Jumat, 23 Februari 2024

Bagian-bagian panca yadnya

 


Berdasarkan sasaran yang akan diberikan yajña, maka korban suci ini dibedakan menjadi lima jenis sebagai berikut.
a.    Dewa Yajña
Yajña jenis ini adalah persembahan suci yang dihaturkan kepada Sang Hyang Widhi dengan segala manisfestasi-Nya. Contoh Dewa Yajña dalam kesehariannya, melaksanakan puja Tri Sandya, sedangkan contoh Dewa Yajña pada hari-hari tertentu melaksanakan piodalan di pura dan lain sebagainya.
 “kāòksanta karmaṇāṁ siddhiṁ yajanta iha devatāá, kṣipraṁ hi mānuṣe loke siddhir bhavati karma-jā”.
Terjemahannya adalah.
“Mereka yang menginginkan keberhasilan yang timbul dari karma, beryajña di dunia untuk para deva, karena keberhasilan manusia segera terjadi dari karma, yang lahir dari pengorbanan”.  (Bhagavad Gita. IV.12).
b.    Rsi Yajña
Rsi Yajña adalah korban suci yang tulus ikhlas kepada para Rsi. Mengapa yajña ini dilaksanakan, karena para Rsi sudah berjasa menuntun masyarakat dan melakukan puja surya sewana setiap hari. Para Rsi telah mendoakan keselamatan dunia, alam semesta  beserta  isinya.  Bukan  itu  saja, ajaran suci Veda juga pada mulanya disampaikan oleh para Rsi. Para Rsi dalam hal ini adalah orang yang disucikan oleh masyarakat. Ada yang sudah melakukan upacara dwijati  disebut  pandita,  dan  ada yang melaksanakan upacara ekajati disebut pinandita atau pemangku. Umat hindu  memberikan   yajña   terutama pada saat mengundang orang suci yang dimaksud untuk menghantarkan upacara yajña yang dilaksanakan.
- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI
c.    Pitra Yajña
Upacara ngaben
Upacara ngaben
Korban suci jenis ini merupakan bentuk rasa normat dan terima kasih kepada para pitara atau leluhur karena telah berjasa ketika masih hidup melindungi kita. Kewajiban setiap orang yang telah dibesarkan oleh leluhur adalah memberikan persembahan yang terbaik secara tulus ikhlas. Ini sangat sesuai dengan ajaran suci Veda agar umat Hindu selalu saling memberi demi menjaga keteraturan sosial.

d.    Manusa Yajña
 Manusa Yajña adalah pengorbanan untuk manusia, terutama bagi mereka yang memerlukan bantuan. Umpamanya ada musibah banjir dan tanah longsor. Banyak pengungsi yang hidup menderita. Dalam situasi begini, umat Hindu diwajibkan melakukan Manusa Yajña dengan cara memberikan sumbangan makanan, pakaian layak pakai, dan sebagainya. Bila perlu terlibat langsung untuk menjadi relawan yang membantu secara sukarela. Dengan demikian, memahami Manusa Yajña tidak hanya sebatas melakukan serentetan prosesi keagamaan, melainkan juga seperti donor darah dan membantu orang miskin.

 “yeyathāmāṁ    prapadyante tāṁs tathaiva bhajāmy aham, Mamavartmānuvartante manusyaá partha sarvaṡaá”.
Terjemahannya adalah.
“Bagaimanapun (jalan) manusia mendekati-Ku, Aku terima wahai Arjuna. Manusia mengikuti jalan-Ku pada segala jalan”. (Bhagavad Gita.IV.11).
Manusa Yajña dalam bentuk ritual keagamaan juga penting untuk dilaksanakan. Karena sekecil apa pun sebuah yajña dilakukan, dampaknya sangat luas dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Umpamanya, kalau kita melaksanakan upacara potong gigi, maka semuanya ikut terlibat dan terkena dampaknya. Agama Hindu mengajarkan agar upacara Manusa Yajña. dilakukan  sejak  anak  dalam  kandungan  seorang   ibu.
Upacara pernikahan / pawiwahan
Upacara pernikahan / pawiwahan
 Ada beberapa perbuatan yang diajarkan oleh Veda sebagai bentuk pelaksanaan dari ajaran Manusa Yajña, antara lain:

