari kata Jnana yang artinya pengetahuan (kebijaksanaan filsafat) sedangkan Yoga berasal dari kata Yuj yang artinya menghubungkan. Jadi Jnana Yoga artinya mempersatukan Atman (jiwatman) dengan Brahman (paramatman) yang dicapai dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan (Ngurah Dwaja dan Mudana, 2015: 15).


Kebebasan ikatan keduniawian dengan menempu jalan ini dapat dilakukan dengan mengarahkan segala pikiran kita, memaksanya kepada kebiasaan-kebiasaan suci, dan memusatkan pikiran kepada-Nya (dhyana yoga).


4. Yoga Marga (Raja Yoga)


Adalah jalan menuju moksa dengan cara melalui pengendalian diri dan melaksanakan ajaran Astangga Yoga. Jalan ini dikenal juga dengan nama Raja Marga Yoga. Inti dari ajaran ini adalah pemusatan pikiran kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan), melalu meditasi dan Samadhi. Pelaksanaan Yoga Marga melalui tahapan-tahapan Astangga Yoga (Suhardana, 2010: 35). Sloka yang berkaitan dengan Raja Yoga dapat dilihat pada Bhagavadgita VI.31 dan 32.

Seseorang yang ingin menempuh jalan ini diwajibkan memiliki guru, sebab jalan Raja Yoga sangat berat dan mistik (rohani). Untuk mencapai ajaran ini, ada tiga jalan pelaksanaan yang ditempuh oleh para Yogin yaitu melakukan tapa-brata (pengedalian emosi atau nafsu yang ada dalam diri kita ke arah yang positif) dan samadhi yaitu latihan untuk dapat menyatukan sang Jiwa dengan Brahman.


Demikianlah ke empat jenis Yoga di atas mempunyai nilai yang sama, artinya bahwa tidak ada yang lebih dominan atau lebih rendah. Semuanya dapat dipilih sesuai dengan kemampuan masing-masing orang.




Referensi


Kondra, I Nengah. 2015. Kamus Istilah Dalam Agama Hindu. Bandung:
Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Suhardana, Komang. 2010. Moksa Brahman Atman Aikyam. Surabaya: Paramita.

Warangka Manjing Curiga

 



Memasuki tubuh untuk menemukan tapaking kuntul anglayang di pusat hati bukanlah hal yang mudah. Tubuh ibarat hutan belantara yang tidak mudah dijelajahi. Ada banyak tempat dan jalur rahasia yang tidak mudah dimasuki. Dan untuk menemukan tapaking kuntul anglayang di dalam diri, kita mesti memasuki banyak nadi di dalam tubuh.
Bagi yang masih awam dengan tema Sêdulur Papat, pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah, bagaimana kita bisa memasuki tubuh? Untuk menjawabnya, saya perlu mengutip sebuah ungkapan yang sering dijadikan pedoman bagi para penekun ajaran ini, yakni “warangka manjing curiga”, yang bermakna “warangka yang masuk ke dalam bilah keris”. Bagaimana bisa? Bukannya itu terbalik, yaitu bilah keris yang masuk ke dalam warangka atau sarungnya? Sesungguhnya ungkapan itu mengandung makna mistik yang susah dicerna pikiran awam, dan untuk memahaminya butuh kematangan dan ketajaman batin.