  1.  Membantu orangtua, wanita atau anak-anak yang menyeberang jalan ketika kondisi lalu lintas sedang ramai.
  2. Menjenguk dan memberikan bantuan kepada teman yang sakit.
  3. Melakukan bakti sosial, donor darah, dan pengobatan gratis.
  4. Memberikan tempat duduk kita kepada orangtua, wanita, atau anak-anak ketika berada di dalam kendaraan umum.
  5. Memberikan beras kepada orang yang membutuhkan.
  6. Memberikan petunjuk jalan kepada orang yang tersesat.
  7. Membantu fakir miskin yang sangat membutuhkan pertolongan.
  8. Membantu teman atau siapa saja yang terkena musibah, bencana alam, kerusuhan, atau kecelakaan lalu lintas.
  9. Memberikan jalan terlebih dahulu kepada mobil ambulan yang sedang membawa orang sakit.
Semua perilaku ini wajib dilatih, dibiasakan, dan dikembangkan sebagai bentuk pelaksanaan Manusa Yajña. Dalam konteks ini, tidak berarti hanya melakukan upacara saja, tetapi juga termasuk membantu orang.

e.    Bhuta Yajña
Upacara Bhuta Yajña adalah korban suci untuk para bhuta, yaitu roh yang tidak nampak oleh mata tetapi ada di sekitar kita. Para bhuta cenderung menjadi kekuatan yang tidak baik, lebih suka mengganggu orang. Contoh upacara Bhuta Yajña adalah masegeh, macaru, tawur agung, panca wali krama. Sedangkan tujuannya adalah menetralisir kekuatan  bhuta  kala  yang kurang baik menjadi kekuatan bhuta hita yang baik dan mendukung kehidupan umat manusia.

LELUHUR ATAU PITARA

 



Leluhur adalah arwah nenek yang moyang atau orang tua yang telah meninggal. Mereka masih mempunyai hubungan rohani dengan yang masih hidup. Mereka merupakan asal mulanya keluarga tersebut yang lazim disebut dengan Pitara. Sebagai asal ia disebut Kemulan atau Kemimitan. Kemimitan berasal dari urat kata "Wit" yang berarti "Asal" mula. Ibuk Bapak yang mengadakan kita, kalau telah meninggal ia dikatakan leluhur kita nyata.

Kakek dan nenek yang telah meninggal juga leluhur kita. Biasanya leluhur ditarik sampai tiga tingkat. Menurut kepercayaan agama Hindu mereka yang ada hubungannya dengan menurunkan kita dari pihak laki-laki dan keluarga laki-laki disebut leluhur.

Leluhur laki disebut Pitara (Pitra) dan leluhur perempuan disebut Pitari. Semua rokh orang tua yang telah meninggal diupacarakan untuk dapat disebut Pitara atau Pitari. Arwah inilah yang diminta ikut melindungi keturunannya.
Sebagai keturunannya mereka berhutang kepada leluhur. Karena leluhur atau Ibuk Bapak memelihara badan kita, memelihara hidup atau jiwa kita yaitu dengan cara memberi makan, minum dan cara pemeliharaan yang lain misalnya, mengadakan upacara yajña sejak dalam kandungan, mendidik supaya menjadi anak Suputra yakni anak yang berguna bagi nusa dan bangsa.
Demikianlah jasa orang tua dengan payah memelihara anak disertai dengan doa dan berusaha supaya anaknya menjadi anak yang berguna.


Dengan mempunyai anak Suputra berarti orang tua merasa mendapat sorga (kebahagiaan) baik sekala maupun (sekarang) niskala (setelah mati). Karena jasa-jasa orang tua tersebut, maka dengan sendirinya kita berhutang budi kepada beliau. Hutang itu harus kita bayar walaupun kita tidak akan mampu melunasinya. Hutang itu kita bayar dengan cara sebagai berikut :
Pitra Yajña yaitu hutang yang dibayar setelah orang tua itu meninggal, misalnya upacara Ngaben, Tiwah atau semacamnya adalah untuk membayar hutang kepada orang tua yang telah meninggal.
Bila upacara Atma Wedana atau Ngaben telah selesai, Rokh leluhur menjadi suci. Rokh ini yang ditempatkan di sanggar pemujaan keluarga.

MAKNA SARANA PERSEMBAHYANGAN HINDU












Jika melihat umat Hindu selesai melakukan persembahyangan pasti terlihat ada beras tertempel pada dahi terlihat bunga pada telinga(laki-laki) dan pada rambut (wanita). Apa artinya? Setiap akhir dari prosesi persembahyangan ada istilah metirtha, mesekar dan mebija, ketiganya mempunya makna yang sangat penting bagi umat Hindu. Karenanya sebelum melakukan persembahyangan diperlukan perlengkapan/sarana sembahyang. Sarana atau perlengkapan sebelum melakukan persembahyangan antara lain:



AIR (Toya)

Air merupakan sarana sembahyang yang penting. Ada 2 jenis air yang dipakai pada saat akan sembahyang yaitu:Air untuk membersihkan mulut dan tangan dan air yang nantinya berfungsi sebagai tirtha. Beberapa orang juga menyebutnya dengan Toya. Tirta adalah air yang telah disucikan. kesuciannya bisa diperoleh dengan jalan dimantrai oleh orang yang berwenang(pandita dll) atau dengan mengambil disuatu tempat dengan disertai ritual keagamaan(wangsuhpada).
Dilihat dari manfaat ada 3 jenis tirtha:

Tirta yang digunakan untuk pensucian terhadap bangunan,alat upacara atau diri seseorang. Tirta ini diperoleh dengan jalan puja mantra para pandita. Tirtha ini sering disebut dengan tirtha pengelukatan,perbesihan atau parayascita.biasanya dicipratkan tika kali yang mengandung arti sebagai simbol pensucian yang meliputi:awal,tengah dan akhir.
Tirta yang digunakan untuk penyelesaian dalam upacara persembahyangan. Umumnya tirtha ini dimohon disuatu pelinggih utama pada suatu pura atau tempat suci tersebut. Istilah lain tirtha ini adalah wangsuhpada. Selain dicipratkan(maketis)di kepala(ubun-ubun) juga diminum tiga kali sebagai simbol pensucian bathin,lalu meraup(mencuci muka)tiga kali sebagai simbol pensucian terhadap lahir.
Tirtha yang dimanfaatkan untuk penyelesaian upacara kematian. misalnya: Tirtha Penembak,Tirtha Pemanah dan Tirtha Pengentas.

Didalam Weda Parikrama dan Surya Suwana dijelaskan, maksud dari pemakaian tirta itu adalah sebagai pensucian secara lahiriah dan rohaniah(lahir dibersihkan dengan air, bathin/rohani dibersihkan dengan kesucian tirtha.



API (Dupa)

Secara kasat mata dupa adalah sejenis hio yang dibakar sehingga berasap dan berbau harum, Wangi dupa dengan nyala apinya adalah lambang Dewa Agni yang berfungsi:
sebagai pendeta pemimpin upacara

perantara yang menghubungkan antara pemuja dan yang dipuja(manusia dengan Tuhan)

sebagai pembasmi segala kekotoran dan pengusir roh jahat.
sebagai saksi upacara

Api mempunyai peranan yang penting dalam upacara-upacara agama Hindu. Setiap upacara didahului dengan menyalakan api, baik api dalam arti biasa, maupun api yang ada dalam sendiri. Api bukan hanya dipakai sebagai persembahan, tetapi karena sifat-sifat yang dimiliki menyebabkan api mempunyai fungsi:
Panas api meresap kesegala arah baik air,tanah,udara tumbuh-tumbuhan ataupun mahkluk hidup lainnya. Demikian pula asapnya dapat terangkat sendiri ke angkasa memancarkan sinar yang putih berkilauan, menyebar kesegala penjuru.