Dalam ungkapan “warangka manjing curiga”, tubuh diibaratkan warangka dan bilah keris diibaratkan jiwa yang pada hakikatnya suwung. Artinya, laku untuk menemukan suwung di dalam diri adalah laku membawa kesadaran tubuh ke dalam kesadaran suwung. Di dalam warangka tubuh, ada bilah keris yang selalu bercahaya dan itulah jiwa yang hakikatnya suwung.
Untuk mengantarkan warangka tubuh ke dalam jiwa yang suwung hingga lebur ke dalam penyatuan yang sempurna, masukkanlah kekuatan Ratu Wayan Têbêng (transformasi dari Sêdulur Papat Gêtih kita) di jagat raya ke dalam tubuh. Proses memasukkan kekuatan Ratu Wayan Têbêng ke dalam tubuh ini diibaratkan seperti memasukkan warangka ke dalam bilah keris. Proses itu dapat dilakukan dengan cara terhubung kepada kawisesan Ratu Wayan Têbêng, tapaking kuntul anglayang, melalui praktik pasuk-wêtu (memasukkan dan mengeluarkan) energi Ratu Wayan Têbêng.
SÊDULUR PAPAT KALIMA PANCÊR
(Pre-Order s.d. 20 November 2022)
Penulis: @ketut.sandika
14x21 cm | Hard Cover | 340 hlm. (8 hlm. full color)
Harga Pre-Order: Rp120.000 (dari Rp150.000)
Pemesanan via WA: 0812-8765-4445 klik https://bit.ly/Po-SPKLP
Akun Tokopedia & Shopee: Javanicabooks


SÊDULUR PAPAT dan PERNIKAHAN YANG SAKRAL

 



Ada uraian di salah satu lontar Kanda Pat bahwa Sêdulur Papat sang jabang bayi sesungguhnya sudah tercipta dalam bentuk energi ketika mata bapa beradu dengan mata ibu dalam rasa cinta yang mendalam bahkan sebelum mereka menikah dan bersanggama. Energi Sêdulur Papat tersebut menjadi lebih sempurna ketika bapa dan ibu bersanggama setelah menjalani ritual pernikahan. Energi Sêdulur Papat tidak akan sempurna sebelum sperma bapa bertemu ovum ibu melalui sanggama rasa, dan energi tersebut akan tetap berada di ruang kala (waktu) sembari menunggu sanggama rasa terjadi.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Ajaran Sêdulur Papat Kalima Pancêr adalah puncak spiritualitas Nusantara yang memungkinkan kita untuk hidup selaras dengan alam, melebur emosi rendah ke dalam emosi luhur melalui proses menyalakan nar (api) untuk mendapatkan nur (cahaya), serta menciptakan keajaiban dan keberlimpahan dalam hidup keseharian. Didasarkan pada 44 lontar warisan leluhur Jawa dan Bali, buku ini membahas:
.
• Proses kejadian Sêdulur Papat dan sang jabang bayi.
• Transformasi Sêdulur Papat Kalima Pancêr: Pancabhuta, Pancaratu, Pancadewata.
• Kawisesan Sêdulur Papat: Sêgara tanpa Têpi, Tapaking Kuntul Anglayang, Galihing Kangkung, Isining Buluh Bumbang, Lontar tanpa Tulis.
• Ilmu kematian dan mati sajêroning urip (mati di dalam hidup).
• Meditasi Kanda Pat untuk mengakses kekuatan Sêdulur Papat.
• Ritual untuk terhubung dengan Sêdulur Papat.
• Perlindungan dan penyembuhan dengan energi Sêdulur Papat.
.
Penulis: I Ketut Sandika
14x21 cm | Hard Cover | 340 hlm. (8 hlm. full color)
Harga Pre-Order: Rp135.000 (dari Rp150.000) PLUS TANDA TANGAN PENULIS
.
Pemesanan via WA: 085 337 588 732