Sifat-sifat demikian menyebabkan api dipakai sebagai perantara antara bumi dan langit,manusia dengan Tuhan,sesama ciptaan Tuhan dan sebagai pembawa persembahan. Sinar cahayanya memancar ke segala penjuru menyebabkan api dipakai sebagai penerangan disetiap kegelapan. Nyalanya yang berkobar-kobar akan membakar apapun yang dilemparkan kepadanya sehingga dianggap sebagai pembasmi noda,malapetaka dan penderitaan.
Api dengan sebutan sebagai Dewa Agni adalah Dewa atau sinar suci Tuhan yang selalu dekat, dapat dilihat dengan nyata oleh manusia menyebabkan api dianggap sebagai saksi dalam kehidupan.
Api selalu dinyalakan dalam rumah tangga sehingga disebut Grhapati yang artinya pimpinan atau raja dalam rumah tangga.
Dalam Reg Weda dan Sama Weda api memiliki peranan:
Api adalah pengantar upacara, penghubung manusia dengan Brahman. (Regweda X, 80 : 4)
Api (Agni) adalah Dewa pengusir Raksasa dan membakar habis semua mala dan dijadikannya suci. (Regweda VII 15 : 10)
Hanya Agni (api) pimpinan upacara Yajna yang sejati menurut weda. (Regweda VIII 15 : 2)
Ada 3 bentuk api yang digunakan dalam upacara agama Hindu:
Dupa, adalah api dengan nyala serta asap yang kecil tetapi jelas. Tergolong dalam ini adalah asep ataupun sejenisnya. Biasanya dicampur dengan wangi-wangian sehingga memberikan aroma yang dapat menenangkan pikiran.
Dipa, adalah api dengan nyala yang memancarkan sinar cahaya yang terang benderang. Misalnya api dari lilin,lampu dan sejenisnya. Saat ini listrik juga termasuk sebagai salah satu Dipa.
Obor, adalah api dengan nyala yang besar berkobar-kobar termasuk jenis ini adalah obor dari perapak(daun kelapa tua),tombrog(obor dari bambu) dan sebagainnya.


BUNGA (Sekar)

Sarana persembahyangan selanjutnya adalah Bunga. Bunga mempunyai dua fungsi penting dalam agama Hindu yaitu sebagai simbol Tuhan(Dewa Siwa) dan sebagai sarana persembahyangan semata. Sebagai simbol Tuhan, bunga diletakkan tersembul pada unjung kedua telapak tangan yang dicakupkan pada saat menyembah. Setelah selesai menyembah, bunga biasanya ditajukkan diatas kepala(rambut) atau disumpangkan ditelinga.
Sebagai sarana persembahyangan bunga dipakai untuk mengisi upacara atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Tuhan ataupun roh suci leluhur.
Bagi umat Hindu, bunga dipakai untuk menunjukkan kesucian hati untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa serta sinar suci-Nya,para leluhur dan para Rsi.
Warna-warna yang umum digunakan dalam persembahyangan antara lain:
Bunga berwarna putih, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Iswara, memiliki kekuatan seperti badjra,memancarkan sinar berwarna putih(netral).
Bunga berwarna merah, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Brahma, memiliki kekuatan seperti gada memancarkan sinar berwarna merah.
Bunga berwarna hitam, biasanya diganti dengan bunga berwarna biru, atau hijau. Dipakai untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Wisnu, memiliki senjata cakra dan memancarkan sinar berwarna hitam.
Bunga berwarna kuning, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Mahadewa yang memiliki kekuatan seperti nagapasa,memancarkan sinar berwarna kuning. Persembahyangan dengan bunga berwarna kuning biasanya digabungkan dengan kewangen yang dilengkapi dengan bunga berwarna kuning.