.
Lantas, jika ada laki-laki bertemu perempuan dan beradu pandang, kemudian muncul rasa cinta tetapi tidak sampai menikah, apa yang terjadi dengan energi Sêdulur Papat itu? Energi itu akan tetap tersimpan di ruang kala dan menunggu hingga laki-laki dan perempuan itu terlahir kembali, dipertemukan oleh karma, dan pada akhirnya menikah. Selama belum menikah, mereka masih akan memiliki hubungan dengan energi Sêdulur Papat tersebut. Mereka memiliki utang karma dengan energi tersebut, dan kadang utang tersebut menjadi penyebab penderitaan. Juga, selama itu pula keduanya berada dalam siklus kelahiran yang berulang.
.
Karena itu, pernikahan adalah peristiwa sakral agar kita dapat melunasi utang karma terhadap energi Sêdulur Papat. Jangan sampai utang karma ini kita bawa dalam setiap kelahiran, yang akan menjadi beban penderitaan bagi jiwa kita. Pernikahan disebut “pajatuh karma” atau takdir untuk melunasi utang karma dalam setiap kelahiran.
.
Demikian pula yang terjadi ketika laki-laki bertemu perempuan dan muncul cinta pada pandangan pertama, lalu mereka menjalin hubungan lebih dalam tetapi kandas di tengah jalan. Kemudian keduanya justru menemukan pasangan masing-masing dan akhirnya menikah. Hubungan mereka pupus sebab sudah mempunyai pasangan masing-masing.
.
Sejatinya hubungan mereka tidak pupus sepenuhnya sebab masih diikat oleh energi Sêdulur Papat yang berada di dalam ruang kala. Ketika muncul rasa cinta di awal pertemuan, energi Sêdulur Papat sudah terbentuk dan mengikat mereka. Ikatan tersebutlah yang dapat memunculkan cinta pada keduanya ketika bertemu kembali, baik di kehidupan sekarang maupun mendatang. Ini sering terjadi sehingga ada ungkapan “cinta lama bersemi kembali”. Ketika itu terjadi, si laki-laki dan si perempuan yang lama terpisah tetapi sudah sama-sama memiliki pasangan akan berhasrat untuk melanjutkan hubungan asmara mereka sebelumnya. Dalam hubungan itu, biasanya muncul dorongan kuat untuk menumpahkan nafsu sehingga terjadilah perselingkuhan.
.
Beberapa kasus perselingkuhan yang terjadi kemungkinan disebabkan oleh energi Sêdulur Papat yang tercipta dalam hubungan percintaan pelaku perselingkuhan sebelumnya. Energi tersebutlah yang mengacaukan hubungan suami-istri sehingga secara energetik mereka menjadi tidak selaras lagi. Dalam salah satu lontar, ada uraian singkat tentang energi Sêdulur Papat yang belum sempurna. Energi tersebut digerakkan oleh Sang Anta Prêta dan bersifat destruktif. Ia akan merasuki hati suami-istri sehingga merusak hubungan mereka. Energi destruktif tersebut dapat dinetralisir dengan ruwatan khusus agar hubungan mereka harmonis kembali. Ada pula ruwatan khusus untuk menyempurnakan energi Sêdulur Papat agar Sang Anta Prêta tidak mengarahkan energi itu ke hati pasangan suami-istri tersebut.

SÊDULUR PAPAT dan PERJALANAN JIWA MANUSIA

 



Dalam ajaran Sêdulur Papat disebutkan bahwa hakikat manusia sesungguhnya adalah atmasunya, lapisan terdalam jiwa, yang juga disebut sukma sejati. Atmasunya tidak bisa dicerap oleh pancaindra. Atmasunya eksis sebagai zat terhalus yang menyusupi semuanya (wyapi-wyapaka), termasuk manusia, yang terlahir dari sunya atau suwung. Atmasunya adalah cikal-bakal benih yang mendiami seluruh eksistensi, dan dalam ajaran Sêdulur Papat ia disebut manik (benih kehidupan).