KEWANGEN

Bagi umat Hindu khususnya di Bali, kewangen merupakan perlengkapan sembahyang yang penting. Terutama kalau bersembahyang mengikuti puja pinandita. Dari puja pengantarnya dapat diketahui bahwa kewangen dipakai untuk memuja Sang Hyang Widhi dalam wujud Pradana Purusha Ardanareswari dan pemberi anugerah.
Kewangen dibuat dari daun pisang atau janur yang berbentuk kojong. Di dalamnya diisi perlengkapan berupa daun-daunan, hiasan dari rangkaian janur yang disebut sampian kewangen, bunga, uang kepeng dan porosan yang disebut silih asih. Adapun yang dimaksud dengan porosan silih asih adalah dua potong daun sirih yang diisi kapur dan pinang, diatur sedemikian rupa sehingga bila digulung akan tampak bolak-balik, yaitu yang satu potong tampak bagian perutnya dan satu bagian lagi tampak bagian punggungnya.


KALPIKA/KARTIKA
Kalpika/Kartika adalah salah satu perlengkapan yang selalu dipergunakan oleh para Sulinggih dalam penyelesaian upacara, baik untuk pribadi maupun untuk masyarakat. Kartika dibuat dari sehelai daun kembang sepatu dan bunganya yang berwarna merah dan bunga jepun(kamboja) yang berwarna putih. Cara membuat kartika/kalpika; daun kembang sepatu dilipat sedemikian rupa sehingga membentuk segi empat belah ketupat,membungkus bunga jepun dan kembang sepatu.
Ditinjau dari warna kalpika melambangkan Tri Murti; warna hijau/hitam melambangka Wisnu, warna merah melambangkan Brahma dan warna putih melambangkan Siwa.
Didalam salah satu puja Surya Sewana disebutkan:

KALPIKA MIJIL SAKING BRAHMA, VIJA MIJIL SAKING WISNU, GANDA MIJIL SAKING ISWARA
Hal ini sesuai dengan bentuk Kalpika yaitu segi empat yang disebut Brahma Bhaga, pada bentuk linga(segi delapan)disebut Wisnu Bhaga, dan palus disebut Siwa Bhaga.
Bagi para sulinggih kalpika/kartika memegang peranan penting sebab dipakai sebagai pengganti tunjung(bunga teratai)untuk menurunkan(nuntun)paratma(atma).
WIJA (Bija)

Sarana persembahyangan yang lain adalah Wija/Bija, disebut pula Gandaksata, berasal dari kata ganda dan aksata, artinya biji padi-padian yang utuh serta berbau wangi. Mawija atau mabija dilakukan setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian terakhir dan suatu upacara persembahyangan.
Oleh karena itu hendaknya dipergunakan beras yang utuh/tidak patah, dicuci bersih kemudian dicampur dengan wangi-wangian, misalnya: air cendana serta bunga yang harum. Bija dianggap sebagai simbul benih yang suci anugrah dari Tuhan dalam wujud Ardhanareswari/Purusa-Pradana. Pemakaiannya hampir sama, dengan tirtha yaitu ditaburkan pada bangunan yang dipergunakan dalam suatu upacara sebagai simbol penaburan benih yang suci yang akan memberikan kesucian. Ini biasanya dilakukan sebelum persembahyangan atau upacara keagamaan yang lainnya.
Sehabis sembahyang umat Hindu selalu mengenakan Wija/Bija, umumnya penggunaaan bija:

Diletakkan diantara kedua kening(disebut Cudamani). Penempatan wija/bija disini diharapkan menumbuhkan dan memberikan sinar-sinar kebijaksanaan kepada orang yang bersangkutan.
Diletakkan di tengah-tengah dada sebagai simbol pensucian dan mendapat kebahagiaan.