.
Ketika atmasunya mengada, ia terkena pengaruh prakêrti (kekuatan material halus) sehingga diselubungi oleh unsur material. Atmasunya kemudian bercampur dengan prakêrti sehingga tidak lagi disebut atmasunya, tetapi atma atau jiwa. Atmasunya adalah intisari jiwa, sementara jiwa adalah atmasunya yang sudah terbungkus oleh unsur material. Lapisan-lapisan yang membungkus atmasunya adalah citta (pikiran), buddhi (kecerdasan akal dan budi), dan ahangkara (keakuan).
.
Atmasunya berwujud cahaya murni. Cahaya tersebut bersumber dari sunya atau energi kesadaran murni yang memenuhi akasa jagat raya. Ketika cahaya murni terpancar dari sunya dan melewati dimensi bumi, ia kemudian terikat oleh prakêrti. Prakêrti ini begitu kuat menarik atmasunya untuk berada dalam lapisan material.
.
Atmasunya yang sudah terbungkus oleh prakêrti dalam lontar-lontar Kanda Pat disebut Sang Maya Siluman—jiwa yang mengambil wujud tubuh layaknya siluman. Jiwa harus menempati tubuh dan terlahir untuk bisa hidup di dimensi bumi. Tetapi ia tidak selamanya berada di bumi, sebab ia akan melanjutkan perjalanannya ke dimensi-dimensi lain melalui kematian.
.
Setelah jiwa berada di alam kematian, bisa saja ia melanjutkan perjalanan menuju dimensi-dimensi lain atau kembali terlahir ke bumi untuk menuntaskan karma yang masih melekat padanya. Sebelum terlahir, sang jiwa masih berada di akasa, menunggu rahim yang cocok untuk melahirkannya kembali. Ia akan memilih rahim ibu yang memiliki ikatan karma dengannya. Melalui sanggama bapa dan ibu hingga sperma membuahi ovum, jiwa kemudian masuk ke dalam penyatuan sperma dan ovum tersebut di rahim ibu. Idealnya selama sembilan bulan ia bertapa di dalam rahim nan gelap ditemani Sêdulur Papatnya, baru kemudian terlahir sempurna sebagai bayi. Sêdulur Papatlah yang memberikan kehidupan, perlindungan, dan kekuatan kepada jiwa untuk terlahir menjadi bayi.
.
Jika kita mampu memahami dan menyadari perjalanan jiwa kita, tentu kita akan mengingat keberadaan Sêdulur Papat kita. Ketika kita mampu mengingat mereka setiap saat, kita akan mensyukuri keberadaan kita dan kehidupan yang kita jalani. Kita pun tidak perlu merasa takut dengan kematian, sebab sebelumnya kita telah mengalaminya berkali-kali. Tetapi jarang kita mengingat kembali perjalanan panjang dari jiwa kita. Jiwa semacam itu disebut sedang turu (tidur). Karena turu, ia lupa akan sumber kelahirannya dan Sêdulur Papat yang turut membantu dirinya mendapatkan tubuh.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

SÊDULUR PAPAT KALIMA PANCÊR: Ilmu Rahasia Kelahiran dan Kematian
.
Leluhur Nusantara memahami jagat raya tercipta melalui sanggama energi Bapa Akasa dan Ibu Pêrtiwi. Dari sanggama itu terlahirlah pancamahabhuta (lima elemen alam): tanah, air, api, udara, akasa. Manusia pun tercipta melalui sanggama energi Bapa Akasa dan Ibu Pêrtiwi yang menyusup ke dalam sperma bapa dan ovum ibu. Dari sanggama itu terlahirlah kita dan empat saudara kita, yang dikenal dengan Sêdulur Papat Kalima Pancêr, yaitu Kakang Kawah (ketuban) penguasa elemen tanah, Gêtih (darah) penguasa elemen air, Adhi Ari-Ari (plasenta) penguasa elemen api, Pusêr (tali pusar) penguasa elemen udara, dan Pancêr (diri kita) penguasa elemen akasa. Sêdulur Papatlah yang membentuk tubuh kita; tanpa mereka kita tak akan pernah terlahir ke dunia. Melalui mereka pulalah kita bisa mengalami kematian sempurna hingga manunggal dengan Sangkan Paraning Dumadi (Tuhan).
.
Ajaran Sêdulur Papat Kalima Pancêr adalah puncak spiritualitas Nusantara yang memungkinkan kita untuk hidup selaras dengan alam, melebur emosi rendah ke dalam emosi luhur melalui proses menyalakan nar (api) untuk mendapatkan nur (cahaya), serta menciptakan keajaiban dan keberlimpahan dalam hidup keseharian. Didasarkan pada 44 lontar warisan leluhur Jawa dan Bali, buku ini membahas:
.
• Proses kejadian Sêdulur Papat dan sang jabang bayi.
• Transformasi Sêdulur Papat Kalima Pancêr: Pancabhuta, Pancaratu, Pancadewata.
• Kawisesan Sêdulur Papat: Sêgara tanpa Têpi, Tapaking Kuntul Anglayang, Galihing Kangkung, Isining Buluh Bumbang, Lontar tanpa Tulis.
• Ilmu kematian dan mati sajêroning urip (mati di dalam hidup).
• Meditasi Kanda Pat untuk mengakses kekuatan Sêdulur Papat.
• Ritual untuk terhubung dengan Sêdulur Papat.
• Perlindungan dan penyembuhan dengan energi Sêdulur Papat.
.
Penulis: I Ketut Sandika
14x21 cm | Hard Cover | 340 hlm. (8 hlm. full color)
Harga Pre-Order: Rp135.000 (dari Rp150.000) PLUS TANDA TANGAN PENULIS
.
Pemesanan via WA: 085 337 588 732

Minggu, 27 November 2022

Makna dan Filosofis Segehan dalam Agama Hindu

 



BALI EXPRESS, DENPASAR – Setiap sarana upakara di Bali tentunya bukan sesuatu yang ada begitu saja. Tentu setiap komponen atau unsur yang digunakan selalu disertai dengan makna filosofisnya. Bagaimana sejatinya makna dari unsur yang terdapat pada Segehan?

Setiap unsur-unsur dari segehan sejatinya memiliki makna filosofi di dalamnya. Mulai dari penggunaan alas dari daun atau taledan kecil yang berisi tangkih di salah satu ujungnya. Taledan segi empat yang melambangkan arah mata angin. Nasi putih dua kepal, yang melambangkan rwa bhineda. Jahe, secara imiah memiliki sifat panas.

Semangat dibutuhkan oleh manusia, tapi tidak boleh emosional. Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat, tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek).

“Garam adalah sebuah bumbu yang memiliki PH-0, artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisasi berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin),” ujar Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran yang diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) beberapa waktu lalu.

Selanjutnya, tepat di atasnya disusun canang genten. Tetabuhan arak, berem, tuak, berbagai jenis alkohol ini diyakini secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran.

“Matabuh pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang dan mati,” tutup Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran .

(bx/gus /yes/JPR) –sumber

Tumpek Wariga

 


Di Bali Umat Hindu juga sering menyebutnya Tumpek Wariga yang jatuh 25 hari sebelum Hari Raya Galungan. Disebut Tumpek Wariga, karena dilaksanakan pada Saniscara Kliwon Wariga. Sebagai rasa syukur kehadapan Hyang Maha Pencipta dalam manifestasinya sebagai Hyang Sangkara atas ciptaanya. Sang Hyang Sangkara akan dipuja di arah wayabya (Barat Laut) atau Kaja-Kauh dari pengider mata angin Bali. Untuk alasan itu, dalam pengider buana, Sang Hyang Sangkara digambarkan dengan warna hijau, yang mewakili tumbuhan. Jika kita merujuk pada konsep Siva Siddhanta, maka Sang Hyang Sangkara adalah bagian dari perbanyakan Bhatara Siwa yang tidak berbeda dengan Beliau. Tetapi, dalam etika dan upacaranya, pembagian dan pembedaan itu diadakan untuk menggambarkan kekuatan Beliau yang tanpa batas dan agar manusia yang serba terbatas ini dapat merealisasikan setiap energi Tuhan dalam kehidupannya.