Ditelan sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup.
Wija atau Bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija/Mabija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci, maka itu mewija dilakukan setelah mathirta. –sumber



Kamis, 22 Februari 2024

Rerainan sugihan

 



Mungkin ada beberapa yang mengira kalau Sugihan pertama itu adalah Sugihan Jawa kemudian dikuti oleh Sugihan Bali.

Rerainan sugihan yang pertama adalah Sugihan Pengenten, yaitu seminggu sebelum hari raya Galungan pada hari Rabu/Buda Pon Sungsang. Sugihan berasal dari kata Sugi yang artinya membersihkan sedangkan Pengenten artinya tonggak atau pengingat. Bisa diartikan sebagai tonggak atau hari pengingat kita untuk membersihkan diri jasmani dan rohani karena seminggu lagi sudah hari raya Galungan.
Sugian pengenten juga sebagai tonggak dimulainya periode Nguncal Balung yang timeframenya abulan pitung dina (42 hari) dimulai dari Buda Pon Sungsang dan berakhir di Buda Kliwon Pahang atau Pegatwakan.
Periode Nguncal Balung ini dikenal sebagai dewasa yang tidak baik dalam melaksanakan upacara upacara besar. Nguncal Balung berasal darikata Nguncal (membuang) dan Balung (tulang) ada yang memaknai Nguncal Balung sebagai tonggak dibuangnya kekotoran dalam diri, ada yang memaknai kalau nguncal balung itu mengurangi penyembelihan hewan(cukup hanya saat penampahan saja) dan ada pula yang memaknai sebagai wujud pelepasan sang kala tiga.

Kalau melihat dari sisi padewasan ,periode Nguncal Balung ini adalah 42 hari dimana itu adalah dewasa yang tidak baik untuk membuat upacara besar selama 42 hari. Mungkin bisa diartikan jika upacara besar ini dilakukan pada periode ini,maka tidak akan berjalan baik atau kokoh karena tidak ada tulang. Kiasan tersebut bisa diartikan karena dalam periode ini ada beberapa rerainan dari Sugihan Jawa,Sugihan Bali,Panyekeban,Penyajaan,Penampahan,Galungan,Umanis Galungan,Pemaridan Guru,Ulihan,Pemacekan Agung,Penampahan Kuningan,Tumpek Kuningan dan Pegatwakan. Bisa dibayangkan beberapa biaya,konsentrasi dan waktu yang dihabiskan oleh rentetan rerainan tersebut. Itulah sebabnya mungkin di periode ini kita tidak diharapkan membuat upacara besar agar kita bisa berkonsentrasi atau fokus pada rerahinan rerahinan yang muncul di periode tersebut. Karena jika kita melaksanakan upacara besar dikhawatirkan akan tidak bisa berjalan dengan baik karena konsentrasi fokus dan biayanya sudah banyak digunakan untuk rerainan sehingga upacara besar tersebut menjadi "Tanpa Tulang" atau tidak kokoh secara rohani ataupun finansial.
Mungkin ada yang bertanya 3 minggu lebih setelah Tumpek Kuningan kan tidak ada rerainan, mengapa periode Nguncal Balung masih lanjut sampai Buda Kliwon Pahang?
Ada rerainan kecil seperti Buda Cemeng Langkir dan Anggara Kasih Medangsia saja. Pada periode 25 hari ini kita tidak diharapkan untuk upacara besar karena kita diharapkan untuk fokus dalam bekerja atau berusaha karena di periode 17 hari sebelumnya kita sudah menghabiskan banyak waktu,biaya dan tenaga untuk rentetan upacara Galungan Kuningan.
Begitu visionaire sekali leluhur kita untuk mengingatkan kita untuk bekerja atau berusaha bukan? karena apapun itu setiap upacara pasti membutuhkan waktu, biaya dan uang dimana uang itu pun tidak jatuh dari langit tanpa usaha.
Rejeki tidak akan datang hanya dengan doa tanpa adanya usaha. Uang yang nantinya kita gunakan untuk upacara itu kita dapatkan harus dengan bekerja atau berusaha. Bukan membuat utang yang banyak untuk upacara dan dibayar dengan hasil menjual warisan dengan dalih uang habis untuk upacara.