Peringatan hari raya Tumpek Atag tentu kita bisa rasakan betapa alam saling mendukung keberadaan satu sama lain, di hari otonan tumbuh-tumbuhanan ini, kita berharap hujan akan jatuh dari bapa akasa memandikan seluruh tumbuhan agar menjadi bersih, memberikan siraman kesejukan kepada ibu pertiwi, agar ibu pertiwi bisa memberikan kesuburan dan menghidupi tanam-tanamanan di atasnya. Namun untuk mewujudkan semua itu, kita sebagai umat tidak cukup hanya dengan menghaturkan sesajen untuk tumbuh-tumbuhan setiap rahina Tumpek Uduh. Namun perlu diiringi dengan aksi nyata, misalnya turut menyukseskan program pemerintah aktif melakukan aksi penghijauan melalui program satu miliar pohon, one man one tree, wanita menanam pohon atau program sejenisnya, menyayangi tumbuh-tumbuhan, memerangi aksi illegal logging dan lainnya. Dengan lestarinya alam dan tumbuh-tumbuhan ini, diharapkan dapat pula menekan atau mengurangi dampak dari pemanasan global (global warming). Tidak ada istilah terlambat untuk menanam pohon, karenanya mulai lah dari sekarang, mulai dari lingkungan di sekitar kita. Karena apa yang kita tanam saat ini demi anak cucu kita kelak.


Mitos dan Nilai Sejarah Barong Landung


Jro Gde :
Delod tunduh abian semal
Mula kunyit di sempidi
Mepunduh peturu lengar
Mare ngejengit tusing megigi
Jro Luh :
Ngempug kuud caratan diwang
Ngempug kuud caratan diwang
Meli bulih tuah ji talen
Bli suud nyaratang tiang
Bli suud nyaratang tiang
Kemu alih sube ne elenan
Penggalan gending / lagu barong landung diatas biasa dinyanyikan oleh pemundut barong landung,saat ngelawang keliling desa. Umat menurunkan sesuhunan berupa barong landung tersebut dari pura untuk menari di sepanjang jalan desa, dengan harapan tarian ini akan menimbulkan energi gaib positif untuk menetralisir energi negatif.
______
Barong Landung sangat lekat dengan konsep multikultur di Bali jika dilihat dari perspektif mitos dan sejarah. Mitos dalam Barong Landung berhubungan dengan simbol harmoni dan penolak bala. Barong Landung sendiri merepresentasikan sejarah pernikahan antara Raja Bali kuno dengan perempuan Tionghoa bernama Kang Cing Wie sekitar abad 12 M.
Penampakan Barong Landung mirip dengan ondel-ondel, seperti boneka orang-orangan. Ukurannya bisa mencapai 2,5 meter. Barong Landung adalah sepasang barong suami istri. Barong lelaki disebut Jero Gede, sedangkan yang perempuan disebut Jero Luh. Jero Gede berwarna kulit hitam legam dan Jero Luh berwarna putih bersih. Muka barong laki-laki berkarakter seram dengan bergigi menonjol ke depan, sementara barong perempuan bermata sipit dan berhidung mancung. Para pemain yang menarikan barong ini harus masuk dan mengusungnya dari dalam kain, dan yang memainkan kepala barong harus mengendalikan tongkat yang ada di dalamnya agar kepala si barong bisa menoleh ke kanan dan ke kiri.
Sebagian besar desa di Bali memiliki barong sebagai benda sakral. Barong tersebut diarak keliling desa pada hari suci. Barong juga ditarikan untuk perayaan dan ritual adat, seperti hari raya Galungan dan Kuningan yang dating tiap enam bulan sekali. Upacara arak-arakan barong disebut ngelawang. Lawangan—kata dasarnya—juga berarti pintu gerbang rumah.
Upacara ini merupakan rangkaian arak-arakan dengan pertunjukan barong di depan pintu rumah penduduk desa.
Barong Landung berkaitan dengan permohonan masyarakat untuk terbebas dari roh jahat, wabah penyakit, dan harmoni masyakarat kepada Ida Bhatara Dalem Sakti (Jero Gede) dan Jero Luh.
Rangkaian permohonan ini dihaturkan melalui sesaji dan ritual ngelawang keliling desa. Mitos lainnya menyebutkan bahwa konon di zaman dahulu ada tonyo (makhluk menyerupai manusia yang hidup di alam lain) laki-laki bernama Bhuta Awu-Awu yang jahat dan berbadan tinggi besar. Masyarakat Bali bersama pendeta mengusir Bhuta itu ke luar pulau. Agar makhluk ini tidak kembali mengganggu, maka warga desa menyelenggarakan ritual ngelawang