SUGIHAN BALI

 



Pahamilah juga anak anakKu..... !!! SANGHYANG SIWA menjadi Kliwon, dan saat itu juga IbuMu diikuti oleh para Kala dan Dengen yang berupa Joti . Jika pada saat itu AKU tidak datang , tidak mungkin lagi berubah wujud menjadi DURGA , saat itu Kliwon , Nawa Suji juga bertemu dengan HYANG BRAHMA sehingga menjadi KAJENG KLIWON.

Pada hari Kajeng Kliwon, “ SANG GAMA TIRTHA ” melaksanakan Prakerti menghaturkan Canang Wangi – wangian, pengayatan ditujukan kehadapan HYANG DURGA DEWI .
Sedangkan di natah Sanggah, natah Pekarangan dan di Lebuh, dihaturkan ;
° Nasi kepelan 3 buah , maiwak Bawang jahe ,
° Segehan warna 9 tanding ,
° Tetabuhan ( Arak , Tuak , Brem ).
Ditujukan kepada SANG BHUTA TIGA ;
BHUTA BUCARI ,
KALA BUCARI ,
DURGA BUCARI ,
Sang Adi Kala / Sang Bhuta Raja, dan para Bala-balanya yang merupakan para pengiring Hyang Durga Dewi.
Pada hari Kajeng Kliwon, “ SANG GAMA TIRTHA ” Ngastawa serta menghaturkan Sembah Bakti kehadapan Hyang Durga Dewi memohon KERAHAYUAN.


Apabila tak pernah menghaturkan segehan, maka Sang Tiga Bhucari akan meminta ijin kepada Hyang Durga Dewi untuk “ NGREBEDA ” mengganggu para penghuni rumah.
° Mereka menciptakan “Gering” (penyakit), mengundang Desti, Teluh, menyuruh Kekuatan Hitam dan mahluk gaib seperti Tonye, Memedi, dll memasuki pekarangan rumah.
° Sang Bhuta Tiga juga akan menggelar Pemunah / Pengalah yang menyebabkan situasi rumah menjadi “ CEMER ” tidak suci, muram, tidak nyaman, yang menyebabkan para BHATARA dan LELUHUR tak berkenan lagi “Mehyang” di pekarangan itu, lalu kembali ke kayangan.
° Rumah dan pekarangan menjadi tak terberkati, Suwung Mangmung. Penghuni rumah menjadi tak nyaman, pikiran kalut, sering sakit, sering mengalami hal aneh, mudah marah, sering salah lihat, sering salah dengar yang menyebabkan salah sangka, salah paham, yang kemudian menjadi sumber dari perselisihan dan pertengkaran.
Demikian juga sebaliknya, apabila Sang Gama Tirtha menjalankan Prakerti Kajeng Kliwon sebagaimana mestinya serta dilandasi Rasa Bakti dan Lascarya, akan mendapatkan anugrah kerahayuan dari Hyang Durga Dewi, serta selalu akan mendapatkan kawalan perlindungan dari Sang Tiga Bucari beserta ancangannya .
Kajeng Kliwon.
- Kajeng Ngaran Dinanin Durga.
- Kliwon Ngaran Dinanin Siwa.
Kajeng Kliwon Patemon Siwa Kalawan Durga matemahin Ikang Dharma Wisesa (itulah sebabnya Kajeng Kliwon merupakan hari yang Sakral atau tenget).Disinilah Beliau menurunkan Panugrahan Siwa Durga Bhairawi.
KLIWON sebagai Jalan nya Dewa juga jalan dari Bhuta Kala Dengen.
Dihari Ini , SUGIHAN BALI , nunaslah Tirtha Pelukatan dan Pebersihan , Bersihkanlah Diri dan lakukanlah Yoga Samadhi.
Ong Rahayu