Barong Landung dihubungkan dengan sejarah pemerintahan Raja Shri Aji Jaya Pangus di era Bali kuno antara 1181-1269 M. Raja ini memiliki dua permaisuri, yakni Sri Parameswari Indujaketana dan Sri Mahadewi Sasangkajacihna.
Yang terakhir ini berasal dari negeri Tiongkok, dengan nama asli Dewi Cung Khang (Kang Cing Wei). Kang Cing Wei juga putri dari dinasti Cung atau Sung.
Hubungan harmonis antara Raja Jaya Pangus dan permaisuri Kang Cing Wei dirayakan masyakarat Bali dengan menciptakan boneka sakral bernama Barong Landung. Boneka ini diarak berkeliling tiap hari suci untuk membebaskan masyarakat desa dari serangan penyakit dan pengaruh roh jahat. Beberapa warga desa bahkan memohon kesembuhan dengan menghaturkan ritual khusus tolak bala.
Istana Raja Jaya Pangus terletak di Balingkang, Kintamani. Dari puncak dataran tinggi di Bali ini sang raja menebar kebaikan dan harmoni masyarakat dengan mengakui secara sederajat hubungan masyarakat Bali dan Tionghoa. Hubungan harmonis seperti itu dapat dibuktikan dari kehidupan masyarakat Kintamani, seperti di Desa Lampu. Masyakarat Tionghoa yang sudah berabad-abad tinggal di desa itu mendirikan kongco—tempat sembahyang umat Khonghucu—di tengah pekarangan yang bersanding dengan pura keluarga. Hal yang sama juga dapat dilihat di Pura Ulun Danu Batur Kintamani, pura terbesar kedua di Bali, di mana ada sebuah kongco di halaman utama pura.
Tema Barong Landung yang dibuat 1934 ini barangkali berhubungan dengan momentum pemindahan Pura Ulun Danu Batur. Sebelumnya, pura ini berdiri di lereng Gunung Batur ataupun di pesisir Danau Batur. Letusan Gunung Batur yang dahsyat pada 1926 mengakibatkan sebagian besar pura tertimbun lava. Benda-benda sakral atau pratima diungsikan ke Desa Bayung Gede yang berlokasi di pegunungan atasnya. Pada 1935 masyakarat Batur dan sekitarnya mulai mendirikan Pura Ulun Danu Batur yang baru di Desa Batur (dulu: Desa Karanganyar), Kintamani. Hubungan
harmonis masyarakat Tionghoa dan Bali tetap tergambar dengan didirikannya kongco di halaman utama pura.
Tarian Barong Landung tidak sekedar imajinatif, tapi memiliki nilai sejarah yang penting. Karya ini juga mengandung makna bahwa harmonisasi sosial adalah bagian dari masyarakat modern.
------------
Dalam kekawin atau geguritan Barong Landung, mengisahkan perjalanan Raja Sri Haji Jayapangus yang memperistri putri China Kang Cing We yang ditulis oleh I Nyoman Suprapta. Dalam Kekawin tersebut dikisahkan, Sri Aji Jayapangus adalah seorang raja tersohor dan bijaksana berstana di Kerajaan Bukit Panarajon, dengan permaisuri Dewi Danuh seorang puteri keturunan Bali Mula. Seiring waktu datang seorang pedagang dari China bersama puteri cantik bernama Kang Cing We yang kemudian menjadi abdi atau dayang Mpu Lim seorang penasehat raja.