SUGIHAN DALAM PANDANGAN VAJRAJNANA

 



Para leluhur memang memiliki kualitas dalam mewariskan konsep hidup buddha kepada generasinya dengan tradisi yang sangat luhur, penuh dengan kualitas makna bahasa sastra yang mendalam sebagai alunan budhiluhur.
Seperti kata " sugihan " yang memiliki kata dasar ' sugi ' yang memiliki makna pembersihan. Jadi sugihan mengandung arahan ajaran dalam rangka membersihkan buwana, baik itu buwana alit ( sugihan bali / vali / diri ) begitupula buwana agung yang dikenal sugihan java / jaba / luas.
Hari suci sugihan baik bali maupun java merupakan arahan lelaku spirit maupun laku fisik sebelum masyarakat akan melaksanankan hari raya besarnya yang dikenal Galungan dan Kuningan, dan diantaranya dikenal Pemacekan Agung. Ketiga hari raya besar ini seseungguhnya bersumber dari ajaran budha yang sangat luhur yakni sarvaka, pacceka dan samboddhaya.
Begitu banyak kekeliruan pandangan masyarakat pada ajaran murninya, dikarenakan mereka tidak memahami bahkan mengerti makna sastra jnana sebagai warisan leluhur yang sejatinya adalah para empukawi yang sangat sempurna dalam laku kesusatraan. Yang pada akhirnya banyak sekali penyimpangan - penyimpangan ajaran yang dikarenakan oleh buta sastra ini, bahkan sudah menjadi kebenaran masyarakat dikarenakan telah menjadi bahasa " mule keto "
Semoga dengan kembali dan bangkitnya ajaran buddhi luhur sebagai penguat masyarakat beragama standar seperti pada saat ini, dan semoga pula disadarkan melalui pengertian pada sastrajnananya.
Selamat hari suci sugihan kepada masyarakat sebagai persiapan akan melaksanakan hari raya Galungan dan Kuningan.

SUGIHAN JAWA



Wrahaspati Wage wuku Sungsang disebut Sugihan Jawa berasal dari kata:
SUGI , memiliki arti bersih, SUCI.
JAWA / JABA yang artinya LUAR.
Secara singkat pengertian Sugihan Jawa adalah hari sebagai pembersihan/penyucian segala sesuatu yang berada di luar diri manusia (Bhuana Agung).

Sundarigama.
Sungsang, rehaspati wage ngaran parerebwan, sugyan jawa kajar ing loka, katwinya sugyan jawa ta ngaran, apan pakretin bhatara kabeh arerebon ring sanggar mwang ring parhyangan, dulurin pangraratan, pangresikan ring bhatara, saha puspa wangi. Kunang wwang wruh ing tatwa jana, pasang yoga, sang wiku anggarga puja, apan bhatara tumurun mareng madyapada, milu sang dewa pitara, amukti banten anerus tekeng galungan.
Pakreti nikang wwang, sasayut mwang tutwang, pangarad kasukan ngaran
Translate ;
Kamis Wage Sungsang disebut dengan Parerebon atau yang lebih dikenal dengan Sugihan Jawa. Dinamakan sugihan jawa karena merupakan hari suci bagi para Bhatara untuk melakukan REREBU di Sanggah dan Parahyangan, yang disertai Pangraratan dan Pembersihan untuk Bhatara dengan Kembang Wangi.
Orang yang memiliki kemampuan dalam hal tatwa akan melakukan YOGA SEMADHI , Pandhita akan melakukan Pemujaan Tertinggi, karena Bhatara pada hari ini turun ke dunia diiringi oleh para Dewa Pitara untuk persembahan hingga Galungan nanti.
Sesajennya yaitu Sesayut Tutuan atau Pangarad Kasukan.
Rerebu atau Marerebon ini bertujuan untuk menetralisir kekuatan negatif yang ada pada Alam Semesta atau Bhuana Agung.
Ong Rahayu