Keberadaan Kang Cing We di lingkungan kerajaan sebagai pelayan Mpu Lim diketahui oleh raja, kemudian sang raja berniat memperistri putri Kang Cing We, yang sebenarnya tidak disetujui oleh Mpu Siwa Gandu yang merupakan salah satu penasehat raja.
Keinginan raja akhirnya terwujud acara pernikahan dilangsungkan, yang akhirnya membuat Mpu Siwa Gandu menjadi marah, dalam tapa semadinya beliau memohon agar tercipta bencana di kerajaan Kerajaan Panarogan, akhirnya kerajaan tersebut hancur dan Raja Sri Haji Jayapangus pindah merambah tempat baru di Jong Les dan sekarang dikenal Dalem Balingkang.
Pernikahan raja dengan Dewi Danuh, memiliki seorang Putera bernama Mayadenawa dan kemudian diangkat menjadi raja Bedahulu, sedangkan dengan Kang Cing We tidak memiliki keturunan. Dewi Danuh akhirnya moksa. Kang Cing We sendiri tidak memiliki keturunan untuk penerus kerajaan maka beliau minta ijin untuk kepada Kang Cing We untuk melakukan tapa semadi di Gunung Batur seraya memohon agar dikaruniai keturunan.
Sesampai di puncak Gunung Batur, bertemulah beliau dengan seorang puteri cantik yang merupakan jelmaan dari seorang Dewi yang bertujuan menggoda tapa Raja Sri Jayapangus, puteri cantik tersebut adalah jelmaan Dewi Danuh. Karena kecatikannya tergodalah sang raja dan mengaku belum beristri.
Lama tidak berkabar, maka berangkatlah Kang Cing We dari keraton Dalem Balingkang menyusul ke tempat pertapaan raja, sesampai di tempat pertapaan terkejut dan marahlah Kang Cing melihat raja sedang memadu kasih dengan seorang puteri cantik.
Kang Cing We memaki-maki puteri tersebut yang tak lain adalah penjelmaan seorang Dewi, karena merasa dimaki oleh seorang manusia, Dewi Danuh juga marah mengeluarkan api, melebur dan membakar Kang Cing We. Mengetahui kematian permaisurinya raja menjadi sedih. Dan sebagai hukumannya karena mengaku belum beristri, Sri Aji Jayapangus juga dilebur oleh sang Dewi sehingga menjadi abu.
Rakyat Dalem Balingkang menjadi sedih mengetahui kedua junjungannya telah menjadi abu, dan memohon agar keduanya dihidupkan kembali. Melihat ketulusan hati dari para abdi dan rakyat Dalem Balingkang, sang Dewi akhirnya mengabulkan permintaan rakyat Dalem Balingkang, namun dalam bentuk Lingga saja berupa Barong Landung lanang dan istri (laki dan perempuan).
Sang Dewi memerintahkan agar Barong Landung tersebut dibawa kekeraton Dalem Balingkang, dianugerahkan bahwa kedua lingga tersebut akan memerintah dari alam niskala yang mampu memberikan perlindungan bagi rakyat Dalem Balingkang.
Dalam kontek nama yaitu Pura Dalem Balingkang, Dalem berasal dari nama Keraton yaitu Kuta Dalem, sedangkan Balingkang berasal dari kata Bali dan Ing Kang, digabungkan menjadi Bali-Ing-Kang yang sekarang bernama Balingkang.
Di jaba tengah Pura Dalem Balingkang terdapat palinggih Ratu Ayu Subandar. Palinggih ini sebagai pemujaan pada Kang Ci Wi dan ini amat diyakini oleh masyarakat Cina membawa berkah.
Foto Kelompok pertunjukan Barong Landung dengan tokoh Jero Gede (topeng hitam) dan Jero Luh (topeng putih). Foto ini diambil sekitar 1910/1920. Koleksi Tropenmuseum.